Selasa, 26 April 2016

TEORI PENGAWAN KERJA

Pengawasan Kerja
2.5.1 Pengertian Pengawasan Kerja
 Pengawasan kerja merupakan proses pengamatan dari seluruh kegiatan organisasi guna lebih menjamin bahwa semua pekerjaan yang sedang dilakukan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya Siagan (2008:125), sedangkan menurut Handoko (2003:359), pengawasan kerja adalah proses untuk menjamin bahwa tujuan-tujuan organisasi dan manajemen tercapai.
Pengawasan kerja adalah usaha sistematik untuk menentukan standar pelaksanaan dan tujuan perencanaan, merancang sistem informasi umpan balik, membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang telah ditentukan sebelumnya, menentukan dan mengukur menyimpangan-penyimpangan serta mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk koreksi guna menjamin bahwa semua sumber daya perusahaan dipergunakan dengan cara paling efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan-tujuan perusahaan Handoko (2003:360). Dari beberapa pendapat ahli diatas dapat disimpulkan bahwa pengawasan kerja merupakan suatu usaha sistematik untuk menentukan standar pelaksanaan dan tujuan perencanaan serta untuk menjamin agar semua pekerjaan dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan.

 2.5.2 Tipe-Tipe Pengawasan Kerja
 Handoko (2003:361) berpendapat bahwa terdapat beberapa tipe pengawasan kerja, diantaranya adalah:
1. Pengawasan Pendahuluan (Freed Forward Control)
Bentuk pengawasan pra kerja ini dirancang untuk mengantisipasi masalah-masalah atau penyimpangan dari standar atau tujuan dan memungkinkan korelasi dibuat sebelum tahap tertentu diselesaikan. Pendekatan pengawasan ini lebih aktif dan agresif, dengan mendeteksi masalah-masalah dan mengambil tindakan yang diperlukan sebelum suatu masalah terjadi.
2. Pengawasan selama kegiatan berlangsung (Concurrent Control)
Pengawasan dilakukan selama suatu kegiatan berlangsung. Pengawasan ini merupakan suatu proses dimana aspek tertentu dari suatu prosedur disetujui terlebih dahulu sebelum kegiatan-kegiatan dilanjutkan atau menjadi semacam peralatan Double Chek yang lebih menjamin ketepatan pelaksanaan suatu kegiatan.
3. Pengawasan Umpan Balik (Feedback Control)
Bentuk pengawasan ini untuk mengukur hasil-hasil dari suatu kegiatan yang telah diselesaikan, sebab-sebab penyimpangan dari rencana atau standar yang telah ditentukan, dan penemuan-penemuan diterapkan untuk kegiatan-kegiatan serupa dimana yang akan datang. Pengawasan ini bersifat historis, pengukuran dilakukan setelah kegiatan terjadi.

2.5.3 Indikator Pengawasan Kerja
Handoko (2003:362) menyatakan bahwa ada beberapa indikator dalam proses pengawasan kerja, diantaranya adalah:
1. Penetapan standar
2. Penentuan pengukuran/penilaian pekerjaan
3. Pengukuran pelaksanaan pekerjaan
4. Perbandingan pelaksanaan dengan standar dan analisis penyimpangan
5. Perbaikan atas penyimpangan
2.5.4 Pentingnya Pengawasan Kerja Ada beberapa faktor yang membuat pengawsan semakin diperlukan oleh setiap organisasi. Faktor-faktor tersebut adalah Handoko (2003:366):
1. Perubahan lingkungan organisasi
2. Peningkatan kompleksitas organisasi
3. Kesalahan-kesalahan
4. Kebutuhan manajer untuk mendelegasikan wewenang

2.5.5 Kriteria Pengawasan yang Efektif Untuk menjadi efektif menurut Handoko (2003:373), sistem pengawasan harus memenuhi kriteria tertentu. Kriteria-kriteria tersebut antara lain:
1. Mengawasi kegiatan-kegiatan yang benar
2. Tepat waktu
3. Biaya yang efektif
4. Tepat dan akurat
5. Dapat diterima oleh yang bersangkutan
2.5.6 Karakteristik Pengawasan yang Efektif Karakteristik-karakteristik pengawasan yang efektif menurut Handoko (2003:373) dapat diperinci sebagai berikut:
1. Akurat
2. Tepat waktu
3. Objektif dan menyeluruh
4. Terpusat pada titik-titik pengawasan strategik
5. Realistik secara ekonomis
6. Realistik secara organisasional
7. Terkoordinasi dengan aliran kerja organisasi
8. Fleksibel
9. Bersifat sebagai petunjuk dari operasional
10. Diterima para anggota organisasi


TEORI RESTRUKTURISASI ORGANISASI

Restrukturisasi Organisasi
 Pengertian Restrukturisasi Organisasi Perusahaan perlu mengevaluasi kinerjanya serta melakukan serangkaian perbaikan, agar tetap tumbuh dan dapat bersaing. Perbaikan ini akan dilaksanakan secara terus menerus, sehingga kinerja perusahaan makin baik dan dapat terus unggul dalam persaingan, atau minimal tetap dapat bertahan. Salah satu strategi untuk memperbaiki dan memaksimalkan kinerja perusahaan adalah dengan cara restrukturisasi. Restrukturisasi dapat berarti memperbesar atau memperkecil struktur perusahaan. Konsep restrukturisasi organisasi pada dasarnya adalah sebuah bentuk penataan ulang (redesign) struktur organisasi untuk disesuaikan dengan perkembangan. Organisasi dikatakan dapat berhasil di masa depan apabila mampu untuk selalu merekayasa ulang dirinya. Reorganisasi yang sebenarnya merupakan bagian dari restrukturisasi tersebut juga dipandang sebagai salah satu pendekatan pemulihan kembali kegiatan ekonomi, usaha dan investasi (economic recovery), serta kesempatan kerja Ginting (2010:15).
Strategi restrukturisasi digunakan untuk mencari jalan keluar bagi perusahaan yang tidak berkembang, sakit atau adanya ancaman bagi organisasi, atau industri diambang pintu perubahan yang signifikan. Pemilik umumnya melakukan perubahan dalam tim unit manajemen, perubahan strategi, atau

masuknya teknologi baru dalam perusahaan. Selanjutnya sering diikuti oleh akuisisi untuk membangun bagian yang kritis, menjual bagian yang tidak perlu, guna mengurangi biaya akuisisi secara efektif. Hasilnya adalah perusahaan yang kuat, atau merupakan transformasi industri. Strategi restrukturisasi memerlukan tim manajemen yang mempunyai wawasan untuk melihat ke depan, kapan perusahaan berada pada titik undervalued atau industri pada posisi yang matang untuk transformasi. Restrukturisasi perusahaan bertujuan untuk memperbaiki dan memaksimalisasi kinerja perusahaan Djohanputro (2004:33). 2.4.2 Tujuan Restrukturisasi Menurut Djohanputro (2004:2) restrukturisasi perusahaan bertujuan untuk memperbaiki dan memaksimalisasi kinerja perusahaan. Bagi perusahaan yang telah go public, maksimalisasi nilai perusahaan dicirikan oleh tingginya harga saham perusahaan, dan harga tersebut dapat bertengger pada tingkat atas. Bertahannya harga saham tersebut bukan permainan pelaku pasar atau hasil goreng menggoreng saham, tetapi benar-benar merupakan cermin ekspektasi investor akan masa depan perusahaan. Sejalan dengan perusahaan yang sudah go public, harga jual juga mencerminkan ekspektasi investor atas kinerja masa depan perusahaan. Sedangkan bagi yang belum go public, maksimalisasi nilai perusahaan dicerminkan pada harga jual perusahaan tersebut.

2.4.3 Jenis-Jenis Restrukturisasi Menurut Djohanputro (2004:3) restrukturisasi dapat dikategorikan ke dalam tiga jenis: restrukturisasi portofolio/asset; restrukturisasi modal/keuangan; dan restrukturisasi manajemen/organisasi.
a. Restrukturisasi Portofolio/Asset
Restrukturisasi portofolio merupakan kegiatan penyusunan portofolio perusahaan supaya kinerja perusahaan menjadi semakin baik. Yang termasuk ke dalam portofolio perusahaan adalah setiap aset, lini bisnis, divisi, unit usaha atau SBU (Strategic Business Unit), maupun anak perusahaan.
b. Restrukturisasi Modal/Keuangan
Restrukturisasi keuangan atau modal adalah penyusunan ulang komposisi modal perusahaan supaya kinerja keuangan menjadi lebih sehat. Kinerja keuangan dapat dievaluasi berdasarkan laporan keuangan, yang terdiri dari: neraca, Rugi/Laba, laporan arus kas, dan posisi modal perusahaan. Berdasarkan data dalam laporan keuangan perusahaan, akan dapat diketahui tingkat kesehatan perusahaan. Kesehatan perusahaan dapat diukur berdasar rasio kesehatan, yang antara lain: tingkat efisiensi (efficiency ratio), tingkat efektifitas (effectiveness ratio), profitabilitas (profitability ratio), tingkat likuiditas (liquidity ratio), tingkat perputaran aset (asset turn over), leverage ratio dan market ratio. Selain itu, tingkat kesehatan dapat dilihat dari profil risiko tingkat pengembalian (risk return profile).

c. Restrukturisasi Manajemen/Organisasi
Restrukturisasi manajemen dan organisasi, merupakan penyusunan ulang komposisi manajemen, struktur organisasi, pembagian kerja, sistem operasional, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan masalah managerial dan organisasi. Dalam hal restrukturisasi manajemen /organisasi, perbaikan kinerja dapat diperoleh melalui berbagai cara, antara lain dengan pelaksanaan yang lebih efisien dan efektif, pembagian wewenang yang lebih baik sehingga keputusan tidak berbelit-belit, dan kompetensi staf yang lebih mampu menjawab permasalahan di setiap unit kerja. Menurut Adler (2011) restrukturisasi dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok besar, yaitu yang pertama restrukturisasi aset meliputi akuisisi, merger, divestasi. Kedua, restrukturisasi kepemilikan meliputi spin-off, split-ups, equity carve-out. Ketiga, restrukturisasi hutang meliputi exchange offers, kebangkrutan, likuidasi. Keempat, restrukturisasi joint venture. 2.4.4 Penyebab Terjadinya Restrukturisasi Menurut Djohanputro (2004:10) alasan suatu korporasi melakukan restrukturisasi, antara lain:
a. Masalah Hukum/Desentralisasi
Undang-undang no.22/1999 dan no.25/1999 telah mendorong korporasi untuk mengkaji ulang cara kerja dan mengevaluasi hubungan kantor pusat, yang kebanyakan di Jakarta, dengan anak-anak perusahaan yang menyebar di seluruh pelosok tanah air. Keinginan Pemerintah Daerah untuk ikut

menikmati hasil dari perusahaan-perusahaan yang ada di daerah masing-masing menuntut korporasi untuk mengkaji ulang seberapa jauh wewenang perlu diberikan kepada pimpinan anak-anak perusahaan supaya bisa memutuskan sendiri bila ada masalah-masalah hukum di daerah.
b. Masalah Hukum/Monopoli
Perusahaan yang telah masuk dalam daftar hitam monopoli, dan telah dinyatakan bersalah oleh Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU)/pengadilan, harus melakukan restrukturisasi agar terbebas dari masalah hukum. Misalkan, perusahaan harus melepas atau memecah divisi supaya dikuasai pihak lain, atau menahan laju produk yang masuk ke daftar monopoli supaya pesaing bisa mendapat porsi yang mencukupi.
c. Tuntutan Pasar
Konsumen dimanjakan dengan semakin banyaknya produsen. Apalagi dalam era perdagangan bebas, produsen dari manapun boleh ke Indonesia. Hal ini menuntut korporasi untuk memenuhi tuntutan konsumen, yang antara lain menyangkut :1) kenyamanan (convenience), 2) kecepatan pelayanan (speed), 3) ketersediaan produk (conformity), dan 4) nilai tambah yang dirasakan oleh konsumen (added value). Tuntutan tersebut bisa dipenuhi bila perusahaan paling tidak mengubah cara kerja, pembagian tugas, dan sistem dalam perusahaan supaya mendukung pemenuhan tuntutan tersebut.

d. Masalah Geografis
Korporasi yang melakukan ekspansi ke daerah-daerah sulit dijangkau, perlu memberi wewenang khusus kepada anak perusahaan, supaya bisa beroperasi secara efektif. Demikian juga jika melakukan ekspansi ke luar negeri, korporasi perlu mempertimbangkan sistem keorganisasian dan hubungan induk-anak perusahaan supaya anak perusahaan di manca negera dapat bekerja baik.
e. Perubahan Kondisi Korporasi
Perubahan kondisi korporasi sering menuntut manajemen untuk mengubah iklim supaya perusahaan semakin inovatif dan menciptakan produk atau cara kerja yang baru. Iklim ini bisa diciptakan bila perusahaan memperbaiki manajemen dan aspek-aspek keorganisasian, misalnya kondisi kerja, sistem insentif, dan manajemen kinerja.
f. Hubungan Holding-Anak Perusahaan
Korporasi yang masih kecil dapat menerapkan operating holding system, dimana induk dapat terjun ke dalam keputusan-keputusan operasional anak perusahaan. Semakin besar ukuran korporasi, holding perlu bergeser dan berlaku sebagai supporting holding, yang hanya mengambil keputusan-keputusan penting dalam rangka mendukung anak-anak perusahaan supaya berkinerja baik. Semakin besar ukuran korporasi, induk harus rela bertindak sebagai investment holding, yang tidak ikut dalam aktifitas, tetapi semata-mata bertindak sebagai “pemilik” anak-anak perusahaan, menyuntik ekuitas dan pinjaman, dan pada akhir tahun meminta anak-anak

perusahaan mempertanggungjawabkan hasil kerjanya dan menyetor dividen.
g. Masalah Serikat Pekerja
Era keterbukaan, yang diikuti dengan munculnya undang-undang ketenaga kerjaan yang terus mengalami perubahan mendorong para buruh untuk semakin berani menyuarakan kepentingan mereka.
h. Perbaikan Image Korporasi
Korporasi sering mengganti logo perusahaan dalam rangka menciptakan image baru, atau memperbaiki image yang selama ini melekat pada stakeholders korporasi. Sebagai contoh, beberapa tahun lalu, PT Garuda Indonesia mengganti logo perusahaan supaya image korporasi mengalami perubahan.
i. Fleksibilitas Manajemen
Manajemen seringkali merestrukturisasi diri supaya cara kerja lebih lincah, pengambilan keputusan lebih cepat, perbaikan bisa dilakukan lebih tepat guna. Restrukturisasi ini biasanya berkaitan dengan perubahan job description, kewenangan tiap tingkatan manajemen untuk memutuskan pengeluaran, kewenangan dalam mengelola sumber daya (temasuk SDM), dan bentuk organisasi. Sebagai contoh PT. Kimia Farma melakukan restrukturisasi organisasi, dengan memisah unit apotik supaya manajemen menjadi semakin lincah dan fokus beroperasi.

j. Pergeseran Kepemilikan
Pendiri korporasi biasanya memutuskan untuk melakukan go public setelah si pendiri menyatakan diri sudah tua, tidak sanggup lagi menjalankan korporasi seperti dulu. Perubahan paling sederhana adalah mengalihkan sebagian kepemilikan kepada anak-anaknya. Tapi cara ini seringkali tidak cukup.
k. Akses Modal yang Lebih Baik
PT Indosat menjual sebagian sahamnya di Bursa Efek New York (NYSE) dengan tujuan supaya akses modal menjadi lebih luas. Dengan demikian, perusahaan tersebut tidak harus membanjiri BEJ dengan sahamnya setiap kali membutuhkan modal. Sebagai dampak tindakan ini, struktur kepemilikan otomatis berubah. Menurut Williamson (2011), ada empat filsafat yang selalu dibahas beberapa akademisi mengapa melakukan tindakan restrukturisasi, yaitu restrukturisasi untuk posisi, restrukturisasi untuk platform, restrukturisasi kompetensi, dan restrukturisasi sebagai sebuah pilihan. Berdasarkan penelitian Adler (2011) terhadap 160 eksekutif perusahaan besar di California menunjukkan terdapat tiga faktor utama yang mendorong dilakukan restrukturisasi, yaitu pengurangan biaya, meningkatkan mutu pelayanan yang lebih baik, dan perubahan budaya perusahaan. Menurut Engelbart (2010:44) alasan organisasi melakukan restrukturisasi berubah:

1. Inovasi dalam produk, teknologi, bahan, proses kerja, struktur organisasi, dan budaya organisasi
2. Baru dan pergeseran pasar
3. Tindakan pesaing global, nilai-nilai kekuatan bekerja, permintaan, dan keragaman
4. Peraturan dan etika kendala dari lingkungan
5. Individu pengembangan dan transisi

Minggu, 24 April 2016

TEORI FASILITAS KERJA

Dalam suatu pencapaian tujuan perusahaan, diperlukan alat atau sarana pendukung yang digunakan dalam aktivitas sehari – hari di perusahaan  tersebut, fasilitas yang digunakan bermacam – macam bentuk, jenis maupun manfaatnya, disesuaikan dengan dengan kebutuhan dan kemampuan perusahaan, kata fasilitas sendiri berasal dari bahasa belanda “faciliteit” yang artinya prasarana atau wahana untuk melakukan atau mempermudah sesuatu. Fasilitas juga bias dianggap suatu alat. Untuk mencapai tujuan perusahaan yang ada banyak faktor yang mendukung, salah satu diantaranya adalah fasilitas kerja karyawan merupakan factor pendukung bagi kelancaran tugas yang mereka kerjakan, sehingga pekerjaan dapat dikerjakan sesuai dengan yang diharapkan. Fasilitas kerja terkait dengan lingkungan kerja, karena lingkungan kerja juga merupakan fasilitas kerja, dengan adanya lingkungan kerja yang nyaman maka karyawan dapat melaksanakan kerja dengan baik. Menurut Moekijat (2001 : 155) secara sederhana yang dimaksud dengan fasilitas adalah suatu sarana fisik yang dapat memproses suatu masukan (input) menuju keluaran (output) yang iinginkan. Selanjutnya menurut Buchari (2001 : 12) fasilitas adalah penyedia perlengkapan – perlengkapan fisik untuk memberikan kemudahan kepada penggunanya, sehingga kebutuhan – kebutuhan dari pengguna fasilitas tersebut dapat terpenuhi. Ditambahkan oleh Bary (2002 : 67) fasilitas kerja adalah sebagai sarana yang diberikan perusahaan untuk mendukung jalannya nada perusahaan dalam mencapai tujuan yang ditetapkann oleh pemegang kendali.
Menurut Heijdarahman Ranu Pandjojo dan Saud Husnan (2002 : 37), “pelayanan yang bersifat memberikan fasilitas adalah kegiatan yang secara normal perlu diurus oleh para karyawan sendiri dalam kehidupan sehari – harinya”. Sementara itu menurut Tjiptono (2006 : 19) fasilitas adalah sumber daya fisik yang harus ada sebelum suatu jasa ditawarkan kepada konsumen. Ditambahkan oleh Harmizar (2003 : 155) menyatakan dengan sederhana fasilitas adalah suatu sarana fisik yang dapat memproses suatu masukan (input) menjadi keluaran (output). Menurut Hartanto (2000 : 501) karakteristik dari sarana pendukung dalam proses aktivitas perusahaan adalah :
1. Mempunyai bentuk fisik
2. Dipakai atau digunakan secara aktif dalam kegiatan normal perusahaan
3. Mempunyai jangka waktu kegunaan relative permanen lebih dari satu periode akuntansi atau lebih dari satu bulan.
4. Memberikan manfaat di masa yang akan datang.
Dari teori diatas dapat diketahui bahwa fasilitas kerja merupakan sarana atau wahana atau alat untuk mempermudah aktivita perusahaan dan juga untuk mensejahterakan karyawan agar para karyawan dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik. Jadi fasilitas kerja adalah sesuatu yang harus disediakan oleh perusahaan, baik fasilitas yang disediakan secara langsung maupun fasilitas pendukung untuk kemudahan dan kenyamanan bagi karyawan dalam melakukan pekerjaan. Menyadari akan pentingnya fasilitas kerja bagi karyawan maka perusahaan dituntut untuk menyediakan dan memberikan fasilitas kerja karena keberhasilan suatu perusahaan tidak pernah terlepas dari pemberian fasilitas kerja.
Menurut Sofyan (2001 : 22) jenis – jenis fasilitas kerja terdiri dari :
a. Mesin dan peralatannya yang merupakan keseluruhan peralatan yang digunakan untuk mendukung proses produksi yang ada diperusahaan.
b. Prasarana, yaitu fasilitas pendukung yang digunakan untuk memperlancar aktivitas perusahaan, diantaranya adalah jembatan, jalan, pagar dan lainnya.
c. Perlengkapan kantor, yaitu fasilitas yang mendukung aktivitas kegiatan yang ada di perkantoran, seperti perabot kantor (meja, kursi, lemari, dan  lainnya). Peralatan laboratorium dan peralatan elektronik (komputer, mesin fotocopy, printer, dan alat hitung lainnya).
d. Peralatan inventaris, yaitu peralatan yang dianggap sebagai alat – alat yang digunakan dalam perusahaan seperti inventaris kendaraan. Inventaris kantor, inventaris pabrik, inventaris laboratorium, inventaris gudang dan lainnya.
e. Tanah, yaitu asset yang terhampar luas baik yang digunakan ditempat bangunan, maupun yang merupakan lahan kosong yang digunakan untuk aktivitas perusahaan.
f. Bangunan, yaitu fasilitas yang mendukung aktivitas sentral kegiatan perusahaan utama seperti perkantoran dan pergudangan.
g. Alat transportasi, yaitu semua jenis peralatan yang digunakan untuk membantu terlaksananya aktivitas perusahaan seperti kendaraan (truk, traktor, mobil, motor, dan lainnya).
Bentuk – bentuk fasilitas kerja
Fasilitas kerja pada setiap perusahaan berbeda dalam bentuk dan jenisnya tergantung jenis usaha dan besar kecilnya perusahaan tersebut. Menurut Ranupandjojo dan Saud Husnan (2002 : 368) terdapat beberapa bentuk dari fasilitas kerja, yaitu :
1. Penyediaan kafetaria Penyediaan kafetaria ini dimaksudkan untuk mempermudahkan karyawan yang ingin makan dan tidak sempat pulang. Diharapkan juga agar dengan penyediaan kafetaria ini perusahaan bisa memperbaiki gizi yang disajikan.
2. Perumahan Sulitnya memperoleh tempat tinggal yang layak dikota – kota, menyebabkan banyak karyawan yang mengalami masalah untuk memilih tempat tinggal.
Untuk mengatasi hal ini, perusahaan dapat menyediakan fasilitas rumah, meskipun bukan untuk semua karyawan yang berupa rumah dinas, ataupun asrama, atau hanya memberikan tunjangan untuk perumahan.
3. Fasilitas pembelian Di sini perusahaan menyediakan “ took perusahaan “ dimana para karyawan dapat membeli berbagai barang, terutama barang – barang yang dihasilkan perusahan, dengan harga yang lebih rendah.
4. Fasilitas kesehatan Fasilitas ini yang paling banyak disediakan oleh perusahaan. Penyediaan fasilitas kesehatan ini erat kaitannya dengan pembuatan program pemeliharaan kesehatan karyawan, dan juga karena ada peraturan pemerintah yang mengatur masalah keamanan dan kesehatan para karyawan di dalam menjalankan pekerjaannya.
5. Penasehat keuangan Pemberian fasilitas ini dimaksudkan agar para karyawan tidak mengalami kesulitan dalam mengatur keuangannya.
6. Fasilitas pendidikan Fasilitas ini disediakan dengan maksud membantu para karyawan yang ingin meningkatkan pengetahuan mereka. Fasilitas ini biasanya berbentuk perpustakaan yang bisa dimanfaatkan oleh para karyawan yang ingin menambah pengetahuan mereka dengan cara membaca. Sedangkan Alex S. Nitisemito (2000 : 181) jenis – jenis fasilitas yang menyenangkan dapat ditafsirkan secara luas antara lain tempat rekreasi kafetaria, tempat olahraga, balai pengobatan, tempat ibadah, kamar kecil yang bersih, pendidikan untuk anak dan sebagainya.
Indikator fasilitas menurut Faisal (2005 ; 22) adalah:
1) Sesuai dengan kebutuhan,
2) Mampu mengoptimalkan hasil kerja,
3) Mudah dalam penggunaan,
4) Mempercepat proses kerja,
5) Penempatan ditata dengan benar.
Menurut  komar  (2006 : 13) suatu barang atau fasilitas secara alamiah dan sejalan dengan waktu akan menjadi rusak  secara perlahan , akan tetapi usia kegunaan dapat diperpanjang dengan pemeliharaan.

Untuk meningkatkan produktivitas kerja karyawan, perlu adanya fasilitas kerja yang baik. Menurut Suad Husnan (2002: 187), “Fasilitas kerja merupakan suatu bentuk pelayanan perusahaan terhadap karyawan agar menunjang kinerja dalam memenuhi kebutuhan karyawan, sehingga dapat meningkatkan produktifitas kerja karyawan”. Adanya fasilitas kerja yang disediakan oleh perusahaan sangat mendukung karyawan dalam bekerja. Fasilitas kerja tersebut sebagai alat atau sarana dan prasarana untuk membantu karyawan agar lebih mudah menyelesaikan pekerjaannya dan karyawan akan bekerja lebih produktif. Menurut jurnal dengan adanya fasilitas kerja karyawan akan merasa nyaman dalam bekerja dan menimbulkan semangat kerja untuk mendapatkan hasil yang diharapkan oleh perusahaan.

TEORI KOMPETENSI

 Pengertian Kompetensi
Kompetensi menurut Spencer & Spencer dalam Palan (2007) adalah sebagai karakteristik dasar yang dimiliki oleh seorang individu yang berhubungan secara kausal dalam memenuhi kriteria yang diperlukan dalam menduduki suatu jabatan. Kompetensi terdiri dari 5 tipe karakteristik, yaitu motif (kemauan konsisten sekaligus menjadi sebab dari tindakan), faktor bawaan (karakter dan respon yang konsisten), konsep diri (gambaran diri), pengetahuan (informasi dalam bidang tertentu) dan keterampilan (kemampuan untuk melaksanakan tugas).
Hal ini sejalan dengan pendapat Becker and Ulrich dalam Suparno (2005:24) bahwa competency refers to an individual’s knowledge, skill, ability or personality characteristics that directly influence job performance. Artinya, kompetensi mengandung aspek-aspek pengetahuan, ketrampilan (keahlian) dan kemampuan ataupun karakteristik kepribadian yang mempengaruhi kinerja.
Berbeda dengan Fogg (2004:90) yang membagi Kompetensi kompetensi menjadi 2 (dua) kategori yaitu kompetensi dasar dan yang membedakan kompetensi dasar (Threshold) dan kompetensi pembeda (differentiating) menurut kriteria yang digunakan untuk memprediksi kinerja suatu pekerjaan. Kompetensi dasar (Threshold competencies) adalah karakteristik utama, yang biasanya berupa pengetahuan atau keahlian dasar seperti kemampuan untuk membaca, sedangkan kompetensi differentiating adalah kompetensi yang membuat seseorang berbeda dari yang lain.
Kompetensi berasal dari kata “competency” merupakan kata benda yang menurut Powell (1997:142) diartikan sebagai 1) kecakapan, kemampuan, kompetensi 2) wewenang. Kata sifat dari competence adalah competent yang berarti cakap, mampu, dan tangkas.Pengertian kompetensi ini pada prinsipnya sama dengan pengertian kompetensi menurut Stephen Robbin (2007:38) bahwa kompetensi adalah “kemampuan (ability) atau kapasitas seseorang untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan, dimana kemampuan ini ditentukan oleh 2 (dua) faktor yaitu kemampuan intelektual dan kemampuan fisik.
Pengertian kompetensi sebagai kecakapan atau kemampuan juga dikemukakan oleh Robert A. Roe (2001:73) sebagai berikut;:Competence is defined as the ability to adequately perform a task, duty or role. Competence integrates knowledge, skills, personal values and attitudes. Competence builds on knowledge and skills and is acquired through work experience and learning by doing“ Kompetensi dapat digambarkan sebagai kemampuan untuk melaksanakan satu tugas, peran atau tugas, kemampuan mengintegrasikan pengetahuan, ketrampilan-ketrampilan, sikap-sikap dan nilai-nilai pribadi, dan kemampuan untuk membangun pengetahuan dan keterampilan yang didasarkan pada pengalaman dan pembelajaran yang dilakukan
Secara lebih rinci, Spencer dan Spencer dalam Palan (2007:84) mengemukakan bahwa kompetensi menunjukkan karakteristik yang mendasari perilaku yang menggambarkan motif, karakteristik pribadi (ciri khas), konsep diri, nilai-nilai, pengetahuan atau keahlian yang dibawa seseorang yang berkinerja unggul (superior performer) di tempat kerja. Ada 5 (lima) karakteristik yang membentuk kompetensi yakni 1). Faktor pengetahuan meliputi masalah teknis, administratif, proses kemanusiaan, dan sistem. 2). Keterampilan; merujuk pada kemampuan seseorang untuk melakukan suatu kegiatan. 3). Konsep diri dan nilai-nilai; merujuk pada sikap, nilai-nilai dan citra diri seseorang, seperti kepercayaan seseorang bahwa dia bisa berhasil dalam suatu situasi. 4). Karakteristik pribadi; merujuk pada karakteristik fisik dan konsistensi tanggapan terhadap situasi atau informasi, seperti pengendalian diri dan kemampuan untuk tetap tenang dibawah tekanan. 5). Motif; merupakan emosi, hasrat, kebutuhan psikologis atau dorongan-dorongan lain yang memicu tindakan.
Pernyataan di atas mengandung makna bahwa kompetensi adalah karakteristik seseorang yang berkaitan dengan kinerja efektif dan atau unggul dalam situasi pekerjaan tertentu. Kompetensi dikatakan sebagai karakteristik dasar (underlying characteristic) karena karakteristik individu merupakan bagian yang mendalam dan melekat pada kepribadian seseorang yang dapat dipergunakan untuk memprediksi berbagai situasi pekerjaan tertentu. Kemudian dikatakan berkaitan antara perilaku dan kinerja karena kompetensi menyebabkan atau dapat memprediksi perilaku dan kinerja.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2004, tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) menjelaskan tentang sertifikasi kompetensi kerja sebagai suatu proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistimatis dan objektif melalui uji kompetensi yang mengacu kepada standar kompetensi kerja nasional Indonesia dan atau Internasional
Menurut Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negeri Nomor: 46A tahun 2003, tentang pengertian kompetensi adalah :kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seorang Pegawai Negeri Sipil berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya, sehingga Pegawai Negeri Sipil tersebut dapat melaksanakan tugasnya secara profesional, efektif dan efisien.
Dari uraian pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kompetensi yaitu sifat dasar yang dimiliki atau bagian kepribadian yang mendalam dan melekat kepada seseorang serta perilaku yang dapat diprediksi pada berbagai keadaan dan tugas pekerjaan sebagai dorongan untuk mempunyai prestasi dan keinginan berusaha agar melaksanakan tugas dengan efektif. Ketidaksesuaian dalam kompetensi-kompetensi inilah yang membedakan seorang pelaku unggul dari pelaku yang berprestasi terbatas. Kompetensi terbatas dan kompetensi istimewa untuk suatu pekerjaan tertentu merupakan pola atau pedoman dalam pemilihan karyawan (personal selection), perencanaan pengalihan tugas (succession planning), penilaian kerja (performance appraisal) dan pengembangan (development)
Dengan kata lain, kompetensi adalah penguasaan terhadap seperangkat pengetahuan, ketrampilan, nilai nilai dan sikap yang mengarah kepada kinerja dan direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai dengan profesinya. Selanjutnya, Wibowo (2007:86), kompetensi diartikan sebagai kemampuan untuk melaksanakan atau melakukan suatu pekerjaan atau tugas yang dilandasi oleh keterampilan dan pengetahuan kerja yang dituntut oleh pekerjaan tersebut. Dengan demikian kompetensi menunjukkan keterampilan atau pengetahuan yang dicirikan oleh profesionalisme dalam suatu bidang tertentu sebagai suatu yang terpenting. Kompetensi sebagai karakteristik seseorang berhubungan dengan kinerja yang efektif dalam suatu pekerjaan atau situasi.
Dari pengertian kompetensi tersebut di atas, terlihat bahwa fokus kompetensi adalah untuk memanfaatkan pengetahuan dan ketrampilan kerja guna mencapai kinerja optimal. Dengan demikian kompetensi adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh seseorang berupa pengetahuan ketrampilan dan faktor-faktor internal individu lainnya untuk dapat mengerjakan sesuatu pekerjaan. Dengan kata lain, kompetensi adalah kemampuan melaksanakan tugas berdasarkan pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki setiap individu.

B. Karakteristik Kompetensi
Menurut Spencer and Spencer dalam Prihadi (2004:38-39) terdapat 5 (lima) karakteristik kompetensi, yaitu :
1. Motif  (motive) adalah hal-hal yang seseorang pikir atau inginkan secara konsisten yang menimbulkan tindakan.
2. Sifat (traits) adalah karakteristik fisik dan respons-respons konsisten terhadap situasi atau informasi..
3. Konsep diri (Self – Concept) adalah sikap dan nilai-nilai yang dimiliki seseorang.
4. Pengetahuan (Knowledge), adalah informasi yang dimiliki seseorang untuk bidang tertentu. Pengetahuan (knowledge) merupakan kompetensi yang kompleks
5. Ketrampilan (Skill). adalah kemampuan untuk melaksanakan suatu tugas tertentu baik secara fisik maupun mental.
Sedangkan menurut Spencer and Spencer yang dikutip oleh Surya Dharma (2003:17), konsep diri (Self-concept), watak/sifat (traits) dan motif kompetensi lebih tersembunyi (hidden), dalam (deeper) dan berbeda pada titik sentral keperibadian seseorang. Kompetensi pengetahuan (Knowledge Competencies) dan keahlian (Skill Competencies) cenderung lebih nyata (visible) dan relatif berbeda di permukaan sebagai salah satu karakteristik yang dimiliki manusia.
Kompetensi dapat dihubungkan dengan kinerja dalam sebuah model alir sebab akibat yang menunjukkan bahwa tujuan, perangai, konsep diri, dan kompetensi pengetahuan yang kemudian memprakirakan kinerja kompetensi mencakup niat, tindakan dan hasil akhir. Misalnya, motivasi untuk berprestasi, keinginan kuat untuk berbuat lebih baik dari pada ukuran baku yang berlaku dan untuk mencapai hasil yang maksimal, menunjukkan kemungkinan adanya perilaku kewiraswastaan, penentuan tujuan, bertanggung jawab atas hasil akhir dan pengambilan resiko yang diperhitungkan.

Sumber : https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjb77-T-ajMAhWBCI4KHXmOAHkQFggjMAE&url=http%3A%2F%2Frepository.unhas.ac.id%2Fbitstream%2Fhandle%2F123456789%2F3650%2FBAB2a.doc%3Fsequence%3D4&usg=AFQjCNGMSsamG7sV1x2K7Kxz49UKJZa72Q&sig2=ftqxV5AEsMVRNiQov-4WDQ

Jumat, 22 April 2016

TEORI PENGALAMAN KERJA

a. Pengertian Pengalaman Kerja
Pengalaman dalam semua kegiatan sangat diperlukan, karena experience is the best teacher, pengalaman guru yang terbaik. Maksud dari hal tersebut adalah bahwa seseorang belajar dari pengalaman yang pernah dialaminya. Menurut Kamus Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2005: 26), “pengalaman dapat diartikan sebagai yang pernah dialami (dijalani, dirasa, ditanggung, dsb)”.
Elaine B Johnson (2007: 228) menyatakan bahwa “pengalaman memunculkan potensi seseorang. Potensi penuh akan muncul bertahap seiring berjalannya waktu sebagai tanggapan terhadap bermacammacam pengalaman”. Jadi sesungguhnya yang penting diperhatikan dalam hubungan tersebut adalah kemampuan seseorang untuk belajar dari pengalamannya, baik pegalaman manis maupun pahit. Maka pada hakikatnya pengalaman adalah pemahaman terhadap sesuatu yang dihayati dan dengan penghayatan serta mengalami sesuatu tersebut diperoleh pengalaman, ketrampilan ataupun nilai yang menyatu pada potensi diri. Orang yang berpengalaman dalam bekerja memiliki kemampuan kerja yang lebih baik dari orang yang baru saja memasuki dunia kerja, karena orang tersebut telah belajar dari kegiatan-kegiatan dan permasalahan yang timbul dalam kerjanya. Dengan adanya pengalaman kerja maka telah terjadi proses penambahan ilmu pengetahuan dan ketrampilan serta sikap pada diri seseorang, sehingga dapat menunjang dalam mengembangkan diri dengan perubahan yang ada. Dengan pengalaman yang didapat seseorang akan lebih cakap dan terampil serta mampu melaksanakan tugas pekerjaannya. Sejalan dengan hal tersebut, menurut hukum (law of exercise) dalam Mustaqim (2004: 50) diungkapkan bahwa dalam law of exercise atau the law disuse (hukum penggunaan) dinyatakan bahwa “Hubungan antara stimulus dan respon akan bertambah kuat atau erat bila sering digunakan (use) atau sering dilatih (exercise) dan akan berkurang, bahkan lenyap sama sekali jika jarang digunakan atau tidak pernah sama sekali”. Dari pendapat diatas diketahui bahwa latihan berulang-ulang akan memperkuat dan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan seseorang. Bagi seorang karyawan proses-proses dalam bekerja merupakan latihan yang akan menambah pengalaman, sehingga karyawan tersebut mampu menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya dalam proses bekerja. Karenanya pengalaman dapat membangkitkan dan mengundang seseorang untuk melihat semua pekerjaan sebagai peluang untuk terus berlatih dan belajar sepanjang
hayat. 
Menurut Hitzman (Muhibbin Syah, 1995: 89) mengatakan “pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku organisme dapat dianggap sebagai kesempatan belajar”. Hasil belajar dari pengalaman kerja akan membuat orang tersebut kerja lebih efektif dan efisien. Pengalaman akan membentuk pengetahuan dan ketrampilan serta sikap yang lebih menyatu pada diri seseorang, jika bidang pekerjaan yang ditangani selama masih bekerja merupakan bidang yang sejenis yang pada akhirnya akan membentuk spesialisasi pengalaman kerja diperoleh selama seseorang bekerja pada suatu perusahaan dari mulai masuk hingga saat ini. Selain itu pengalaman dapat diperoleh dari tempat kerja sebelumnya yang memiliki bidang pekerjaan yang sama dengan yang sedang dihadapi. Banyak sedikitnya pengalaman kerja akan menentukan atau menunjukan bagaimana kualitas dan produktivitas seseorang dalam bekerja, artinya mudah sukarnya atau cepat lambatnya seseorang dalam mengerjakan suatu pekerjaan akan dipengaruhi oleh seberapa banyak orang tersebut telah memiliki pengalaman kerja dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Ini berarti pengalaman akan juga
mempengaruhi kemampuan dalam bekerja. Pengalaman kerja mempunyai pengaruh terhadap banyaknya produksi, besar kecilnya dan efisiensi yang dapat dilihat dari hasil produksi tenaga kerja yang diarahkan. Dalam pengertian lain, pengalaman kerja juga dapat diperoleh dengan melewati masa kerja yang telah dilakui disuatu tempat kerja. Pengalaman kerja seseorang dalam suatu pekerjaan yang dimanifestasikan dalam jumlah masa kerja akan meningkatkan kemampuan dan kecakapan kerja seseorang sehingga hasil kerja akan semakin meningkat. Pengalaman kerja tidak hanya menyangkut jumlah masa kerja, tetapi lebih dari juga memperhitungkan jenis pekerjaan yang pernah atau sering dihadapi. Sejalan dengan bertambahnya pekerjaan, maka akan semakin bertambah pula pengatahuan dan ketrampilan seseorang dalam bekerja. Hal tersebut dapat dipahami karena terlatih dan sering mengulang suatu pekerjaan sehingga kecakapan dan ketrampilan semakin dikuasai secara mudah, tetapi sebelumnya tanpa latihan, pengalaman-pengalaman yang pernah dimiliki akan menjadi berkurang bahkan terlupakan.
Dari berbagai uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa pengalaman kerja adalah tingkat penguasaan pengetahuan serta ketrampilan seseorang dalam pekerjaannya yang dapat diukur dari masa kerja dan dari tingkat pengetahuan serta ketrampilan yang dimilikinya.

b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengalaman Kerja
Mengingat pentingnya pengalaman kerja dalam suatu perusahaan, maka dipirkan juga tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pengalaman kerja. Menurut Hani T Handoko faktorfaktor yang mempengaruhi pengalaman kerja adalah sebagai berikut:
1) Latar belakang pribadi, mencakup pendidikan, kursus, latihan,
bekerja. Untuk menunjukan apa yang telah dilakukan seseorang di
waktu yang lalu.
2) Bakat dan minat, untuk memperkirakan minat dan kapasitas atau
kemampuan jawab dan seseorang.
3) Sikap dan kebutuhan (attitudes and needs) untuk meramalkan
tanggung jawab dan wewenang seseorang.
4) Kemampuan-kemampuan analitis dan manipulatif untuk
mempelajari kemampuan penilaian dan penganalisaan.
5) Ketrampilan dan kemampuan tehnik, untuk menilai kemampuan
dalam pelaksanaan aspek-aspek tehnik pekerjaan. (T Hani
Handoko, 2009: 241)
Ada beberapa hal juga untuk menentukan berpengalaman tidaknya
seorang karyawan yang sekaligus sebagai indikator pengalaman kerja
yaitu:
1) Lama waktu/masa kerja
Ukuran tentang lama waktu atau masa kerja yang telah ditempuh
seseorang dapat memahami tugas-tugas suatu pekerjaan dan telah
melaksanakan dengan baik.
2) Tingkat pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki
Pengetahuan merujuk pada konsep, prinsip, prosedur, kebijakan
atau informasi lain yang dibutuhkan oleh karyawan. Pengetahuan
juga mencakup kemampuan untuk memahami dan menerapkan
informasi pada tanggung jawab pekerjaan. Sedangkan ketrampilan
merujuk pada kemampuan fisik yang dibutuhkan untuk mencapai
atau menjalankan suatu tugas atau pekerjaan
3) Penguasaan terhadap pekerjaan dan peralatan
Tingkat penguasaan seseorang dalam pelaksanaan aspek-aspek
tehnik peralatan dan tehnik pekerjaan. (Foster, 2001: 43)
 Dari uraian tersebut dapat diketahui, bahwa seorang yang
berpengalaman akan memiliki gerakan yang mantap dan lacar,
gerakannya berirama, lebih cepat menanggapi tanda-tanda, dapat

menduga akan timbulnya kesulitan sehingga lebih siap menghadapinya, dan bekerja dengan tenang serta dipengaruhi faktor lain yaitu: lama waktu/masa kerja seseorang, tingkat pengetahuan atau ketrampilan yang telah dimiliki dan tingkat penguasaan terhadap pekerjaan dan peralatan. Oleh karena itu seorang karyawan yang mempunyai pengalaman kerja adalah seseorang yang mempunyai kemampuan jasmani, memiliki pengetahuan dan ketrampilan untuk bekerja serta tidak akan membahayakan bagi dirinya dalam bekerja.

Sumber : http://eprints.uny.ac.id/8771/3/BAB%202%20-08404244003.pdf

TEORI DISIPLIN KERJA

a. Pengertian Disiplin Kerja
 Disiplin kerja karyawan sangat penting bagi suatu perusahan dalam rangka mewujudkan perusahaan. Sikap disiplin kerja yang dimiliki oleh karyawan sangat penting bagi suatu perusahaan dalam rangka mewujudkan tujuan perusahaan. Tanpa disiplin kerja karyawan yang baik sulit bagi suatu perusahaan mencapai hasil yang optimal.
Disiplin yang baik mencerminkan besarnya tanggung jawab seseorang terhadap tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Hal ini mendorong gairah kerja, semangat kerja dan terwujudnya tujuan perusahaan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Disiplin adalah tata tertib (di sekolah, kemiliteran, dsb); ketaatan dan kepatuhan kepada peraturan tata tertib; bidang studi yang memiliki objek sistem dan metode tertentu” (2008: 333). Menurut Malayu S.P. Hasibuan, “Kedisiplinan adalah kesadaran dan kesediaan menaati semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku” (2006: 193).
Menurut Hani Handoko disiplin adalah “kegiatan manajemen untuk menjalankan standar-standar organisasional” (2001: 20). 
Disiplin kerja menurut Muchdarsyah Sinungan (2005: 143) adalah sebagai sikap mental tercermin dalam perbuatan atau tingkah laku perorangan, kelompok atau masyarakat berupa ketaatan (obedience) terhadap peraturan-peraturan atau ketentuan yang ditetapkan pemerintah atau etik norma dan kaidah yang berlaku dalam masyarakat untuk tujuan tertentu. Pembahasan disiplin dalam manajemen sumberdaya manusia berangkat dari pandangan bahwa tidak ada manusia yang sempurna luput dari kekhilafan dan kesalahan. Disiplin merupakan tindakan manajemen untuk mendorong para anggota organisasi memenuhi tuntutan berbagai ketentuan tersebut. Dengan kata lain, kedisiplinan pegawai adalah suatu bentuk pelatihan yang berusaha memperbaiki dan membentuk pengetahuan, sikap dan perilaku karyawan sehingga para karyawan tersebut secara sukarela berusaha bekerja secara kooperatif dengan para karyawaan yang lain serta meningkatkan prestasi kerjanya. Kedisiplinan diartikan jika karyawan selalu datang dan pulang tepat waktunya, mengerjakan semua pekerjaannya dengan baik, mematuhi semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku. Dalam kedisiplinan karyawan diperlukan peraturan dan hukuman karena peraturan sangat diperlukan untuk memberikan bimbingan dan penyuluhan bagi karyawan dalam menciptakan tata tertib yang baik bagi perusahaan. Dengan tata tertib yang baik, semangat kerja, moral kerja, efisiensi dan efektivitas kerja karyawan menjadi meningkat. Kedisiplinan suatu perusahaan dikatakan baik, jika sebagian besar karyawan menaati peraturan-peraturan yang ada. Hukuman diperlukan dalam meningkatkan kedisiplinan dan mendidik karyawan supaya menaati semua peraturan perusahaan. Pemberian hukuman harus adil dan tegas terhadap semua karyawan. Dengan keadilan dan ketegasan, sasaran pemberian hukuman tercapai. Peraturan tanpa diimbangi dengan pemberian hukuman yang tegas bagi pelanggarannya bukan menjadi alat pendidik bagi karyawan. Tanpa dukungan disiplin karyawan yang baik, sulit bagi perusahaan untuk mewujudkan tujuannya. Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa disiplin kerja adalah sikap yang tercermin dari perbuatan atau tingkah laku karyawan, berupa kepatuhan atau ketaatan terhadap peraturan dan ketentuan yang ditetapkan oleh perusahaan.

b. Bentuk Disiplin Kerja
Menurut T. Hani Handoko dibedakan menjadi dua tipe
pendisiplinan, yaitu:
1) Disiplin preventif
Disiplin preventif adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk mendorong para karyawan agar mengikuti berbagai standar dan aturan, sehingga penyelewengan-penyelewengan dapat dicegah. Sasaran pokoknya adalah untuk mendorong disiplin diri diantara para karyawan.
2) Disiplin korektif
Disiplin korektif adalah kegiatan yang diambil untuk menangani pelanggaran terhadap aturan-aturan dan mencoba untuk menghindari pelanggaran-pelanggaran lebih lanjut, kegiatan tersebut berupa suatu
bentuk hukuman (2001: 208).
c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Disiplin Kerja
 Adanya disiplin kerja dalam perusahaan akan membuat karyawan dapat menjalankan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dengan baik. Karyawan yang disiplin dan patuh terhadap norma-norma yang berlaku dalam perusahaan dapat meningkatkan produktivitas dan prestasi kerja karyawan yang bersangkutan. Pada dasarnya fungsi fungsi yang mempengaruhi tingkat kedisiplinan karyawan suatu
perusahaan antara lain:
1) Tujuan dan kemampuan
Tujuan dan kemampuan ikut mempengaruhi tingkat kedisiplinan karyawan. Tujuan yang akan dicapai harus jelas dan ditetapkan secara ideal serta cukup menantang bagi kemampuan karyawan. Tujuan (pekerja) yang dibebankan kepada setiap karyawan harus sesuai dengan kemampuan masing-masing karyawan, jika pekerja di luar kemampuan karyawan tersebut atau jauh di bawah kemampuan karyawan maka kesungguhan kedisiplinan karyawan rendah.
2) Teladan pemimpin
Teladan pimpinan sangat berperan dalam menentukan kedisiplinan karyawan karena pimpinan dijadikan teladan dan panutan oleh para bawahannya atau para karyawan/karyawati. Dengan teladan pimpinan yang baik, kedisiplinan karyawan pun akan ikut baik tetapi jika teladan pimpinan kurang baik (kurang disiplin), karyawan pun akan kurang disiplin atau tidak disiplin.
3) Balas jasa
Balas jasa berperan penting untuk menciptakan kedisiplinan karyawan yang artinya semakin besar balas jasa semakin baik kedisiplinan karyawan dan sebaliknya jika balas jasa kecil kedisiplinan karyawan menjadi rendah.
4) Keadilan
Keadilan ikut mendorong terwujudnya kedisiplinan karyawan, karena ego dan sifat manusia yang selalu merasa dirinya penting dan minta diperlakukan sama dengan manusia lainnya. Dengan keadilan yang baik akan menciptakan kedisiplinan yang baik pula.
5) Kepengawasan Melekat (Waskat)
Waskat merupakan tindakan nyata dan efektif untuk mencegah/mengetahui kesalahan, membetulkan kesalahan, memelihara kedisiplinan, meningkatkan prestasi kerja dalam mendukung terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan dan masyarakat.
6) Sanksi hukuman
Sanksi hukuman berperan penting dalam memelihara kedisiplinan karyawan, dengan sanksi hukuman yang semakin berat karyawan dan akan semakin takut melanggar peraturan perusahaan dan sikap, perilaku indisipliner atau tidak disiplin karyawan akan berkurang.
7) Ketegasan
Ketegasan pimpinan untuk menegur dan menghukum setiap karyawan yang indisipliner atau tidak disiplin akan mewujudkan kedisiplinan yang baik pada perusahaan tersebut. Sikap tegas dari seorang
pimpinan sangat dibutuhkan dalam setiap perusahaan yang ada.

8) Hubungan kemanusiaan
Terciptanya human relationship yang serasi akan mewujudkan lingkungan dan suasana kerja yang nyaman. Kedisiplinan karyawan akan tercapai apabila hubungan kemanusiaan dalam perusahaan
tersebut baik. (Malayu Hasibuan, 2000: 192).
d. Tujuan Pembinaan Disiplin Kerja
Setiap karyawan mempunyai motif tersendiri dalam bekerja, dan hampir tidak ada karyawan yang memiliki motif sama. Hal ini menimbulkan perbedaan reaksi terhadap seluruh beban kerja bagi setiap karyawan. Oleh karena itu tidak ada teknik dan strategi yang menjamin bahwa setiap karyawan akan memiliki moral dan disiplin kerja yang tinggi. Beberapa karyawan bekerja hanya untuk mendapatkan uang, ada yang bekerja karena alasan gengsi, dan ada yang bekerja karena tertarik
terhadap pekerjaannya. Bahkan mungkin ada beberapa karyawan yang tidak tahu apa yang menjadi motif mereka dalam bekerja (Siswanto Sastrohadiwiryo, 2003: 291). Motif utama karyawan pada saat ini mungkin dapat berubah untuk hari esok. Perubahan motif dalam bekerja ini dapat terjadi kapan saja setelah satu motif terpenuhi dengan baik sehingga motif yang lain akan menggantikannya. Motif lama yang telah terpuaskan akan menjadi reda sehingga akan mengurangi keinginan karyawan untuk bertindak dan berperilaku bila dibandingkan dengan motif yang baru yang masih belum terpuaskan. Motif karyawan yang selalu berubah-ubah apabila motif yang satu telah terpenuhi sangat mempengaruhi kondisi disiplin kerja para karyawan. Dampak perubahan motif dalam bekerja ini harus mendapat porsi pembinaan dengan prioritas utama dari pihak manajemen. Secara umum dapat disebutkan bahwa tujuan pembinaan disiplin kerja karyawan adalah untuk kelangsungan perusahaan sesuai dengan motif perusahaan. Menurut Siswanto Sastrohadiwiryo (2003: 292) tujuan pembinaan disiplin kerja karyawan adalah:
1) Agar karyawan menaati segala peraturan dan kebijakan ketenagakerjaan baik secara tertulis maupun tidak tertulis, serta melaksanakan perintah manajemen.
2) Mampu melaksanakan dengan sebaik-baiknya serta mampu memberikan pelayanan maksimum kepada pihak tertentu yang berkepentingan dengan perusahaan sesuai dengan bidang pekerjaan yang diberikan kepadanya.
3) Mampu menggunakan dan memelihara sarana dan prasarana barang dan jasa perusahaan dengan sebaik-baiknya.
4) Mampu bertindak dan berperilaku sesuai dengan norma-norma yang berlaku pada perusahaan.
5) Karyawan mampu menghasilkan produktivitas yang tinggi sesuai dengan harapan perusahaan, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.
e. Tingkat dan Jenis Sanksi Disiplin Kerja
 Tujuan utama pengadaan sanksi disiplin kerja bagi para tenaga kerja yang melanggar norma-norma perusahaan adalah memperbaiki dan mendidik para tenaga kerja yang melakukan pelanggaran disiplin.
Adapun sanksi disiplin kerja dapat digolongkan sebagai berikut:
1) Sanksi disiplin berat terdiri atas:
a) Demontrasi jabatan yang setingkat lebih rendah jabatan/pekerjaan yang diberikan sebelumnya.
b) Pembebasan dari jabatan/pekerjaan untuk dijadikan sebagai tenaga kerja biasa bagi yang memegang jabatan.
c) Pemutusan hubungan kerja dengan hormat atas permintaan sendiri tenaga kerja yang bersangkutan.
d) Pemutusan hubungan kerja dengan tidak hormat sebagai tenaga kerja di perusahaan.
2) Sanksi disiplin sedang terdiri atas:
a) Penundaan pemberian kompensasi yang sebelumnya telah dirancangkan sebagaimana tenaga kerja lainnya.
b) Penurunan upah sebesar satu kali upah yang biasa diberikan.
c) Penundaan program promosi bagi tenaga kerja yang bersangkutan pada jabatan yang lebih tinggi.
3) Sanksi disiplin ringan
a) Teguran lisan kepada tenaga kerja yang bersangkutan.
b) Teguran lisan.
c) Persyaratan tidak puas secara tertulis.
(Siswanto Sastrohadiwiryo, 2003: 294).
Yang memiliki wewenang penuh pemberian sanksi terhadap tenaga kerja yang melakukan pelanggaran disiplin kerja adalah manajer puncak (top manager). Akan tetapi dalam praktek hal ini didelegasikan kepada manajer tenaga kerja. Top manager maupun manajer tenaga kerja dalam melaksanakan tugasnya selalu berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dari permerintah.
f. Indikator Disiplin Kerja
Disiplin kerja merupakan sikap yang tercermin dari perbuatan atau tingkah laku karyawan, berupa kepatuhan atau ketaatan terhadap peraturan dan ketentuan yang ditetapkan oleh perusahaan.
Berdasarkan pengertian di atas dapat ditarik karakteristik disiplin
kerja adalah sebagai berikut:
1) Upaya dalam menaati peraturan tidak didasarkan adanya perasaan takut atau terpaksa.
2) Disiplin kerja tidak semata-mata patuh dan taat terhadap penggunaan jam kerja, misal datang dan pulang sesuai jadwal, tidak mangkir jika bekerja.
3) Komitmen dan loyal pada organisasi yaitu tercermin dari bagaimana sikap dalam bekerja.
Menurut Soejono (1997: 67) aspek-aspek disiplin kerja karyawan
dapat dikatakan baik, apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
1) Para kayawan datang tepat waktu, tertib, teratur Dengan datang ke kantor secara tertib, tepat waktu dan teratur maka disiplin kerja dapat dikatakan baik.
2) Berpakaian rapi
Berpakaian rapi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi disiplin kerja karyawan, karena dengan berpakaian rapi suasana kerja akan terasa nyaman dan rasa
percaya diri dalam bekerja akan tinggi.
3) Mampu memanfaatkan dan menggerakan perlengkapan secara baik Sikap hati-hati dapat menunjukan bahwa seseorang memiliki disiplin kerja yang baik karena apabila dalam seseorang memiliki disiplin kerja yang baik karena apabila dalam menggunakan perlengkapan kantor tidak secara hati-hati, maka akan terjadi kerusakan yang mengakibatkan kerugian.
4) Menghasilkan pekerjaan yang memuaskan
5) Mengikuti cara kerja yang ditentukan oleh perusahaan
Dengan mengikuti cara kerja yang ditentukan oleh organisasi maka dapat menunjukan bahwa karyawan memiliki disiplin kerja yang baik, juga menunjukan kepatuhan karyawan terhadap organisasi.
6) Memiliki tanggung jawab yang tinggi
Tanggung jawab sangat berpengaruh terhadap disiplin kerja, dengan adanya tanggung jawab terhadap tugasnya maka menunjukan disiplin kerja karyawan tinggi.
Disiplin mencakup berbagai bidang dan cara pandangnya, seperti menurut Guntur (1996: 34-35) ada beberapa sikap disiplin yang perlu dikelola dalam pekerjaan yaitu:
1) Disiplin terhadap waktu
2) Disiplin terhadap target
3) Disiplin terhadap kualitas
4) Disiplin terhadap prioritas kerja
5) Disiplin terhadap prosedur
Dari berbagai indikator di atas maka dapat disimpulkan menjadi lima indikator yang digunakan untuk mengukur disiplin kerja karyawan, diantaranya:
1) Disiplin terhadap waktu
2) Disiplin terhadap penggunaan peralatan
3) Disiplin terhadap prosedur kerja
4) Disiplin terhadap tata tertib

Sumber : http://eprints.uny.ac.id/8771/3/BAB%202%20-08404244003.pdf

TEORI PRODUKTIVITAS KERJA

       Produktivitas Kerja
a. Pengertian Produktivitas Kerja
Setiap perusahaan selalu berusaha agar karyawan bisa
berprestasi dalam bentuk memberikan produktivitas kerja yang
maksimal. Produktivitas kerja karyawan bagi suatu perusahaan
sangatlah penting sebagai alat pengukur keberhasilan dalam
menjalankan usaha. Karena semakin tinggi produktivitas kerja
karyawan dalam perusahaan, berarti laba perusahaan dan produktivitas
akan meningkat.
International Labour Organization (ILO) yang dikutip oleh
Malayu S.P Hasibuan (2005: 127) mengungkapkan bahwa secara lebih
sederhana maksud dari produktivitas adalah perbandingan secara ilmu
hitung antara jumlah yang dihasilkan dan jumlah setiap sumber yang
dipergunakan selama produksi berlangsung. Sumber tersebut dapat
berupa:
1) Tanah
2) Bahan baku dan bahan pembantu
3) Pabrik, mesin-mesin dan alat-alat
4) Tenaga kerja
12
Konsep produktivitas pada dasarnya dapat dilihat dari dua
dimensi, yaitu dimensi individu dan dimensi organisasi. Pengkajian
masalah produktivitas dari dimensi individu tidak lain melihat
produktivitas terutama dalam hubungannya dengan karakteristikkarakteristik
kepribadian individu. Dalam konteks ini esensi pengertian
produktivitas adalah sikap mental yang selalu mempunyai pandangan
bahwa mutu kehidupan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan
hari esok harus lebih baik dari hari ini (Kusnendi, 2003:8.4).
Muchdarsyah Sinungan (2005: 64) juga mengisyaratkan dua
kelompok syarat bagi produktivitas perorangan yang tinggi:
1) Kelompok pertama
a) Tingkat pendidikan dan keahlian
b) Jenis teknologi dan hasil produksi
c) Kondisi kerja
d) Kesehatan, kemampuan fisik dan mental
2) Kelompok kedua
a) Sikap mental (terhadap tugas), teman sejawat dan pengawas
b) Keaneka ragam tugas
c) Sistem insentif (sistem upah dan bonus)
d) Kepuasan kerja
Sementara itu ditinjau dari dimensi keorganisasian, konsep
produktivitas secara keseluruhan merupakan dimensi lain dari pada
upaya mencapai kualitas dan kuantitas suatu proses kegiatan berkenaan
13
dengan bahasan ilmu ekonomi. Oleh karena itu, selalu berorientasi
kepada bagaimana berpikir dan bertindak untuk mendayagunakan
sumber masukan agar mendapat keluaran yang optimum. Dengan
demikian konsep produktivitas dalam pandangan ini selalu ditempatkan
pada kerangka hubungan teknis antara masukan (input) dan keluaran
(output) (Kusnendi, 2003: 8.4).
Dari berbagai pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
produktivitas kerja adalah kemampuan menghasilkan barang dan jasa
dari berbagai sumberdaya atau faktor produksi yang digunakan untuk
meningkatkan kualitas dan kuantitas pekerjaan yang dihasilkan dalam
suatu perusahaan.
a. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Kerja
Dalam upaya meningkatkan produktivitas kerja karyawan di
suatu perusahaan perlu memperhatikan faktor-faktor yang
mempengaruhi produktivitas kerja karyawan tersebut. Banyak faktor
yang dapat mempengaruhi produktivitas kerja karyawan baik yang
berhubungan dengan tenaga kerja itu sendiri maupun faktor-faktor yang
berhubungan dengan lingkungan perusahaan dan kebijakan pemerintah
secara keseluruhan.
Menurut Pandji Anoraga (2005: 56-60). Ada 10 faktor yang sangat
diinginkan oleh para karyawan untuk meningkatkan produktivitas
kerja karyawan, yaitu: (1) pekerjaan yang menarik, (2) upah yang
baik, (3) keamanan dan perlindungan dalam pekerjaan, (4) etos
kerja dan (5) lingkungan atau sarana kerja yang baik, (6) promosi
dan perkembangan diri mereka sejalan dengan perkembangan
perusahaan, (7) merasa terlibat dalam kegiatan-kegiatan organisasi,
(8) pengertian dan simpati atas persoalan-persoalan pribadi, (9)
14
kesetiaan pimpinan pada diri sipekerja, (10) Disiplin kerja yang
keras.
Menurut Payaman J. Simanjutak (1985: 30) faktor yang
mempengaruhi produktivitas kerja karyawan perusahaan dapat
digolongkan pada dua kelompok, yaitu:
1) Yang menyangkut kualitas dan kemampuan fisik karyawan yang
meliputi: tingkat pendidikan, latihan, motivasi kerja, etos kerja,
mental dan kemampuan fisik karyawan
2) Sarana pendukung, meliputi:
a) Lingkungan kerja, meliputi: produksi, sarana dan peralatan
produksi, tingkat keselamatan, dan kesejahteraan kerja.
b) Kesejahteraan karyawan, meliputi:
Manajemen dan hubungan industri.
Sedangkan menurut Muchdarsyah (dalam Yuli Tri Cahyono dan
Lestiyana Indira M, 2007: 227) menyebutkan bahwa yang dapat
mempengaruhi produktivitas kerja adalah sebagai berikut:
1) Tenaga kerja
Kenaikan sumbangan tenaga kerja pada produktivitas adalah
karena adanya tenaga kerja yang lebih sehat, lebih terdidik dan
lebih giat. Produktivitas dapat meningkat karena hari kerja yang
lebih pendek. Imbalan dari pengawas dapat mendorong karyawan
lebih giat dalam mencapai prestasi. Dengan demikian jelas bahwa
tenaga kerja berperan penting dalam produktivitas.
15
2) Seni serta ilmu manajemen
Manajemen adalah faktor produksi dan sumberdaya ekonomi,
sedangkan seni adalah pengetahuan manajemen yang memberikan
kemungkinan peningkatan produktivitas. Manajemen termasuk
perbaikan melalui penerapan teknologi dan pemanfaatan
pengetahuan yang memerlukan pendidikan dan penelitian.
3) Modal
Modal merupakan landasan gerak suatu usaha perusahaan, karena
dengan modal perusahaan dapat menyediakan peralatan bagi
manusia yaitu untuk membantu melakukan pekerjaan dalam
meningkatkan produktivitas kerja. Fasilitas yang memadai akan
membuat semangat kerja bertambah secara tidak langsung
produktivitas kerja dapat meningkat.
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan kondisi utama
karyawan yang semakin penting dan menentukan tingkat produktivitas
karyawan yaitu pendidikan dan pelatihan, motivasi, disiplin,
ketrampilan, tingkat penghasilan, lingkungan dan iklim kerja,
penguasaan peralatan. Dengan harapan agar karyawan semakin gairah
dan mempunyai semangat dalam bekerja dan akhirnya dapat
mempertinggi mutu pekerjaan, meningkatkan produksi dan
produktivitas kerja.
16
b. Pengukuran Produktivitas Kerja
Untuk mengetahui produktivitas kerja dari setiap karyawan
maka perlu dilakukan sebuah pengukuran produktivitas kerja.
Pengukuran produktivitas tenaga kerja menurut sistem pemasukan fisik
per orang atau per jam kerja orang ialah diterima secara luas, dengan
menggunakan metode pengukuran waktu tenaga kerja (jam, hari atau
tahun). Pengukuran diubah ke dalam unit-unit pekerja yang diartikan
sebagai jumlah kerja yang dapat dilakukan dalam satu jam oleh pekerja
yang bekerja menurut pelaksanakan standar (Muchdarsyah Sinungan ,
2005: 262 dalam jurnal GD. Wayan Darmadi).
Menurut Henry Simamora (2004: 612) faktor-faktor yang
digunakan dalam pengukuran produktivitas kerja meliputi kuantitas
kerja, kualitas kerja dan ketepatan waktu:
1) Kuantitas kerja adalah merupakan suatu hasil yang dicapai oleh
karyawan dalam jumlah tertentu dengan perbandingan standar ada
atau ditetapkan oleh perusahan.
2) Kualitas kerja adalah merupakan suatu standar hasil yang berkaitan
dengan mutu dari suatu produk yang dihasilkan oleh karyawan
dalam hal ini merupakan suatu kemampuan karyawan dalam
menyelesaikan pekerjaan secara teknis dengan perbandingan
standar yang ditetapkan oleh perusahaan.
3) Ketepatan waktu merupakan tingkat suatu aktivitas diselesaikan
pada awal waktu yang ditentukan, dilihat dari sudut koordinasi
17
dengan hasil output serta memaksimalkan waktu yang tersedia
untuk aktivitas lain. Ketepatan waktu diukur dari persepsi
karyawan terhadap suatu aktivitas yang disediakan diawal waktu
sampai menjadi output.
Mengukur produktivitas kerja menurut dimensi organisasi
menurut Alan Thomas (dalam Kusnendi, 2003: 8.5) yang secara
matematis hubungannya diformulasikan sebagai berikut:
Dimana Oi adalah output, sedangkan adalah sejumlah input yang
dipergunakan dalam mencapai output tertentu. Dengan kata lain
formula diatas dapat diperjelas kepada formula yang lebih dipahami,
yakni sebagai berikut:
Dimana:
P = Produktivitas;
O = Output;
I = Input
Dalam Muchdarsyah Sinungan (2003: 23) secara umum
pengukuran produktivitas berarti perbandingan yang dapat dibedakan
dalam tiga jenis yang sangat berbeda.
1). Perbandingan-perbandingan antara pelaksanaan sekarang dengan
pelaksanaan secara historis yang tidak menunjukan apakah
pelaksanaan sekarang ini memuaskan namun hanya
18
mengetengahkan apakah meningkat atau berkurang serta
tingkatannya.
2). Perbandingan pelaksanaan antara satu unit (perorangan tugas, seksi,
proses) dengan lainnya. Pengukuran seperti itu menunjukan
pencapaian relatif.
3) Perbandingan pelaksanaan sekarang dengan targetnya dan inilah
yang terbaik sebagai memusatkan perhatian pada sasaran/tujuan.
Untuk menyusun perbandingan-perbandingan ini perlulah
mempertimbangkan tingkatan daftar susunan dan perbandingan
pengukuran produktivitas. Paling sedikit ada dua jenis tingkat
perbandingan yang berbeda, yakni produktivitas total dan produktivitas
parsial.
Pengukuran produktivitas kerja ini mempunyai peranan penting
untuk mengetahui produktivitas kerja dari para karyawan sehingga
dapat diketahui sejauh mana produktivitas yang dapat dicapai oleh
karyawan. Selain itu pengukuran produktivitas juga dapat digunakan
sebagai pedoman bagi para manajer untuk meningkatkan produktivitas
kerja sesuai dengan apa yang diharapkan oleh perusahaan.
19
c. Manfaat dari Penilaian Produktivitas Kerja
Menurut Muchdarsyah Sinungan (2005: 126) manfaat dari
pengukuran produktivitas kerja adalah sebagai beikut:
1) Umpan balik pelaksanaan kerja untuk memperbaiki produktivitas
kerja karyawan.
2) Evaluasi produktivitas kerja digunakan untuk penyelesaian
misalnya: pemberian bonus dan bentuk kompensasi lainnya.
3) Untuk keputusan-keputusan penetapan, misalnya: promosi, transfer
dan demosi.
4) Untuk kebutuhan latihan dan pengembangan.
5) Untuk perencanaan dan pengembangan karier.
6) Untuk mengetahui penyimpangan-penyimpangan proses staffing.
7) Untuk mengetahui ketidak akuratan informal.
8) Untuk memberikan kesempatan kerja yang adil.
d. Indikator Produktivitas Kerja
Seperti dijelaskan Simamora ( 2004: 612) faktor-faktor yang
digunakan dalam pengukuran produktivitas kerja meliputi kuantitas
kerja, kualitas kerja dan ketepatan waktu.
Dalam penelitian ini peneliti mengukur produktivitas kerja
dengan menggunakan indikator-indikator dibawah ini:
1) Kuantitas kerja
2) Kualitas kerja
3) Ketepatan waktu

Sumber : http://eprints.uny.ac.id/8771/3/BAB%202%20-08404244003.pdf

KOMITMEN ORGANISASI

 Komitmen Organisasi
       Selain perasaan tentang rasa puas/ketidakpuasan, pegawai mungkin juga memiliki perasaan komitmen ke organisasinya. Seperti pada kepuasan/ketidakpuasan, ada kecendurungan bahwa ikatan komitmen itu mengikat hingga di luar tempat kerja itu. Misalnya orang bisa menjadi sedemikan komtmen kepada institusi seperti gereja atau organisasi politik.
a.      Definisi Komitmen Organisasi
       Di dalam tingkatan yang paling umum, komitmen organisasi dapat diartikan sebagai tingkatan saat seorang pegawai telah berdedikasi kepada organisasinya dan kesanggupan untuk bekerja atas kepentingan organisasi tersebut, serta kecenderungan untuk tetap menjadi anggota organisasi tersebut.
Meyer dan Allen (1991) kemudian mendefinisikan lebih jauh tentang komitmen organisasi dengan menyatakan bahwa mungkin terdapat beragam basis-basis komitmen (alasan kenapa mereka berkomitmen dengan organisasinya), yaitu afektif, keberlanjutan, dan normatif.
Selain basis-basis yang berbeda, komitmen pegawai boleh jadi terfokus ke level-level yang berbeda dalam organisasi, dan bahkan dapat ditujukan ke luar organisasi. Banyak juga pegawai-pegawai dalam organisasi yang memiliki rasa komitmen pada profesi yang mereka tekuni, misal seorang ahli fisika yang bekerja dalam organisasi kesehatan akan memiliki komitmen kepada kesehatan pula.
Sekarang karena komitmen memiliki beragam basis dan focus, ini memberi kesan bahwa ada beberapa macam komitmen yang berbeda. Meyer dan Allen (1997) menyajikannya dalam bentuk matriks, yaitu sebuah cross product dari tiga basis komitmen dengan enam focus berbeda dari sebuah komitmen.

b.      Membangun Komitmen Organisasi
        Apa yang membentuk level komitmen suatu pegawai terhadap organisasinya? Karena kompleksitas dari susunan komitmen organisasi itu sendiri, ini bukan pertanyaan yang mudah dijawab. Kebanyakan peneliti mencoba menjawab pertanyaan ini dari ketiga basis komitmen tersebut, yaitu afektif, keberlanjutan, dan normatif.
Komitmen yang berbasiskan afektif biasanya terbentuk atas perasaan akan organisasi/perusahaan tempat pegawai itu bekerja memperlakukannya dengan baik dan/atau memberikan banyak dukungan kepadanya.
Komitmen yang berbasiskan keberlanjutan bahkan lebih sederhana, biasanya merupakan perluasan dari perasaan pegawai yang memandang organisasinya sekarang itu memiliki alternatif yang selalu berjalan.

c.       Pengukuran Komitmen Organisasi
      Seperti kebanyakan variabel sikap subjektif, komitmen organisasi diukur dengan skala laporan diri. Secara historis, komitmen organisasi pertama untuk memperoleh penggunaan secara luas adalah Organizational Commitment Qestionnaire (OCQ). OCQ asli terutama tercermin pada apa yang Meyer dan Allen uraikan seperti komitmen afektif dan pada tingkat yang lebih rendah, yaitu komitmen normatif. OCQ asli juga berisi satu bagian yang mengukur keinginan pindah kerja seorang karyawan.
Mathieu dan Zajac melaporkan bahwa mean reliabilitas konsistensi internal untuk berbagai bentuk OCQ itu semua adalah 0.80. Keterbatasan utama dari OCQ adalah langkah-langkahnya terutama komponen afektif dari komitmen organisasi, sehingga memberikan informasi yang sangat sedikit tentang kelanjutan dan komponen normatif. Ini adalah batasan penting karena berbagai bentuk berbeda dari komitmen berhubungan dengan hasil yang berbeda.
Baru-baru ini, Allen dan Meyer mengembangkan ukuran komitmen organisasi yang berisi tiga subskala yanng bersesuaian dengan komponen afektif, kelanjutan, dan normatif dari komitmen. Sebuah contoh dari komitmen afektif adalah: “Organisasi ini memiliki banyak makna bagi saya pribadi.” Sebuah contoh dari komitmen kelanjutan adalah: “Ini akan terlalu mahal bagi saya untuk meninggalkan organisasi saya dalam waktu dekat.” Sebuah contoh dari komitmen normatif adalah: “Saya akan merasa bersalah jika saya meninggalkan organisasi saya sekarang.”

Meyer dan Allen melaporkan bahwa median reliabilitas konsistensi internal untuk skala komitmen afektif, kelanjutan, dan normatif adalah 0.85, 0.79, dan 0.73. Adapula bukti yang menunjukkan bahwa bentuk-bentuk komitmen organisasi secara empiris dibedakan dari kontruksi terkait seperti kepuasan kerja, nilai dan komitmen kerja.

Selain OCQ dan skala Allen dan Meyer, ada juga ukuran yang telah dikembangkan oleh T. Becker. Dalam studi ini, komitmen organisasi diukur dalam istilah basis ganda dan fokus ganda. Ada sedikit bukti empiris pada variabel pendekatan ini untuk mengukur komitmen. Namun di masa depan, ukuran ini dapat berguna untuk mengukur komitmen  dengan cara ini jika hasil yang berbeda terkait dengan kombinasi yang berbeda dari komitmen basis dan fokus.

d.      Variabel yang berhubungan Komitmen Organisasi
      Seperti kepuasan kerja, para peneliti dan manajer tertarik dalam komitmen organisasi dikarenakan hubungannya dengan variabel lain, seperti variabel sikap, kehadiran, pindah kerja, dan performa kerja.

Variabel Sikap
Mathieu dan Zajac menemukan bahwa mean korelasi tepat antara komitmen organisasi afektif dan kepuasan pekerjaan adalah 0.53. korelasi sikap konsistensi lainnya dari komitmen afektif ditemukan dalam meta-anallisis termasuk keterlibatan pekerjaan (0.36), komitmen pekerjaan (0.27), komitmen gabungan (0.24) dan stres (-0.29). Bandingkan dengan komitmen afektif, lebih sedikit pekerjaan secara empiris telah diperiksa hubungannya antara korelasi sikap dari kelanjutan maupun komitmen normatif.

Kehadiran
Mathieu dn Zajac menemukan bahwa korelasi yang tepat antara komitmen afektif dan kehadiran adalah 0.12 dan korelasi dengan keterlambatan adalah -0.11. Korelasi antara kehadiran dan kepuasan kerja besarnya sama. Dari sisi kenseptual, tingkat tinggi komitmen afektif menunjukkan sebuah maksud untuk berkontribusi pada sebuah organisasi. Bandingkan dengan komitmen afektif, sedikit bukti mengenai hubungan antara kelanjutan atau komitmen normatif dan kehadiran.

Pindah Kerja Pegawai
Dengan komitmen organisasi alami, dapat dianggap lebih banyak buktinya pada hubungan di antara ketiga bentuk komitmen dan pindah kerja, dibandingkan dengan hasilnya. Seperti yang diharapkan, riset yang telah ditunjukkan secara umum mempunyai hubungan negatif diantara ketiga komitmen dan pindah kerja.

Performa Kerja
Pada umumnya, komitmen afektif telah ditunjukkan positif berhubungan dengan performa  kerja, walaupun besarnya dari hubungan ini tidak kuat. Menentukan mekanisme dibelakang hubungan ini adalah sulit karena studi ini telah menggunakan variasi luas dari ukuran kriteria performa. Satu keumuman diantara studi ini adalah bahwa hubungan antara komitmen afektif dan performa tak langsung oleh usaha pegawai.

e.         Aplikasi Praktis dari Penelitian Komitmen
        Satu cara untuk melihat aplikasi penelitian komitmen berorganisasi adalah menguji bermacam cara dari organisasi mana yang dapat menyebabkan komitmen tingkat tinggi di antara pengurusnya. Meyer dan Allen (1997) menjelaskan bahwa adanya pengaruh antara kebijakan perekrutan anggota baru dengan komitmen pengurus setelah diterima. Telah lama direkomendasikan bahwa kebijakan perekrutan membutuhkan persyaratan yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Gambaran pekerjaan dapat memberikan informasi kepada calon pengurus tentang bagaimana jenis pekerjaan yang akan dia kerjakan. Bila calon pengurus merasa cocok dan mampu mengerjakan maka akan timbul suatu komitmen ketika dia menjadi pengurus. Dengan cara ini dapat ditunjukkan bahwa adanya transparansi sehingga calon pengurus akan merasa diperlakukan secara adil dan jujur. Hal itu akan menambah komitmen pengurusnya.
       Ketika pengurus masuk organisasi, masa orientasi dan pengalaman masa magang dapat meningkatkan tingkat komitmen pengurusnya.  Meyer dan Allen menegaskan bahwa pendekatan investiture dalam masa orientasi dapat meningkatkan perasaan komitmen berorganisasi daripada pendekatan divestiture. Ketika pendekatan investiture diterapkan, pengurus baru tidak diharuskan untuk meninggalkan kepribadiannya yang dulu, dengan begitu pengurus baru dapat menyadari bahwa menghormati hak-hak pengurus dalam suatu organisasi merupakan suatu hal yang penting.
        Dalam pendekatan divesture, pendatang baru diharuskan untuk meninggalkan beberapa aspek dalam masing-masing individu. Bentuk sosialisasi ini dapat membuat pengurus baru mengganggap organisasi itu “elite” dan merupakan suatu keistimewaan apabila menjadi pengurus tetap organisasi tersebut. Di sisi lain, hal ini dapat menyebabkan ketidakpercayaan orang luar terhadap organisasi ini dan dapan menyebabkan perasaan rendah diri bagi para pengurus barunya.
       Suatu organisasi harus meyakinkan bahwa pengurus barunya mendapatkan pelatihan yang sesuai kebutuhann untuk dapat mengerjakan pekerjaan mereka nantinya. Pelatihan dapat terdiri dari pelatihan formal maupun informal. Pelatihan atau Training ini dapat menambah komitmen berorganisasi karena dalam pelatihan, pengurus baru dapat mengetahui bahwa suatu organisasi bertindak suportif dan mempunyai kepentingan untuk kesuksesannya. Jika pelatihan ini memfasilitasi pengurus baru agar dapat sukses, maka dapat menyebabkan pengurus baru merasa bangga bergabung dalam organisasi tersebut. Pelatihan ini juga berkontribusi untuk menambah komitmen yang berkelanjutan.
       Pengembangan kebijakan promosi internal merupakan area lain yang digunakan suatu organisasi untuk meningkatkan komitmen pengurusnya. Namun, apabila dalam prakteknya promosi internal ini berjalan secara tidak adil dan tidak transparan maka dapat menyebabkan kemerosotan komitmen pengurusnya.
Banyak organisasi juga sering menggunakan  penelitian komitmen di dalam area kompensasi dan keuntungan. Contohnya, terdapat beberapa persyaratan untuk pengurusnya agar dapat memperoleh dana pensiun, salah satunya terdapat syarat minimal usia. Persyaratan tersebut dapat membuat pengurus untuk tetap berada di organisasi tersebut, namun tidak menjamin para pengurus tersebut bekerja lebih giat. Selain dana pensiun, terdapat cara lain yang dapat digunakan suatu organisasi dalam area kompensasi, yaitu menggunakan pembagian keuntungan atau sharing profit. Metode lain dalam kompensasi yang dapat meningkatkan komitmen berorganisasi adalah dengan menggunakan metode pembayaran berdasarkan keterampilan atau skill-based-pay.

KESIMPULAN
a.         Steve M. Jex (2002:131) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai “tingkat afeksi positif seorang pekerja terhadap pekerjaan dan situasi pekerjaan.” kepuasan kerja melulu berkaitan dengan sikap pekerja atas pekerjaannya. Sikap tersebut berlangsung dalam aspek kognitif dan perilaku. Aspek kognitif kepuasan kerja adalah kepercayaan pekerja tentang pekerjaan dan situasi pekerjaan
b.        Teori Kepuasan Kerja adalah sebagai berikut :Teori Proses informasi sosial (Salancik & Pfeffer, 1977, 1978) mengusulkan dua mekanisme utama dimana karyawan mengembangkan rasa puas atau tidak. Self-Perception Theory (Bem’s, 1972), karyawan melihat perilaku mereka secara retrospektif dan membentuk sikap seperti kepuasan kerja untuk memahaminya. Social Comparison Theory (Festinger’s, 1954), karyawan mengembangkan sikap seperti kepuasan kerja melalui pengolahan informasi dari lingkungan social, yang menyatakan bahwa bahwa orang sering melihat ke orang lain untuk menafsirkan dan memahami lingkungan.
c.         Faktor-faktor yang memberikan kepuasan kerja menurut Blum (1956) sebagai berikut : (1) Faktor individual, misalnya  umur, kesehatan, watak dan harapan;
(2)  Faktor sosial, misalnya hubungan kekeluargaan dan pandangan masyarakat, (3) Faktor utama dalam pekerjaan, misalnya upah, pengawasan, ketentraman kerja, kondisi kerja, dan kesempatan untuk maju.
d.        Dampak dari Meningkatnya Kepuasan Kerja : Produktivitas Kerja Meningkat, Menurunnya kemangkiran dan permintaan berhenti, dan kesehatan pegawai yang meningkat karena perasaan nyaman terhadap pekerjaan. ( Ashar Sunyoto M,200).
e.         Komitmen            organisasi dapat diartikan sebagai tingkatan saat seorang pegawai telah berdedikasi kepada organisasinya dan kesanggupan untuk bekerja atas kepentingan organisasi tersebut, serta kecenderungan untuk tetap menjadi anggota organisasi tersebut. (Jex, 2002). Meyer dan Allen (1991) mendefinisikan tentang komitmen organisasi dengan menyatakan bahwa mungkin terdapat beragam basis-basis komitmen (alasan kenapa mereka berkomitmen dengan organisasinya), yaitu afektif, keberlanjutan, dan normatif.
f.         Seperti kepuasan kerja, dalam komitmen organisasi ada hubungannya dengan variabel lain, seperti variabel sikap, kehadiran, pindah kerja, dan performa kerja. Komitmen organisasi yang tinggi akan berdampak positif terhadap variable-variabel tersebut.



Catatan Daftar Pustaka dibawah ini digabung dengan daftar pustaka kepuasan kerja yang ada di bawah

REFERENSI :
Barbara A. Fritzsche and Tiffany J. Parrish, “Theories and Research on Job Satisfaction” dalam Steven Douglas Brown and Robert William Lent, eds., Career Development and Counseling: Putting Theory and Research to Work (New Jersey: John Wiley & Sons, Inc., 2005.
Baron & Byrne. Social Psychology : Understanding Human Interaction (6th edition). USA: Needham Heights Allyn & Bacon Inc. 1994

Daft L. Richard, Era Baru Manajemen, Ed. Kanita Maria Tita. Jakarta: Salemba Empat, 2011
Derek R. Allen and Morris Wilburn, Linking Customer and Employee Satisfaction to the Bottom Line: A Comprehensive Guide to Establishing the Impact of Customer and Employee Satisfaction of Critical Business Outcomes, Milwaukee : American Society for Quality, 2002
H.C. Ganguli, Job Satisfaction Scales for Effective Management: Manual for Managers and Sciensts. New Delhi: Ashok Kumar Mittal, 1994
Kuswadi. 2004. Cara Mengukur Kepuasan Kerja Karyawan. Jakarta : PT ElexMedia Komputindo
Miner, J.B. 1992. Industrial Organizational Psychology. London : Mc Grawhill
Mobley, William. H. 1986. Pergantian Karyawan: Sebab-Sebab Dan Pengendaliannya. Penerjemah : Nurul Iman. Jakarta : Pustaka Binaman Pressindo
Moh. As’ad. 1998. Psikologi Industri. Yogyakarta : LIBERTY
Pandji Anoraga. 1992. Psikologi Kerja. Jakarta : PT RINEKA CIPTA
Paul E. Spector, Job Satisfaction: Application, Assessment, Cause, and Consequences .Thousand Oaks: Sage Publications, Inc., 1997
Phuong L. Callaway, The Relationship of Organizational Trust and Job Satisfaction: An Analysis in the U.S. Federal Work Force.Boca Raton: Dissertation.com, 2007.
P. Robbin, Stephen. 2003. Perilaku Organisasi. Jakarta : PT INDEKS kelompok GRAMEDIA
Steve M. Jex, Organizational Psychology: A Scientist Practitioner Approach.New York : John Wiley & Sons, 2002
Sutjipto. Kesaksian Seorang Rektor: Siapa Menyuruh Mahasiswa ke Jalan?Jakarta: Global Mahardika Publications.2004
Undang-Undang No. 14 Tahun 2005
Wexley, K.N., Yukl, G.A., 1977, Organizational Behavior and Personal Psychology, Richard D. Irwin Inc., Homewood, Illinois.

Sumber : http://teknikkepemimpinan.blogspot.co.id/2013/10/teori-kepuasan-kerja.html