Rabu, 30 Januari 2013

INTEGRASI



1. Umum
Integrasi adalah fungsi manajemen operasional ke-empat setelah, pengadaan tenaga kerja, pengembangan dan kompensasi. Setelah karyawan diperoleh dan ditempatkan sesuai minat dan kemampuan atau keterampilan mereka, lalu dikembangkan, diberi kompensasi yang layak dan adil, maka tibalah kepada satu tantangan iagi yang termasuk sulit dan sering mengecewakan manajemen. Difinisi Integrasi diberikan oleh Edwin B. Flippo (1987 : 7) : "Integrasi merupakan usaha untuk menghasilkan suatu rekonsiliasi (kecocokan) yang layak atas kepentingan-kepentingan perorangan (individu), masyarakat, dan organisasi." Difinisi ini berpijak atas dasar kepercayaan bahwa dalam masyarakat terdapat tumpang tindih kepentingan yang cukup berarti. Kepentingan ketiga kelompok ini tidak selamanya berjalan dengan baik bahkan sering terbentur sehingga menimbulkan banyak masalah-maslah, sebagai contoh, antara kepentingan karyawan dengan kepentingan perusahaan yang sama-sama bertujuan untuk mencapai tujuan masing-masing. Tujuan perusahaan ialah untuk mencapai sasaran/tujuan untuk mendapatkan laba sebanyak-banyaknya demi kejayaan dan kelanggengannya, dan karyawan bertujuan untuk bekerja adalah untuk mendapat balas jasa yang layak dan adil demi memuaskan kebutuhannya. Begitu juga masyarakat sebagai konsumen (pemakai produk) perusahaan mengharapkan terpenuhinya tuntutan kebutuhan mereka yaitu produk yang bermutu sesuai dengan kebutuhan mereka (kalau boleh diperoleh semurah-murahnya harganya dengan mutu yang sebaik-baiknya) dan mengharapkan layanan (service yang memuaskan). Jikalau kepentingan ketiga kelompok ini terpenuhi dengan baik seimbang sesuai dengan kebutuhan mereka, dampak positifnya akan terlihat sendiri dalam masyarakat juga, dalam hal ini pemerintah sangat mendambakan/mengharapkan malah menghimbau agar kebutuhan ketiga kelompok tersebut tercapai dengan baik secara ekonomis dan normatif.
Dalam hal meng-integrasikan kepentingan dan kebutuhan tersebut, harus diketahui hakekat kebutuhan karyawan, bagaimana kebutuhan individu dapat berpadu dalam iklim perusahaan dan bagaimana usaha untuk menciptakan kerjasama antara kelompok kerja. Perpaduan yang sempurna akan menghasilkan permufakatan bukan benturan-benturan.
Hal memadukan keingingan dan kebutuhan-kebutuhan tersebutlah yang setiap manajer upayakan yang menjadi fungsi integrasi yang membutuhkan pentingnya hubungan antar manusia. Kita dapat berpendapat bahwa telah diberi kompensasi kepada karyawan dengan azas layak dan adil, mereka akan bekerja dengan baik karena telah dimotivasi dengan materi dan non materi seperti yang telah diuraikan di bab terdahulu. Hal ini belum tentu demikian, belum cukup bila seorang karyawan mampu bekerja, dia harus juga mau bekerja. Soal ini adalah sedeemikian penting dan sulit maka bab 7 ini akan membahas bagaimana cara memadukan kepentingan, keinginan dan kebutuhan ketiga kelompok tersebut di atas.

2. Hubungan Antar Manusia
Hubungan antar manusia (Human Relation) ada yang memberikan istilah hubungan kemanusiaan, tetapi maksudnya ialah sama yakni hubungan sesama manusia bila terjadi jalinan terutama dalam suatu organisasi untuk tujuan yang sama yaitu mencapai tujuan yang telah disepakati. Bila seseorang telah menjadi anggota organisasi baik itu organisasi sosial maupun organisasi perusahaan, orang tsb harus  rela untuk meleburkan diri dalam organisasi yang dia masuki sebagai suatu tuntutan. Jikalau bersedia mneleburkan dirinya tindakan atau perilakunyapun akan menghasilkan tindakan yang efektif (ber-daya guna). Tetapi sebaliknya apabila salah satu pihak baik manusia individu sebagai anggota organisasi atau organisasi tidak bersedia atau tidak rela membaurkan diri, maka terjadilah suatu perselisihan (konflik). Di sinilah letak perlunya usaha setiap manajer untuk memadukan kebutuhan/keinginan agar dapat mendorong kerjasama yang produktif dan kreatif untuk mencapai sasaran bersama. Maka perlu setiap manager dibenahi untuk memiliki pengetahuan mengenai disiplin ilmu seperti psikologi, sosiologi, antropologi dan etologli untuk memahami dan mengatasi masalah-masalah dalam hubungan antar manusia.
Di bawah ini akan diberikan gambaran yang penulis kutip dari buku Edwin B. Flippo (1984: 93) :
Dalam gambar di atas terlihat perpaduan antar kepentingan terjadi:dalam bagian B, sebab pada bagian tsb dilaksanakan kegiatan yang sekaligus menyumbangkan kepentingan organisasi dan karyawan. Perusahaan selalu berusaha dalam kegiatan memadukan kepentingan organisasi dengan karyawan.

Dalam gambar tersebut di atas :
A - Mendahulukan kepentingan organisasi di atas kepentingan karyawan.
B - Mendahulukan kepentingan organisasi dan karyawan secara bersama.
C - Mendahulukan kepentingan karyawan di atas kepentingan organisasi.

Kegiatan dalam bagian B itulah tujuan yang akan diusahakan suatu perusahaan demi terciptanya hubungan manusia (human relation) yang baik. Hubungan antar manusia inilah suatu hal yang sangat sulit, dan untuk saling pengertian harus mengerti hakekat kebutuhan manusia. Karena walaupun dalam program kompensasi dirumuskan serta dilaksanakan dengan baik (terutama dari segi finansial), bukan suatu jaminan bagi karyawan melaksanakan tugasnya dengan dasar kepuasan kerja, ka­rena kepuasan kerja tak dapat diukur besar tingginya dan luasnya.
Maka dengan modal pengetahuan setiap manajer dengan disiplin ilmu komunikasi, psikologi, sosiologi, anthropologi dan etologi dapat menolong dalam pelaksanaan integrasi tersebut di atas. Memang hal seperti ini adalah sangat ideal, tetapi bagi perusahaan-perusahaan di mancanegara yang maju telah mempunyai tenaga-tenaga spesialis un­tuk menangani program sumberdaya manusia yang mapan (dengan dasar ilmiah). Karena pelaksanaan program sumberdaya manusia yang baik cenderung mengurangi kecelakaan, kemangkiran (absen), labor turn­over dan kesalahan-kesalahan operasi sekaligus meningkatkan moral, mutu dan produktivitas.
Menurut Flippo, walaupun beberapa ahli teori berpendapat bahwa bisa terdapat tumpang tindih kepentingan sepenuhnya, namun lebih be­sar kemungkinan bahwa kita akan menemukan situasi yang dilukiskan oleh bagian A dan C dalam gambar di atas, yaitu A menuntut mungkin berlebihan dari C, C pun demikian menuntut hal-hal yang dipentingkan dan bila tuntutannya kurang/tidak terpenuhi (gaji, hak-bak buruh dll) dapat menimbulkan konflik, dan perusahaan memberikan hukuman atau tindakan disipliner atau PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Biasanya kegiatan-kegiatan dalam Bagian C merupakan kegiatan yang dipaksakan pihak ekstern (pemerintah, UK SPSI dan kode etik manajer/perorangan)
Salah satu yang mendasar untuk mengatasi konflikj-konflik perburuhan dengan perusahaan memerlukan pemahaman hakekat kebutuhan manusia. Kebutuhan manusia yang dimaksudkan di sini bukan hanya kebutuhan segi materi akan juga kebutuhan non material. Setelah mengetahui kebutuhan yang dimaksud, maka selanjutnya diterapkan dalam hubungan antar manusia. Jika tercipta hubungan antar manusia dengan baik dan terpelihara adalah karena kesediaan para yang berkepentingan untuk melebur sebahagian kepentingan masing-masing untuk kepentingan bersama. Dengan terjadinya kesediaan melebur kepentingan untuk menjadi kepentingan bersama, akan terciptalah antara lain, saling menghargai, saling menghormati, toleransi sesuai dengan yang digambarkan Bagian B di atas.

3. Hakekat Kebutuhan Manusia
Untuk mengetahui atau mengerti kebutuhan seseorang memerlukan pengertian dan pengetahuan kepribadiannya. Untuk dapat mempengaruhi perilaku seseorang perlu mengetahui kebutuhan-kebutuhannya. Setiap manajer hendaknya terlebih dahulu memahami kepribadian seseorang karyawan dalam menciptakan hubungan antar manusia. Kepribadian yang berasal dari bahasa asing "Personality". Personality adalah keseluruhan cara seseorang bertindak, berdandan, berbicara, berjalan dan postur badannya. Kepribadian seseorang sebagian besar dibentuk oleh faktor keturunan, sosial, kebudayaan dan lingkungan. Atau perkataan lain bahwa kepribadian ditempah/dibentuk oleh faktor pendidikan in­formal (rumah tangga), formal (di sekolah) dan non formal (lingku­ngan).  Di bawah ini akan dikutip gambar dari buku Drs. Malayu S.P. Hasibuan (1990 : 153) :

Menurut Drs. Hasibuan, bahwa kepribadian adalah serangkaian ciri yang relatif tetap dan sebagian besar dibentuk oleh faktor keturunan, sosial, kebudayaan dan lingkungan. Serangkaian variabel ini yang menentukan persamaan dan perbedaan dalam perilaku seseorang individu. Kekuatan-kekuatan utama yang mempengaruhi kepribadian seseorang adalah kekuatan hubungan keluarga dan kelas sosial/pendidikan dan kekuatan lain dari keanggotaan kelompok. Maka manajer akan dapat memahami perilaku dan kemauan seseorang karyawan untuk melebur keinginan dan kepentingannya demi pencapaian tujuan bersama setelah mengetahui keperibadian orang tersebut.
Sifat umum yang paling jelas tentang perilaku manusia pada kategori (kemampuan mental, fungsi otot, kapasitas fisik dan sensoris, sifat dan ciri-ciri pribadi), adalah bahwa perilaku manusia tidak sama antara seorang dengan orang yang lain. Karena perbedaan kapasitas intelegensia, kekuatan berpikir, sifat-sifat pribadi, sentimen, serta susunan emosional. Juga berbeda dalam kapasitas sensoris un­tuk melihat, mendengar, meraba dan merasakan. Hal inilah yang membedakan seseorang walaupun anak-anak dari satu keluarga tidak ada yang sama baik kesanggupan intelegensia maupun hal-hal lainnya. Ju­ga hal lain menyebabkan perbedaan adalah antara lain terpegantung kepada kapasitas sensoris yang berbeda-beda. Juga perlu diketahui bah­wa keperibadian seseorang berhubungan erat dengan persepsi, sikap, belajar dan motivasi.

Teori Kepribadian menurut Drs. Hasibuan buku yang sama, meliputi antara lain :
a.     Teori Sifat
Sifat/ciri cenderung dapat diduga sebagai pengarah perilaku individu berbuat dengan cara yang konsisten dan khas. Selanjutnya ciri itu menghasilkan perilaku yang konsisten karena merupakan sifat yang tetap dan jangkauannya umum serta luas. Kelemahan teori sifat ini seperti misalnya sifat pendiam, periang, menyendiri dan ramah tamah belum pasti menunjukkan ke­pribadian individu yang sama pada setiap situasi, karena peri­laku individu masih dipengaruhi oleh lingkungan.
b.      Teori Psikodinamis atau psikoanalis
Teori ini. dikemukakan oleh Freud, menerangkan bahwa perbedaan individual dalam kepribadian: bahwa orang menghadapi perangsangnya yang utama secara berbeda-beda. Menurut Freud selanjutnya mengatakan bahwa individu memiliki energi yang dicapainya dari proses metabolis yang kemudian disalurkan ke berbagai macam rangsangan. Juga perbedaan kepribadian terletak kepada apa yang dinamakan :

n  Id : adalah waduk energi yang dinyatakan sebagai rangsa­ngan yang tak terkendalikan. Bekerja secara tidak rasional dan impulsif, tanpa mempertimbangkan apakah yang diinginkan itu mungkin atau dapat diterima dari segi moral.
n  Superego : gudang/waduk dari nilai individu, termasuk si­kap moral yang dibentuk oleh masyarakat. Superego sering bertentangan dengan Id, karena Id ingin mengerjakan apa yang dirasa baik, sedangkan Superego cenderung mengerjakan/berbuat apa yang benar.
n  Ego : suatu prinsip realitas yang mempengaruhi rangsangan
dalam pengalaman hidup nyata. Suatu gambaran mengenai kenyataan
hidup yang nyata didasarkan pada pengalaman hidupnya. Kehidupan
pada waktu kecil seseorang mempunyai pengaruh yang besar terhadap
perilakunya sampai dewasa. Hal ini telah diuraikan pada bagian di
bagian I lebih panjang.

c.       Teori Humanistis (Humanistic Theories) :
Pendekatan humanistis terhadap pemahaman kepribadian memberi tekanan pada perkembangan dan perwujudan diri dari individu. Teori ini menekankan pentingnya cara mempersepsikan dunia mereka dan kekuatan yang mempengaruhinya. Menurut teori ini perangsang yang paling dasar dari kepribadian tertuju pada perwujudan diri (self actualization), usaha keras yang terus-menerus untuk mewujudkan potensi yang dimilikinya.

Kembali kepada masalah personality (kepribadian) yang harus dipahami oleh setiap manajer/pemimpin bahkan dalam berhubungan dengan orang lain bila untuk memadukan/melebur sebagian kepentingan diri dengan organisasi. Di bawah ini diuraikan sekali lagi : tentang personality, komponen/unsur-unsurnya dan perbedaan-perbedaan kepribadian seseorang :
Personality (Kepribadian) : Adalah keseluruhan dari kualitas dan karakteristik seseorang yang dinyatakan dengan cara berjalan, berbicara, berdandan dan sikap, interest (perhatian/minat) dan cara pergaulan dengan orang-orang lain. Hal-hal inilah yang mempengaruhi karakteristik/ciri-ciri cara berlaku/perilakunya, cara berpikir dan perasaan.
Komponen (unsur-unsur) kepribadian : Fisik, intelektual, sosial emosional dan system
nilai.
a.   Fisik : Ini mencakup cara berdandan (pakaian), cara berjalan,
posture (bentuk tubuh), kesehatan, complexion (corak kulit),
dan facial expression(ekspresi muka).
b.  Intelektual : cara seseorang berbicara dan apa yang dibicarakan (apa memang berbobot bila waktu menguraikan idenya), ini
berkaitan dengan latihan cara berpikir sistematis dan logis.
Termasuk juga daya tangkapnya pada waktu rapat atau dalam komunikasi dengan orang intelek.
c.  Emosional : Unsur emosional ini meliputi kesukaan dan ketidak-kesukaan seseorang apakah orangnya periang atau pemalu, sifat tenang atau penggugup, ataukah ia gampang marah atau tidak.
d.  Sosial : berkelakuan baik (good manners) pada suasana bagaimanapun. Mengerjakan dengan tepat dalam waktu yang tepat pula, dapat bergaul pada strata masyarakat yang berbeda. Tahu menggunakan tatakrama pergaulan (etiket dan kortesi yang tepat dan
baik, berarti orang yang supel bergaul bukan kaku (rigid).
e.  Sistem nilai (Value System) : mencakup sikap seseorang, menilai sesuatu hal, kepercayaan/keyakinan dan filsafat hidup se­seorang yang mempengaruhi sikap (attitudes) dan perilaku, karena presepsinya yang didasarkan kepada filsafat hidup atau
kepercayaannya. Aspek ini dikaitkan kepada karakter seseorang. Dapat dinyatakan dalam sikap/perilaku seseorang untuk menghakimi perbuatan sendiri dan perbuatan orang lain apakah hal itu salah atau benar.
Telah diuraikan dalam bab yang lampau pada waktu proses seleksi bagaimana pewawancara menilai seseorang baik pada waktu wawancara, maupun pada waktu diadakan evaluasi pekerjaan karyawan dapat mempe­ngaruhi untuk menilai seseorang dengan dikaitkan komponen-komponen kepribadian seseorang. Pada umumnya karyawan yang telah lulus dari saringan/seleksi sudah memenuhi persyaratan atau standar yang ditetapkan, tetapi manager atau penyelia sering kecewa karena kepri­badian seseorang karyawan sangat berbeda dengan kenyataan. Kepriba­dian dapat dinyatakan pada situasi krisis, pakah kepribadian sejati ataupun palsu. Begitu juga sang isteri sering kecewa dan heran melihat sikap suaminya. yang dulunya begitu baik, sopan dan penyayang, tetapi berbeda pada waktu situasi krisis, sehingga berkata :"Saya tak pernah menduga bahwa dia begitu egois dan brutal ! Karena memang pada pertemuan pertama yang mempengaruhi melihat rupa luar saja, yakni wajah manis, tubuh yang baik, ekspresi wajah, gaya jalan, cara dandannya dan bicaranya yang menarik. Pada periode masa perkenalan pada situasi normal, kepribadian luar itu dapat mengelabui keputusan seseorang untuk bergabung. Kepribadian yang sejati dapat terlihat pada waktu krisis, bagaimana luhurnya dan aslinya kepriba­dian tersebut.
Seperti yang telah diuraikan di muka bahwa kepribadian/personality yang berbeda-beda adalah disebabkan oleh kekuatan/pengaruh keturunan, kebudayaan, hubungan keluarga dan kekuatan sosial dan kekuatan lain keanggotaan kelompok. Tetapi penulis akan menggolongakan kepada tiga, yakni :
a. Heredity (keturunan yang diwariskan)
Kita dilahirkan dengan sifat yang kita warisi dari orang tua (a set of genes and chromosomes) yang membatasi potensi kita. Potensi ini dapat berkembang dengan atau melalui lingkungan, pengalaman yang bertahun terutama intraksi/pergaulan dengan orang lain. Faktor utama melalui anggota keluarga sendiri dengan peranan orang tua (pendidikan informal), pendidikan non formal oleh lingkungan, dan pendidikan formal yaitu melalui sekolah.
b.   Lingkungan (melieu atau environment)
Pengaruh dari keluarga, sekolah, agama, dan golongan/lingkungan yang pertama kita berinteraksi atau bergaul. Lingkungan mana yang kita banyak berinteraksi hal itulah yang dominan mempengaruhi kepribadian kita.
c.   Pengalaman (Experience)
Meliputi apa yang kita kerjakan/perbuat, apa yang kita peroleh dari hasil perbuatan tersebut, apa yang kita alami dalam kehidupan kita, baik di lingkungan keluarga, di .luar (sekolah, gereja atau rumah peribadatan atau lingkungan tetangga, dll). Perhatikan kembali yang diutarakan dalam bab di muka tentang pribadi yang memiliki P - A - C (Parent, Adult dan Child) yang berkaitan dengan empat sikap/posisi dalam bergaul dengan orang lain ( I'm not OK, You're OK, I'm not OK, you're not OK, I'm OK, you're not OK dan I'm OK, you're OK). Setelah mempelajari dan memahami kepribadian tersebut di atas, maka manager dalam mengadakan interaksi atau hubungan antar manusia dengan bertujuan mengintegrasikan kepentingan bagian ABC tersebut di atas dengan baik, selanjutnya harus memahami kebutuhan manusia.

Hakekat Kebutuhan Manusia

Menurut Edwin B. Flippo dalam bukunya (1984 : 95), bahwa kebu­tuhan manusia dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori :
a.   Kebutuhan fisiologis sebagai kebutuhan primer
Kebutuhan-kebutuhan yang timbul dari daya upaya untuk mem­pertahankan hidup : makanan (pangan) termasuk air, udara dan sandang dan papan (perumahan), juga untuk mempertahankan hidup termasuk juga kebutuhan seks. Model manusia ekonomis menganggap bahwa kebutuhan primer inilah satu-satunya kebutuhan manusia.
b.  Kebutuhan Sosial sebagai kebutuhan sekunder
Kebutuhan sosial atau sekunder ini sifatnya samar-samar dan tak teraba. Kebutuhan itu berbeda-beda intensitasnya untuk setiap orang, lebih banyak perbedaannya daripada kebutuhan primer. Kebutuhan sosial ini meliputi : l) hubungan fisik dan pergaulan (asosiasi), 2) cinta dan kasih sayang, dan 3) rasa diterima. Hubungan fisik dirasa belum cukup, maka memerlukan kasih sayang dari orang lain (timbullah pertalian persaudaraan, persahabatan dan lain sebagainya). Kebutuhan selanjutnya yaitu kasih sayang belum dirasa cukup, maka kebutuhan lain ialah perasaan dapat berterima dalam satu atau beberapa kelompok. Kebutuhan akan sikap masyarakat yang menerima dan menyetujui kepribadian seseorang juga tercermin dalam faktor-faktor seperti gaya, mode, tradisi adat istiadat dan kode etik. Hal ini kuat untuk suatu organisasi menjadi suatu kebutuhan yang kuat.
c. Kebutuhan egoistic
Hal ini berasal dari kebutuhan untuk memandang ego atau di­ri sendiri dalam suatu cara tertentu. Kebutuhan egoistik, antara la­in : 1) penghargaan, 2) kekuasaan, 3) kebebasan dan 4) prestasi. Hal ini biasanya berurut atau berkesinambungan, dengan seseorang dipromosikan merasa mendapat penghargaan, kemudian selanjutnya mencari kekuasaan yang bertalian dengan promosi tadi, dengan promosi yang mepunyai kekuasaan lebih berani bertindak atau mengeluarkan suara bila umpamanya ada suara-suara dari serikat kerja, hal ini memperlihatkan kebebasan sebagai mempertinggi harga diri (self-esteem). Beberapa pakar psikologi berpendapat bahwa kebutuhan manusia yang paling tinggi adalah kebutuhan untuk berprestasi atau perwujudan diri (self-actualization), sebagai kebutuhan untuk mencapai sesuatu yang nyata dalam hidup. Ingat bahwa pekerjaan atau tugas adalah merupakan sumber kepuasan utama untuk kebutuhan ini.

Jikalau kepuasan seseorang sebagai pemenuhan kebutuhan telah tercapai dengan penyesuaian diri dengan kebutuhan masyarakat atau organisasi (peleburan kepentingan sendiri dengan peleburan kepentingan/kebutuhan organisasi), orang tersebut dapat menyesuaikan di­ri atau "adjusted", sebaliknya bila kepentingan seseorang tidak dapat atau tidak mampu memenuhi sesuatu kebutuhan tertentu atau mampu memenuhi dengan cara yang tidak berterima dengan organisasi di mana ia kerja, disebut orang tersebut tidak dapat menyesuaikan diri, bi­la sering terjadi hal sama sehingga dia tak dapat diterima masyara­kat disebut "maladjusted". Bila seseorang berusaha untuk memenuhi ke­butuhan dengan cara apa pun, maka akibatnya timbul ketegangan-ketegangan dalam jiwa, akhirnya timbul "frustrasi'. Frustrasi mencakup, antara lain :
-   Agresi : sikap menyerang atau mempertahankan/melindungi diri lalu menyalahkan orang lain atau alat yang kurang baik bila dipergunakan. Sikap ini menunjukkan mengahancurkan penghalang/rintangan bukan bersifat memperbaiki yang kurang tepat atau yang salah. Hal faktor penyebab agresi harus diketahui/dipahami oleh setiap penyelia atau ma­nager, karena bila karyawan dalam tahap sedemikian, sering terjadi bentrokan karena berani melawan atau membangkang suatu perintah bahkan pada saat itu tidak takut akibat dikeluarkan. Kalau anda penyelia pada keadaan demikian, apakah yang anda harus lakukan ?
- Regresi_: - suatu jenis perilaku childish (kekanak-kanakan) yaitu mengeluh, merengek dengan maksud mengursngi frustrasi. Hal ini dapat merugikan rekan-rekan sejawat. Mengapa, berikan alasan Anda?
- Fiksasi  : - suatu sikap atau usaha untuk memenuhi kebutuhan yang ternyata atau tidak bermanfaat, seperti sering terjadi entah an­da telah pernah alami, bila merasa kehilangan sesuatu benda, lalu An­da selalu terus-menerus mencari kesuatu tempat, umpamanya di laci yang sama. Walaupun pada pertama Anda telah membuka laci tsb dan ti­dak ada benda itu di sana, Anda terus ke sana (tidak ada manfaatnya).
- Withdrawal (menarik diri dari masyarakat ) atau pengunduran di­ri. Hal ini karena segala usaha dilakukan untuk memuaskan diri dari pemenuhan kebutuhan yang tidak berhasil, sehingga menyerah total. Tetapi tidak berinisiatif untuk menggantinya sebagai kompensasi positif (mencari faktor penyebab), tidak ada usaha mengatasi rintangan lagi, akibatnya pelarian hanya air mata, menutup diri mungkin bertindak bunuh diri, atau sikap frustrasi yang ekstrim dengan sakit men­tal yang serious.

4. Kebutuhan Manusia Menurut Para Pakar Psikologi Organisasi
         a.   A. H. Maslow
            Dia menggambar urutan prioritas atau hirarki kebutuhan manusia, sebagai berikut : James A.F. Stooner dalam bukunya "Management; yang dikutip oleh J. Ravianto :
                Tingkatan(hierarki) kebutuhan dasar manusia adalah, sebagai beri­kut :
1.      Kebutuhan Pisiologis Dasar
2.      Keselamatan dan Keamanan
3.      Cinta (Kasih Sayang)
4.      Penghargaan
5.      Perwujudan Diri (Aktualisasi Diri)
Ad 1.   Kebutuhan biologis : air, makanan, berteduh, seks
Ad 2.   Keselamatan jasmaniah/rohaniah, keamanan pribadi / keluarga, bebas dari takut, keteraturan dan norma dalam pergaulan, dll
Ad 3.   Kasih sayang/cinta, rasa memiliki, diterima oleh masyarakat, dll
Ad 4.   Penghargaan dan pengakuan status dari prestasi
Ad 5.   Perwujudan diri untuk mencapai cita-cita

Kebutuhan-kebutuhan fisiologis itu digolongkan  kebutuhan primer, maka  digolongkan dalara prioritas pertama,   lihat gambar hirarki ke­butuhan yang dimulai  dari  dasar  (karena   kebutuhan dasar manusia). Bila  kebutuhan dasar telah  terpenuhi,   maka kebutuhan kedua akan dicari  yaitu  agar merasa selamat dan aman,   maka membutuhkan keteratu­ran dalam masyarakat dan norma-norma lainnya seperti norma kesopanan, kesusilaan dan norma  hukum dan norma  agama   (supaya ada kedamaian da­lam hati).   Kemudian  sesudah kebutuhan prioritas kedua terpenuhi,   selanjutnya  akan membutuhkan kebutuhan ketiga yaitu kasih sayang (mencintai  dan dicintai  orang)  dan berterima  di masyarakat,  maka membu­tuhkan pergaulan  serta  rasa memiliki dalam  organisasi yang dia masuki menjadi  salah satu anggotanya.  Selanjutnya membutuhkan rasa dihargai atas kepribadiannya, karyanya dan eksistensinya dalam organisasi/masyarakat. Selanjutnya kebutuhan skala tertinggi ialah perwujudan diri, mengacu kepada keinginan untuk pemenuhan diri (self-fulfilment) dan prestasi yang diinginkan oleh manusia atas kemampuan atau potensi yang dimiliki  atau dilaksanakan. Inilah kebutuhan ter­tinggi yang ditempatkan pada perioritas  terendah yang pada umumnya dikehendaki kebutuhan ini oleh golongan orang-orang intellek atau elit karena bagi mereka soal kebutuhan primer sudah berlimpah-ruah sehingga kurang berminat mengejarnya lagi, hanya tinggal mempertahankan,  memelihara atapun meningkatkan kebutuhan primer dengan usaha lebih rendah bila dibandingkan dengan kebutuhan sekunder. Tetapi ba­gi kaum golongan menengah ke bawah, terutama karyawan rendah kebutu­han primer itulah yang paling perioritas tertinggi bagi mereka, kare­na harus memperjuangkan hidup yang serba kekurangan atau pas-pasan.

Menurut Flippo (1984  :  100), Maslow berpendapat bahwa rata-rata masyarakat mungkin terpuaskan 85 % dalam kebutuhan primer (fisiolo­gis),  70 % dalam kebutuhan akan rasa aman,   50 % dalam kebutuhan ka­sih sayang (kasih),  40 % dalam kategori harga diri  (self-esteem)  dan 10 % dalam kebutuhan perwujudan diri  (self-actualization)

       b.  Teori MCGREGOR
            Nama lengkapnya ialah Douglas Mc Gregor yang pertama sekali yang memperkenalkan hakikat rangkap dua dalam diri manusia dengan ''Teori X dan Y”.  Rangkap dua yang dimaksud ialah, sehubungan dengan kontradiksi dan hakekat rangkap dua : manusia dapat bersikap lembut,  simpati dan cinta tetapi sekaligus bisa memiliki kecenderungan untuk bersikap kejam, tidak berperasaan, benci dan agresi yang jahat. Dialah yang pertama memperkenalkan teori X dan Y ke dalam literatur manajemen, setelah mempelajari pelaksanaan manajer-manajer tradisional lalu mengusulkan agar dipergunakan teori X dan Y. Adapun teori X itu memberi asumsi, bahwa :
a.   Rata-rata manusia tidak menyukai kerja dan jika memungkinkan akan menghindarinya.
b.   Maka mereka harus dipaksa, dikendalikan, diarahkan dan diancam dengan memberi hukuman agar mereka mau bekerja.
c.   Rata-rata menusia lebih senang diarahkan/dipimpin, lebih suka menghindari tanggung jawab dan dengan ambisi yang relatif kecil/sedikit dan menginginkan keamanan di atas segalanya.

Tetapi ketidaksetujuan asumsi-asumsi teori X seluruhnya, maka McGregor sendiri atas dasar hasil-hasil penelitian sosial dan psikologis, dia mengajukan teori yang berlawanan lagi yaitu teori Y sebagai suatu penilaian yang lebih realistik atas kemampuan manusia sebagai berikut :
a.          Bekerja, bermain dan istirahat sama-sama menuntut pengerahan tenaga fisik dan mental. Maka wajarlah pekerjaan yang tiga hal itu diusahakan.
b.    Manusia akan melakukan pengarahan dan pengawasan diri sendiri untuk mencapai tujuan yang disepakati bersama.
c.    Keikatan kepada sasaran/tujuan adalah suatu fungsi yang dihubungkan dengan prestasi.
d.    Rata-rata menusia belajar, dalam kondisi yang tepat, ti­dak hanya untuk menerima tanggung jawab tetapi juga mencari tanggung jawab.
e.     Kemampuan melaksanakan kreatifitas dan menggunakan tingkat imajinasi dan kecerdasan untuk memcahkan masalah-masalah organisasi adalah tersebar luas dalam masyarakat.
f.     Potensi (kesanggupan) intelektual dari rata-rata manu­sia hanya sebagian yang digunakan dalam kehidupan industri canggih.
Menurut teori Y dari McGregor perlu para manajer untuk mengambil langkah-langkah positif dalam membenahi perilaku karyawan atau memotivasi karyawan dengan cara peningkatan prestasi, kerja sama dan keterikatan pada keputusan. Untuk mencapai sasaran/tujuan, dedikasi dan prestasi harus dibina dan diintegrasikan, begitu juga penghargaan dan perwujudan diri. Dengan demikian manajemen harus menyusun lingkungan perusahaan dalam pengintegrasian serta pembinaan hal-hal tersebut di atas, sehingga member saluran untuk potensi manusia yang sangat potensial yang sebenarnya sangat ajaib dan dahsyat. Jadi organisasi modern yang canggih dewasa ini harus memperhatikannya, begitu juga bahwa organisasi-organisasi bisnis di Jepang mengikuti model teori Y.

c.    Menurut Chris Argyris
            Dia mengusulkan beberapa dimensi kedewasaan dimana orang akan berkembang untuk mencapai kesehatan mental yang baik. Juga mengatakan bahwa walaupun manusia mungkin dibentuk pada saat lahir dengan semua kebutuhan Maslow dan potensi teori Y yang tersimpan dalam bentuk embrionik, perkembangan dari titik itu pada hakekatnya menuju ke arah kedewasaan (maturity). Selanjutnya dikatakan bahwa proses pendewasaan ada tujuih sifat yang diuraikan dalam buku Flippo (1984 : 102), sebagai berikut :
1.     Pasif                                                    6.  mempunyai minat yang lebih
2.     tergantung                                                 dangkal
3.     tidak sadar diri                                                   7.   mampu berperilaku hanya dalam
4.     bersifat lebih rendah                                                beberapa cara
5.     mempunyai perspektif waktu yang pendek

             Selanjutnya dikatakan bahwa di pihak lain, gerak maju menuju kedewasaan akan menimbulkan perilaku yang ditandai dengan meningkatnya kegiatan, kebebasan, kesadaran akan pengendalian atas diri, cita-cita untuk menduduki posisi yang sama atau lebih tinggi, perspektif jangka panjang, pengembangan minat yang lebih dalam, dan kemampuan untuk berperilaku dalam banyak cara untuk memuaskan kebutuhan. Jika dihadapkan pada ketidak-sesuaian antara tuntutan organisasi dengan kebutuhan manusia yang dewasa, maka diungkapkan bahwa karyawan akan terlibat dalam salah satu atau beberapa kegiatan yang berikut :
1.      Melarikan diri            2.    Menyerang             3.    Menyesuaikan diri
Melarikan diri dengan meninggalkan pekerjaan, sering tidak masuk atau pindah kerja mencari posisi yang lebih baik. Menyerang dengan melakukan perlawanan diam-diam, mengajak karyawan-karyawan lain untuk memperlambat kerja dan membentuk organisasi pekerja. Menurut Argys bahwa karyawan berperilaku akan menerima dan menyesuaikan diri kepada situasi kekanak-kanakan atau apatis.
d.   Menurut Frederick Herzberg
          Teorinya konsisten dengan perwujudan diri (self-actualization) dari Malow, teori Y McGregor dan proses pendewasaan Argys. Dikemukakan bahwa manusia mempunyai dua kebutuhan dasar yakni, kebutuhan untuk menghindari rasa sakit dan kedua bertumbuh, berkembang dan belajar. Perasaan yang tidak menyenangkan berkaitan dengan pengalaman-pengalaman dan isi pekerjaan itu sendiri begitu juga hal perasaan menyenangkan. Perasaan yang tidak menyenangkan yang diungkapkan, pada umumnya bersangkutan dengan aspek-aspek yang mengelilingi suasana (keadaan) pekerjaan. Seterusnya ia katakan ada dua kelompok faktor yang mempengaruhi motivasi ker­ja seseorang dalam perusahaan, yaitu pemuas kerja (job satisfiers) yang berkaitan dengan isi pekerjaan dan penyebab ketidakpuasan kerja (job dissatisfiers) yang bersangkutan dengan suasana pekerjaan. Satisfiers disebut dengan istilah motiva­tors dan dissatisfiers disesbut factor-faktor higienis (hy­giene factors). Jika digabungkan kedua istilah tersebut maka dikenal sebagai teori motivasi dua faktor atau teori motivasi higienis (motivation-hygiene theory) atau sering disingkat teori M - H (Motivator and Hygiene).
          Teori Herzberg mirip dengan hirarki kebutuhan Maslow; jika faktor-faktor higienis dihubungkan dengan kebutuhan-kebutuhan fisiologis, keamanan dan sosial, yang mempunyai prioritas yang lebih tinggi, sementara motivator sebagai kebutuhan penghargaan, ego dan perwujudan diri. Hirarki Maslow mengemukakan suatu rangkaian kesatuan bukan rangkaian kebutuhan yang dirasakan yang terputus-putus. Teori Herzberg tidak memerlukan faktor-faktor higie­nis sebagai persyaratan bagi kepuasan kerja. Karena bila faktor-faktor motivasional dan higienis dilaksanakan bersamaan maka ke­puasan akan menjadi lebih tinggi.
          Di bawah ini digambarkan teori dua faktor Herzberg
                     Faktor Higienis :                                        Motivators :
1. Kebijakan dan administrasi organisasi            l.Prestasi
2. Pengawasan, teknis                                         2.Pengakuan,penghargaan
3. Gaji                                                                  3.Pekerjaan itu sendiri
4. Hubungan antar pribadi, penyelia                   4.Tanggungjawab
5. Kondisi kerja                                                   5.Promosi

            Motivators adalah sebagai sumber kepuasan kerja yang dapat memotivasi karyawan pada pekerjaannya, jadi dapat dipadankan seba­gai kebutuhan hirarki Maslow sebagai kebutuhan sekunder (tingkat atas). Menurut Herzberg bahwa seseorang karyawan harus mampunyai pekerjaan yang lebih menantang, lebih banyak tuntutan kesempatan untuk menjadi tenaga ahli dan mengembangkan kemampuan agar termotivasi melaksanaksn pekerjaannya. Di bawah ini akan digambar­kan : Hubungan antara Teori Hasiow, Herzberg dan McGregor, sebagai berikut :

MASLOW
HERZBERG
McGREGOR
Tingkat kebutuhan yg lebih tinggi
Motivator
Teori Y
Aktualisasi  diri Penghargaan
Prestasi
Penghargaan
Kenaikan pangkat Tanggung jawab Pekerjaan itu sendiri.
Kepuasan atas kebutuhan akan penghargaan dan aktualisasi diri

Tanggung jawab

Imijinasi dan kreavitas

Pengarahan dan pengendalian diri
Tingkat kebutuhan yg lebih rendah
Faktor Higienis
Teori X

Kebijaksanaan dan administrasi perusahaan
Keamanan di atas segala-galanya
Sosial
Pengawasan Hubungan antar pribadi
Adanya pengarahan lebih disukai
Keamanan
Fisiologis
Gaji
Dibutuhkan adanya hukuman
Kondisi kerja
Sumber :  Prof. Dr. Sukanto Heksohadiprod.jo, .M.Com.
                Drs. T. Hani Handoko, MBA (1989 : 272)

5.M0TIVASI
Setelah memahami kepribadian (personality), hakekat kebutuhan manusia (kepentingan-kepentingan), maka tibalah tugas yang rumit dan sangat panting bagi setiap manajer/pimpinan untuk mengubah jenis-jenis kebutuhan menjadi keinginan-keinginan karyawan. Tentang kebutuhan-kebutuhan dan keingingan-keinginan karyawan terhadap perusahaan tak dapat diberi. definisi dan asumsi secara mudah, akan tetapi menurut Flippo (1984:115) bahwa keinginan khusus adalah sebagai berikut :
1. Upah : salah satu alat pemuas kebutuhan fisiologis, keterjaminan dan egoistik.
2. Keterjaminan pekerjaan (security of job) : perhatikan ancaman dari perubahan teknologis, dan keterjaminan ini adalah salah satu dari hirarki kebutuhan Maslow
3.             Teman-teman sekerja yang menyenangkan (congenial associ­ate) : keinginan dari kebutuhan sosialisasi antar sekerja untuk berteman dan berterima. Bagaimana kegiatan yang diprakarsai oleh pihak manajemen (rekreasi, sarana sosialisasi, dll).
4.   Penghargaan atas pekerjaan yang diiakukan (Credit for work done) : merupakan pemberian insentif berupa materi dan atau non materi (pujian lisan atas prestasi, dll).
5.   Pekerjaan yang berarti (meaningful Job) : keinginan ini berasal dari kebutuhan akan penghargaan maupun dorongan ke arah perwujudan diri dan prestasi.
6.   Kesempatan untuk maju (opportunity to advance) : tidak semua karyawan ingin maju, cukuplah kebutuhan sosial yang dirasakan lebih kuat dari kebutuhan egoistik. Namun masih banyak yang ingin mau maju dan ingin mengetahui menggunakan kesempatan dan prosedurnya.
7. Kondisi kerja yang nyaman, aman dan menarik : hal ini karyawan ingin mengejar/memillki lambang status yang dapat dilihat dari fasilitas baik di ruang kerja seperti meja dan permadani, dll.
8.   Kepemimpinan.yang mampu dan adil (competent and fair lea­dership) : karyawan lebih senang bila menerima suatu perintah/petunjuk dari pemimpin yang handal/qualified dan menerapkan keadilan dalam pekerjaan dalam arti luas.
9.   Perintah dan pengarahan yang masuk akal (reasonable orders and directions) : perintah merupakan komunikasi resmi/sah da­ri organisasi, harus berkaitan dengan yang dibutuhkan, dapat dilaksanakan serta lengkap, jelas dan singkat dan dapat me­rangsang pihak yang menerima. Jika perintah yang berlebih-lebihan dan tak dapat masuk akal akan mengakibatkan kekecewaan bagi karyawan.
10. Suatu organisasi yang relevan secara sosial (a socially re­levant organization) : hendaknya organisasi/perusahaan itu yang dapat mempengaruhi pengharapan setiap karyawan.
             
              Kebutuhan-kebutuhan karyawan yang berubah menjadi keinginan-keinginan, dan bagaimana manajemen mengarahkan serta menggerakkan atau merangsang untuk mengerjakan pekerjaan yang telah dibebankan. Hal menggerakkan, mengarahkan, merangsang atau mendorong seseorang untuk melaksanakan tugasnya tanpa perasaan dalam keadaan terpaksa demi mencapai sasaran inilah yang'disebut motivasi. Sesuai yang dikatakan oleh Flippo bahwa, motivasi adalah suatu keahlian, dalam mengarahkan karyawan dan organisasi agar mau bekerja secara berhasil, sehingga tercapai keinginan para karyawan sekaligus tercapai tujuan organisasi.
Motivasi menyangkut reaksi berantai, yaitu dimulai dari kebutu­han yang dirasakan (The need), lalu timbul keinginan atau sasaran yang hendak dicapai (Want), kemudian menyebabkan usaha-usaha men­capai sasaran atau tujuan yang berakhir dengan kepuasan (Satisfac­tion).
Suatu perangsang (stimulus) dapat berbentuk material atau non material yang tercipta oleh internal (keinginan) maupun eksternal (yang bersumber dari manajer bagi karyawan). Rangsangan yang men­ciptakan keinginan (Want) yang mempengaruhi perilaku seseorang. Keinginan inilah menjadi daya penggerak dan kemauan bekerja. Kemauan bekerja menghasilkan pemenuhan kebutuhan dan kepuasan. Ke­butuhan dan kepuasan mendorong menciptakan perangsang (stimulasi) selanjutnya dan seterusnya yang merupakan siklus. Lihat selanjutnya gambar di bawah ini (Malayu 1990:159)
Konsep motif dan motivasi :
Pengertian Motivasi
            Perilaku manusia ditimbulkan atau dimulai dengan adanya motivasi yang mendorong keinginan seseorang untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu untuk mencapai suatu sasaran atau tujuan. Dan motivasi yang ada dalam diri seseorang itu akan mewujudkan suati perilaku yang diarahkan pada tujuan mencapai sasaran kepuasan. Jadi motivasi bukanlah sesuatu yang dapat diobservasi, tetapi dapat disimpulkan karena perilaku yang tampak. Motivasi merupakan suatu pendorong oleh sesutu kekuatan dalam diri seseorang untuk melakukan suatu perbuatan/pekerjaan. Kekuatan pendorong inilah yang disebut motivasi. Kebutuhan harus diciptakan atau timbul/didorong sebelum memenuhi sebagai suatu motivasi dan sumber yang mendorong terciptanya suatu kebutuhan dapat berada pada diri seseorang (seperti melihat makanan yang menarik), atau dengan adanya makanan dapat menimbulkan rasa lapar.
            Dapat diperhatikan gambar di bawah ini sesuai dengan bukunya Dr. Winardi dengan judul “Manajemen Personalia” halaman 22 :
Keterangan   :
Seseoarang menyadari bahwa timbul tegangan dalam dirinya karena suatu kebutuhan yang tidak terpenuhi,  melalui  stimulasi baik in­tern maupun ekstern melakukan tindakan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhannya  (hal tersebut mungkin didahului  oleh tindakan untuk memperbesar tekanan hingga  titik kritis).   Tindakan itu mengandung tujuan dan diarahkan ke arah suatu perangsang yang menurut anggapannya akan memenuhi kebutuhan yang dirasakan itu.  Apabila ia memperoleh perangsang atau imbalan tersebut  ia  akan mengalami  suatu pengurangan tekanan.
Contoh  :   Jikalau ia merasakan lapar  (bangkit  tegangan),  lalu ia mencari sumber pangan (ini suatu tindakan),  kemudian ia melihat makanan di dalam lemari es (perangsang),  ia memakannya sehingga mengurangi rasa lapamya (pengurangan tegangan).
Perlu diketahui bahwa kebutuhan dan keinginan setiap anggota atau karyawan berbeda-beda, maka motivasi merupakan masalah yang kompleks. Setiap anggota/karyawan adalah unik secara biologis maupun psikologis dan berkembang atas dasar proses belajar.  Dalam menentukan jalannya suatu perusahaan, manajer hams mengetahui apa yang menjadi motivasi para karyawan yang berbeda-beda itu. Seperti yang diuraikan di muka bahwa motivasi dapat timbul oleh faktor in­ternal atau faktor eksternal yang tergantung dari mana kegiatan dimulai. Motivasi internal itu berasal dari diri pribadi individu, sedangkan motivasi eksternal dibangun di atas motivasi internal yang datangnya dari pihak manajemen bagaimana metoda atau teknik-teknik yang dipergunakan perusahaan untuk memotivasi karyawan. Pelajari kembali teori McGregor dan Herzberg yaitu tentang moti­vator (prestasi kerja, penghargaan, kenaikan pangkat, tanggung jawab, pekerjaan itu sendiri). Faktor Higienis (kebijaksanaan dan administrasi perusahaan, pengawasan,  hubungan antar manusia,   gaji dan kondisi kerja). Teori McGregor "Y"   (kepuasan atas kebutuhan akan penghargaan dan aktualisasi diri, tanggung jawab, imijinasi dan kreativitas dan penghargaan dan pengandalian diri).  Teori "X"nya (keamanan di atas segala-galanya, adanya pengarahan lebih disukai, dan kebutuhan adanya hukuman). Semuanya ini adalah motivasi ekstern. Pendekatan Maslow dan McGregor serta para pakar lainnya nampaknya berbeda, tetapi pandangan mereka sebenarnya saling melengkapi.

Motivasi Eksternal
Teori eksternal mengembangkan teori internal bukan mengabaikannya, yang mernjelaskan kekuatan kekuatan yang dalam diri seseorang yang dipengaruhi faktor-faktor intern yang dikendalikan oleh ma­najer melalui metoda atau teknik dengan tujuan agar loyal bekerja para karyawan. Adapun metoda yang dipakai oleh manajer yang mempergunakan motivasi eksternal yang positif yaitu teori Y dari McGregor yang digabungkan dengan teori X yang dibuat peneiitian tentang motivasi dan perilaku umum karyawan di Amerika (dia psikolog sosial di Amerika).
Motivasi positif merangsang karyawan dengan memberikan hadiah bagi setiap yang berprestasi di atas prestasi standar. Dengan moti­vasi positif ini semangat bekerja akan meningkat. Motivasi positif j'uga disebut insentif-positif. Di samping penghargaan juga manajer dalam komunikasi atau pergaulan yang membangkitkan semangat, dll.
Motivasi negatif (insentif-negatif) dilakukan pihak manajer de­ngan memberi disiplin atau hukuman bila tidak mencapai prestasi atau memberikan ancaman di PHK bila ada hal yang tak tercapai. Untuk jangka pendek dapat nampak hasilnya tetapi untuk jangka panjang kurang berhasil, karena motivasi negatif karyawan mengerjakan tugasnya dengan keadaan takut atau karena kebutuhan untuk hidup. Memang kedua motivasi itu sering dipergunakan oleh perusahaan untuk tujuan agar mencapai tujuan perusahaan. Hanya persoalan kapan dipergunakan atau dalam situasi mana. Hal inilah menjadi suatu pemikiran bagi manajer demi memelihara kestabilan dan nyaman dalam melakukan pekerjaan oleh karyawan. Seperti dimaklumi bahwa teori Y dari McGregor dengan anggapan bila dilaksanakan akan lebih mengarahkan tercapainya motivasi yang lebih tinggi serta menaikkan kemungkinan terpenuhinya kebutuhan karyawan dan tujuan perusahaan. Dasar utama teori Y itu adalah integrasi dan kerjasama. Dengan integrasi, para karyawan dapat mencapai tujuan mereka sendiri mela­lui sumbangan mereka untuk mencapai tujuan perusahaan. Jadi moti­vasi eksternal seharusnya cukup fleksibel untuk menyesuaikan diri dengan setiap keunikan orang dalam perusahaan. Perlu para manajer memperhatikan dan penerapan teori X dan Y dalam proporsi sesuai de­ngan situasi dan kondisi, sebagai anggapan McGregor begitu juga memanfaatkan motivator-motivator Herzberg. Manajemen harus bertanggung jawab untuk menciptakan kondisi-kondisi di dalam mana karyawan akan bersedia bekerja untuk sasaran-sasaran perusahaan secara sukarela, karena mereka menikmati pekerjaan (bukan hanya tempat kerja) dan beranggapan penting melakukan pekarjaan yang baik. Jadi manajemen harus membuang asumsi bahwa pakerjaan harus tidak menyenangkan dan yang terpenting, para pekerja/karyawan dianggap memiliki kemampuan-kemampua kreatif yang belum dimanfaatkan, dan bila terkekang akan dapat diarahkan untuk mencapai sasaran-sasaran manajemen.
Teori-teori Proses Motivasi Ker.ia
1. Teori Pengharapan : Victor H. Vroom bukunya "Work and Moti­vation", antara lain menguraikan :
Vroom orang yang pertama yang merumuskan teori pengharapan mo­tivasi kerja dalam tahun 1964. Teorinya ialah menjadi dasar bagi banyak teori proses modern dan bagi dasar teoritis penelitian hubungan prestasi dan kepuasan kerja.
Rumus Vroom yang menyatakan bahwa danpak motivasi yang diinginkan manajemen dari karyawan sangat dipengaruhi oleh penilaian karyawan atas :
a. Valensi atau nilai yang diharapkan yang akan dinikmati atas hasil yang dilakukan/dikerjakan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadi. Menurutnya, ada dua jenis hasil yang dapat dinikmati, yaitu : 1) hasil-hasil langsung (prizer) antara lain uang, promosi, perasaan mampu dan 2) hasil-hasil sekunder, antara lain yang timbul dari hasil 'primer itu, antara lain mobil yang dapat dibeli dengan uang, karena promosi maka kedudukan lebih tinggi sehingga ra­sa bangga berkat adanya keyakinan akan kemampuan. Hasil sekunder ini berkaitan dengan hirarki kebutuhan Maslow bagian atas (sekun­der atau prioritas kedua). Pemotivasian dengan uang, demikian juga dengan faktor lain, akan berhasil apabila karyawan menginginkan serta yakin bahwa uang tersebut diperoleh atas prestasi kerja dengan standar yang ditentukan oleh perusahaan.

b. Kekuatan Pengharapan (Expectancy)
Teori pangharapan ini mengatakan bahwa para karyawan akan terdorong untuk berproduksi hanya bila mereka mengharapkan bahwa produktivitas akan menuju ke suatu tujuan yang mereka hargai. Jelasnya, bahwa peningkatan usaha/kegiatan akan menuju ke peningkatan prestasi, dan peningkatan prestasi akan menghasilkan kepuasan kerja akibat terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan karyawan. Barangkali karyawan akan menilai imbalan jasa yang diteriimanya cukup tinggi, namun bila imbalan tersebut hanya akan mempunyai dampak kecil atas perilaku jika tidak merasakan : 1) kemampuan pribadi sesuai dengan persyaratan atau standar yang ditentukan, dan 2) hubungan yang jelas antara perilaku yang diinginkan de­ngan hasil yang dinilai. Jadi pengharapan (expectancy) pertama yang harus diperkirakan adalah hubungan antara usaha/kegiatan dengan prestasi. Pada umumnya bahwa karyawan yang terampil/terlatih serta berpengalaman akan memperkirakan pengharapan yang lebih tinggi daripada karyawan yang baru yang belum terampil atau belum terlatih. Begitu juga bahwa pongharapan dapat dikendalikan secara lebih efektif pada permulaan masa kerrja, karena keadaan pekerja baru umpamanya masih polos dan pengharapan perbaikan nasib masih lebih mendambakan. Manajer yang baru umpamanya masih lebih mudah dipengaruhi oleh pengharapan-pengharapan atasannya. Teori pengharapan (Expectancy) menggariskan, sebagai berikut:
1. Usaha atau kegiatan yang lebih besar harus diharapkan menghasilkan prestasi. Umumnya memang demikian. Tetapi bila kegiatan/usaha dirasakan tidak ada hubungannya de­ngan produksi (suatu tujuan lain dari perusahaan), para pekerja tidak atau kurang mengerahkan tenaganya.
2. Prestasi haruslah diharapkan akan menghasilkan suatu macam kegunaan/manfaat atau beberapa kegunaannya. Perhatikan bahwa pengharapan dalam suatu usaha, menghasilkan/memberikan manfaat yang tidak sama satu sama lainnya. Umpama­nya bagi karyawan relatif muda atau kurang pengalaman, ti­dak akan mengharapkan (kecil harapannya akan mendapat kenaikan pangkat atas usaha kerja keras, karena promosi yang didasarkan atas senioritas), hanya mungkin mengharapkan su­atu imbalan penghargaan atau pujian. Tidak sedikit karyawan yang mengetahui bahkan mengalami serta yakin bahwa imbalan atas pekerjaan baik tidak mendapatkan apa-apa. Maka mereka kenyataannya yakin bahwa kerja keras tidak membawa hasil, karena tidak pernah mungkin dilihat atau yang dikenal menerima genjaran/imbalan atas usaha-usaha baik, malah mere­ka rugi baik dari segi waktu, tenaga maupun materi. Karyawan-karyawan seperti ini tidak mungkin dimotivasi, kecuali jika pengharapan-pengharapan yang mereka rasakan diubah.
3. Daya upaya (Maslahat) harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang penting bagi karyawan.Daya upaya yang berhasil baik atau.bermanfaat ada kalanya tergantung atas persetujuan rekan, namun jika karyawan menginginkan bentuk uang, persetujuan rekan tersebut menjadi kurang termotivasi. Tentu saia tingkat ini variabel-variabel kepribadian ikut berperan. Ada orang mungkin termotivasi atas suatu pujian dan pada saat yang berbeda tidak termotivasi ka­rena suatu pujian, karena lebih butuh umpamanya imbalannya berbentuk uang.
4. Kepuasan yang diperoleh dari usaha/kegiatan/pekerjaan harus cukup untuk membuat usaha menjadi berharga. Sering kali para karyawan mempunyai konsep-konsep ekuitas (equ­ity) atau kewajaran/keadilan yang kuat sebagai imbalan hasil atau prestasi kerja kurang wajar/layak dan adil, mereka tidak akan mungkin bekerja keras. Ingat pelajaran tentang kompensasi yang telah diterangkan (tentang konsistensi internal dan konsistensi eksternal). Mereka dipengaruhi oleh sikap rekan-rekan sekerja dan oleh membanding-bandingkan antara imbalan orang lain.
5. Akhirnya harus ada umpan balik : motivasi mungkin akan merosot jika para pekerja/karyawan tidak yakin apakah usaha-usaha me­reka akan membawa hasil atau tidak. Teori psikologi mengatakan bahwa motivasi lebih besar, jika usaha langsung diikuti oleh suatu hasil, dengan perkataan lain, jika hasil/imbalan ditunda terlalu lama, motivasi akan memudar atau terganggu.

3. ACHIEVEMENT MOTIVATION THEORY
Teori ini dikemukan oleh David Mc Clelland, dia adalah mantan Direkrur Pusat Penelitian Kepribadian di Universitas Harvard. Bersama kawan-kawannya mempelajari masalah yang berkaitan dengan keberhasilan seseorang (the needs to achieve = kebutuhan-kebutuhan untuk dicapai). Teori ini mengemukakan bahwa karyawan mempunyai cadangan energi yang potensial yang penggunaannya tergantung bagaimana akan dapat digunakan/dilepaskan oleh kekuatan dorongan (motivasi) seseorang dalam situasi serta peluang yang tersedia. Ener­gi akan dapat dimanfaatkan oleh karyawan oleh dorongan, sebagai berikut :
a.    Kekuatan motif dan kebutuhan dasar yang terlibat. Hal ini dipengaruhi suatu stimulasi (rangsangan) dari eksternal setelah memahami kebutuhan yang berubah menjadi keinginan.
b.         Harapan keberhasilannya : dengan ada harapan untuk berhasil, jika tak mengharapkan akan keberhasilan perilaku tak akan termotivasi.
c.          Nilai insentif yang terlekat pada tujuan itu sendiri.

Menurut Drs Hasibuan (1990 : 180, 181), bahwa faktor yang dapat memotivasi seseorang adalah, sebagai berikut :
a.          Kebutuhan akan prestasi (Need for Achievement = n Ach)
Kebutuhan prestasi ini merupakan daya penggerak yang memoti­vasi semangat kerja seseorang. Karyawan akan antusias untuk ber-prestasi, maka usahanya semaksimal mungkin digunakan.
b.         Kebutuhan akan Afiliasi (Need for Affliation = N Af)
Kebutuhan afliasi menjadi penggerak untuk memotivasi sema­ngat seseorang bekerja giat, dan menginginkan:
1.           Kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain di ling-ngungannya sendiri di mana ia bekerja (sense of belonging)
2.           Kebutuhan akan perasaan dihormati karena merasa diri pen-ting (sense of importance).
3.           Kebutuhan akan perasaan maju dan tidak gagal (sense of achievement).
4.           Kebutuhan akan perasaan ikut serta (sense of participa­tion).
c.       Kebutuhan akan Kekuasaan (Need for power = N Pow)
Kebutuhan akan kekuasaan merupakan daya penggerak yang me­motivasi semangat kerja seseorang. Ego manusia yang ingin lebih berkuasa dari orang lain sehingga menimbulkan persaingan. Karena itu kebutuhan akan kekuasaan (n POW) ini yang merangsang dan me­motivasi gairah kerja seseorang serta mengerahkan semua kemampuan demi mencapai kekuasaan atau kedudukan yang terbaik. Ego manu­sia yang ingin lebih berkuasa dari manusia lainnya sehingga menim­bulkan persaingan. Persaingan ini oleh manager ditumbuhkan secara sehat dalam memotivasi bawahan, supaya mereka termotivasi untuk berkerja giat.
Selanjutnya menurut "Achievement Motivation Theory" dari David Mc Clelland bersama kawan-kawannya mempelajari persoalan yang berkaitan dengan keberhasilan seseorang dalam pekerjaannya atau berhasil mencapai sesuatu, memlliki ciri-ciri, sebagai berikut:
a. Bila mereka menentukan tujuan secara wajar (tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah). Namun tujuan itu cukup merupakan tantangan (challenge) untuk dicapai dengan baik dan tepat.
b.   Bila mereka menentukan tujuan yang sekiranya diyakini benar akan tercapai dengan baik dan tepat.
c.   Bila mereka senang dengan pekerjaan tersebut dan merasa berkepentingan atau concerned dengan keberhasilannya sendiri.
d.   Bila lebih suka bekerja di dalam pekerjaan yang dapat memberikan gambaran bagaimana keadaan pekerjaannya.
Menurut teori motivasi Claude S. George, mengemukakan bahwa seseorang mempunyai kebutuhan yang berhubungan dengan tempat dan suasana kerja di lingkungan ia bekerja, yaitu dengan :
a.   Upah yang wajar/layak dan adil
b.   Kesempatan untuk maju dan promosi
c.   Pengakuan sebagai individu
d.   Keamanan kerja
e.   Tempat kerja yang baik
f.   Penerimaan oleh kelompoknya
g.  Perlakuan yang wajar
h.  Pengakuan atas prestasi

Model-model Motivasi:
Model motivasi berkembang dari teori klasik menjadi teori modern, sesuai dengan perkembangan peradaban dan iptek motivasi menurut Drs. Melayu Hasibuan (1990 : 164-165), sebagai berikut  :
a.  Model tradisional : memberikan insentif (uang/barang) kepada karyawan yang berprestasi baik. Semakin banyak produksi semakin banyak/semakin besar insentifnya. Jadi motivasi ini adalah hanya dimotivasi karena insentif.
b.  Model hubungan manusiawi = mempertimbangkan kebutuhan sosial karyawan. Supaya karyawan bergairah kerja dilakukan dengan mengakui kebutuhan sosial mereka serta membuat mereka merasa berguna dan penting. Dengan demikian mereka merasa bebas untuk membuat keputusan dan kreativitas dalam pekerjaannya. Diperhatikan baik material maupun non material untuk meningkatkan mo­tivasi kerja mereka. Lain halnya dengan model tradisional yang hanya menitik beratkan pemberian insentif yang berbentuk materi dan tidak memperhatikan insentif kebutuhan sosial karyawan.
c.  Model sumber daya manusia : menawarkan tanggung jawab yang bertambah. Model ini mengatakan bahwa karyawan dimotivasi oleh banyak faktor, bukan hanya insentif berupa materi atau keinginan akan kepuasan, tetapi juga kebutuhan akan pencapaian dan pekerjaan yang berarti. Karyawan cenderung merasa puas karena prestasi kerja yang baik. Model SDM ini timbul ka­rena kritikan dari a.l. Argyris, Mc Gregor, Maslow dan Li­bert. Pendapat mereka ialah bahwa motivasi yang penting bagi karyawan (menurut Sumber Daya Manusia) adalah pengembangan tanggung jawab bersama untuk mencapai tujuan organisasi dan anggota-anggota organisasi, di mana setiap karyawan menyumbangkan sesuai dengan kepentingan dan kemampuan mereka. Jadi diberikan tanggung jawab dan kesempatan yang lebih luas untuk mengambil keputusan/kebijaksanaan dalam menyelesaikan pekerjaannya.
Tujuan Motivasi ialah, sebagai berikut:
a.   Meningkatkan moral dan kepuasan kerja karyawan
b.   Meningkatkan produktivitas kerja karyawan
c.   Mempertahankan kestabilan karyawan
d.   Meningkatkan kedisiplinan karyawan
e.   Mengefektifkan pengadaan karyawan
f.    Menciptakan suasana dan hubungan kerja yang baik
g.   Meningkatkan loyalitas, kreativitas dan partisipasi karyawan
h.   Meningkatkan tingkat kesejahteraaan karyawan
i.    Mengurangi/menghindari labor turn over.
Menurut Edwin B. Flippo bahwa "Direction or Motivation is essence, it is a skill in aligning employee and organization interest so that behavior result in achievement of employee want simultaneous with attainment or organizational objectives”.

6. Kepemimpinan Dalam Organisasi
Di muka telah diuraikan bahwa motivasi dapat didifinisikan sebagai suatu yang terdiri dari kekuatan internal dan ekstarnal. Motivasi internal ditentukan oleh orang itu sendiri dan didasarkan atas kebutuhan dan keinginannva. Motivasi eksternal dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti gaji, kondisi kerja, kebijaksanaan perusahaan, penghargaan, promosi dan sebagainya. Sekarang se­bagai pertanyaan : "Bagaimana cara seorang manajer/pemimpin peru­sahaan untuk mengendalikan faktor-faktor tersebut dan begaimana cara memotivasi para karyawan bekerja. Hal ini sangat menentukan seberapa jauh efektif tidaknya seorang manajer sebagai pemimpin suatu perusahaan. Kepemimpinan suatu organisasi merupakan suatu faktor yang penting dan menentukan berhasil tidaknya organisasi yang dipimpinnya itu.
Mengelola suatu organisasi atau perusahaan bukan hanya mengelola sumber daya lainnya, akan tetapi mengelola sumber daya manusianya sebagai asset perusahaan yang utama adalah memerlukan suatu keterampilan khusus yang termasuk teori-teori manajemen, prinsip dan teori kepemimpinan. Kemampuan dalam kepemimpinan harus melekat erat pada seseorang manajer perusahaan. Sikap dan gaya serta perilaku kepemimpinan manajer sangat besar pengaruhnya terhadap organisasi yang dipimpinnya, bahkan dapat berpengaruh terhadap produktivitas perusahaan itu sendiri. Kepemimpinan itu adalah sebagai inti daripada manajemen, dan inti dari kepemimpinan itu sendiri adalah pengambilan keputusan (decision making), inti dari pengambilan keputusan adalah human relation (hubungan antar manusia). Sehingga dengan demikian, maka baik buruknya manajemen, tergantung pada baik buruknya kepemimpinan. Sedang baik buruknya kepemimpinan tersebut sangat bergantung kepada baik buruknya hu­man relation dalam perusahaan yang dipimpinnya itu.
Sering orang mencampur-adukkan pengertian pemimpin dengan manajer, memang dalam tugasnya ada perbedaan. Manager melaksankan fungsi-fungsi manajemen, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan. Sedangkan pemimpin hanyalah membutuhkan kemampuan untuk .mempengaruhi perilaku orang-orang yang dipimpinnya tanpa melaksanakan fungsi-fungsi manajemen (dia tidak perlu melaksanakan seluruh fungsi seperti seorang manager). Tetapi seorang manajer di samping melaksanakan fungsi manajemen, dia harus membenahi diri bagaimana mempengaruhi bawahannya untuk bekerja.
Jadi seorang manajer di samping mampu melaksanakan fungsi-fungsi manajemen, dia harus dapat atau mempunyai kemampuan untuk mempe­ngaruhi para karyawan untuk bekerja sesuai dengan tujuan perusa­haan yang dibatasi oleh peraturan-peraturan birokrasi, sedangkan seorang pemimpin memiliki kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain atau kelompok tanpa dibatasi oleh peraturan birokrasi yang dimaksud. Seseorang dapat disebut pemimpin jika ia dapat mempengaruhi perilaku orang lain atau kelompok untuk mencapai sesuatu tujuan tertentu, meskipun tidak ada ikatan-ikatan yang formal dalam organisasi.
Teori-teori tentang pemimpin:
a.   Teori genetis (hereditary theory)
Teori ini mengatkan bahwa "leaders are born and not made". Penganut teori ini meapercayai bahwa seorang pemimpin te­lah sejak lahir mempunyai bakat kepemimpinan (dibawa lahir tanpa dikembangkan atau menjadi suatu takdir).
b.   Teori Sosial
Teori genetis menitikberatkan kepada faktor keturunan, sedangkan teori sosial ini sebaliknya mengatakan "leaders are made and not born" (bukan dari faktor keturunan akan tetapi seorang dapat menjadi pemimpin bila mendapat kesempatan memperoleh pendidikan dan pengalaman.
c.   Teori Ekologis
Penganut teori ekologis berpendapat bahwa seseorang berha­sil menjadi pemimpin yang baik apabila pada waktu lahirnya telah memiliki bakat kepemimpinan, yang kemudian di­kembangkan melalui pendidikan yang baik serta pengalaman-pengalaman yang memungkinkan dapat mengembangkan lebih lanjut bakat-bakat yang telah dimilikinya.
Teori ini menggabungkan kedua teori tersebut di atas dari segi positifnya yang mendekati kebenarannya. Akan te­tapi masih memerlukan penelitian yang lebih mendalam ten­tang timbulnya seorang pemimpin yang berhasil. Menurut Keith Davis dalam bukunya yang berjudul "Human Behavior. at Work,halaman 100 mengikhtisarkan ada empat ciri utama yang mempunyai pengaruh terhadap kesuksesan kepemimpinan dalam organisa­si, sebagai berikut

a.    Kecerdasan (Intellegence)
Penelitian-penelitian pada umumnya menunjukkan bahwa seorang pemimpin mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih tinggi daripada pengikutnya, tetapi tidak terlalu berbeda.
b.    Kedewasaan  sosial dan hubungan sosial yang luas  (Social maturity and breadth).
Pemimpin cenderung mempunyai  emosi yang stabil dan dewasa atau matang, serta mempunyai kegiatan-kegiatan dan perhatian yang luas.
c.    Hotivasi diri dan dorongan berprestasi
Pemimpin secara relatif mempunyai motivasi dan dorongan berprestasi yang tinggi. Lebih bekerja keras untuk nilai intrinsik (nilai benar) daripada ekstrinsik (nominal).
d.   Sikap-sikap hubungan manusiawi
Seorang pemimpin yang sukses akan mengakui harga diri dan martabat pengikut-pengikutnya, mempunyai perhatian yang tinggi dan berorientasi pada karyawan.
Ciri-ciri yang dikemukakan Davis di atas hanyalah salah satu daftar di antara banyak kemungkinan sifat-sifat penting dari kepemimpinan organisasional. Teori sifat kepemimpinan ini lebih bersifat deskriptif tetapi dengan nilai analitis dan prediktif yang rendah.

Teori-teori tentang kepemimpinan
Telah banyak orang melakukan penelitian dan studi tentang ke­pemimpinan dan mempunyai berbagai macam teori tentang kepemimpi­nan tersebut. Dan banyak pengikut pada setiap teori itu yang menganggap bahwa teori mereka/masing-masing yang benar dan tepat. Dewasa ini sungguh banyak yang kita ketahui tentang kepemimpinan bila dibandingkan pada masa yang lampau, tetapi belum memiliki teori lengkap secara integrasi. Perlu dicatat bahwa gaya kepemim­pinan terdiri atas suatu jalinan faktor yang sangat kompleks dan dapat dipengaruhi oleh skill kepemimpinan, pengalamannya, kesadarannya akan harkat dirinya, jenis pengikut, interaksi dan iklim organisatoris. Menurut G.R.Terry dalam bukunya "Principles of Ma­nagement, mengemukakan delapan buah teori kepemimpinan, sebagai berikut:
1.     Teori Otokratis  (The Autocratic Theory)
2.     Teori Psikologis  (The Psychologic Theory)
3.     Teori Sosiologis (The Sosiologic Theory)
4.     Teori Supportif (The Supportive Theory)
5.     Teori Laissez Faire (The Laissez Faire Theory)
6.     Teori Kelakuan Pribadi (The Personal Behavior Theory)
7.     Teori Sifat (The Trait Theory)
8.     Teori Situasi (The Situational Theory)
ad. 1. Teori Otokratis
Menurut teori ini mendasarkan atas perintah-perintah, paksaan dan tindakan yang agak arbitrer dalam hubungan antara pemim­pin dengan pihak bswahan. Pemimpin mencurahkan perhatiannya kepada pekerjaan, dan pengawasan sangat ketat dengan maksud agar pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan rencana. Bila ada pelanggaran dilaksanakan disiplin sebagai sanksi.
ad. 2. Teori Psikologis
Teori ini menyatakan bahwa fungsi seorang pemimpin adalah mengembangkan sistem motivasi kerja yang terbaik untuk merangsang karyawan demi tercapainya sasaran serta terpenuhi tujuan karyawan
ad. 3. Teori Sosiologis
Dalam pengambilan keputusan diikutsertakan para pengikut. Identifikasi tujuan kerap kali memberikan petunjuk yang diperlukan oleh karyawan/pengikut. Perlu juga diingat bahwa untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan sangat mempengaruhi interaksi antara karyawan, kadang-kadang hingga tingkat timbulnya konflik yang merusak di dalam atau di antara kelompok-kelompok. Di sini sangat diharapkan bagi seorang pemimpin untuk mengambil tindakan korektif melalui pengaruh kepemimpinannya untuk mengembalikan kesuasana harmonis serta usaha kooperatif antara karyawan
ad. 4. Teori Supportif
Teori ini ada yang mengatakan sebagai teori partisipatif atau democratic theory of leadership karena mengembangkan saran-saran mengenai bagaimana melaksanakan pekerjaan yang lebih baik, perbaikan apa yang dapat dicapai serta ide baru mana yang harus dicoba. Untuk usaha tersebut pemimpin menciptakan suatu lingkungan kerja yang mendorong keinginan karyawan untuk melaksankan suatu pekerjaan yang sebaik mungkin, bekerja sama.
ad. 5. Teori Laissez-Faire
Teori ini berdasarkan bahwa pemimpin memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada setiap karyawan untuk menentukan aktivitas mereka. Teori ini kebalikan dari teori otokratis. Kelompok cenderung membentuk/mengangkat seorang pemimpin informal yang mereka anggap berpengaruh serta berwibawa. Pemimpin formal hampir tidak menunjukkan partisipasinya karena sangat mempercayai dan memberikan seluas mungkin kepada setiap karyawannya dalam aktivitas mereka.
ad. 6. Teori Kelakuan Pribadi
Menurut teori ini bahwa seorang pemimpin tidak akan bertindak sama atau tidak berkelakuan sama/identik dalam setiap situsi yang dihadapinya. Ia bersifat fleksibel pada tingkat tertentu dengan beranggapan bahwa ia akan perlu mengambil langkah yang paling tepat dalam menghadapi masalah tertentu.
ad. 7. Teori Sifat
Sudah banyak usaha dilakukan orang untuk mengidentifikasi sifat pemimpin yang dipergunakan untuk menerangkan dan meramalkan keberhasilan kepemimpinan. Sifat-sifat yang dianggap yang dimiliki seseorang pemimpin, a.l.:
1.   Intelligensi
Intelligensi seorang pemimpin dengan sendirinya hendaklah relatif tinggi untuk berhasil hingga suatu tingkat inteligensi tertentu agar mampu cara berpikir/kemampuan analitis menghadapi situasi atau masalah yang rumit/kompleks.
2.   Inisiatif
Kemampuan untuk bertindak sendiri serta mengatur tindakan-tindakan dan kemampuan melihat arah tindakan yang tidak terlihat oleh pihak lain.
3.   Energetik
Hendaknya pemimpin bersifat energetik dalam usaha mencapai tujuan yang dapat menonjol daripada yang dipimpinnya, termasuk energi berpikir dan fisik sangat diperlukan.
4.   Kedewasaan Emosional
            Cara bertindak dan berpikir lebih dewasa secara obyektif dan persistensi. Dapat meramalkan secara intuisi yang akan ingin dicapainya hari ini, tahun depan atau beberapa tahun umpamanya lima tahun depan. Ia bersedia bekerja lama dan menunjukkan sikap lebih anthusias serta energetik di antara bawahannya.
'• slc^^emimnindaoat mempengaruhi baWahannya secara Per-
suasif untuk menyetujui suatu ide yang diutarakannya.
c     nV; -i i Komunikatii*
t  I rg nemimpin me.iliki k.mampuan berbicara atau mengemu-ksv3  -de baik melalui lisan maupun tertulis dengan 3elas aan S: S,~ erta dapat cePat mengetahui/men5a.bil in Xdarker-
ta, o-arg lain atau pendapat-pendapat orang laxn. Ia mam
informatif serta stxmulatxf. ^daptao.^-7 Pe^caya diri sendiri
slkap dan tindakan terhadap berbagai macam kondxsx dan sx-tuasi nunoukkan cukup matang/dewasa berdasarkan percaya Pa-iri-i sendiri berdasarkan pengalaman-Pengalamannya Berkeya ^ untuk mengatasi permasalahan yang sangat pelxt/sukar.
8- K::::pi;r:tau kapaSitaS ^ —*-~«~ ^
(inovatif) dan dapat merintis oalan yang baru untuk memecah-kan sebuah problema.
9" reXlfkap^san yang dapat dilaksanakan oleh aparatur pe-
laksana sesuai dengan kemampuan dan sumber-sumber yang terse-
dia.

10. Pendidikan umum yang luas
Untuk mempunyai pengetahuan/pendidikan yang umum dan luas tidak perlu diidentikkan dengan pendidikan tinggi dengan gelar akademis, akan tetapi karena sifat ingin tahu mendorong ia harus mempelajari berbagai aspek yang dituntut oleh pelaksanaan tugasnva. Ia adalah seorang "generalis" bukan atau tidak per­lu menjadi seorang "specialist" (dengan memiliki technical skill) yang mendalam. Seorang generalist akan mampu untuk mengembangkan "managerial skill".
ad. 8. Teori Situasi
Pendekatan teori situasi ini, kepemimpinan multidimensi yang terdapat cukup banyak sifat fleksibilitas untuk menyesuaikan diri dengan berbagai jenis situasi. Pada teori ini, dianggap bahwa kepemimpinan terdiri atas tiga macam unsur : a. Pemimpin, b. Pengikut, c. Situasi. Situasilah yang dianggap terpenting karena mempunyai paling banyak variable. Selanjutnya Fielder berpendapat bahwa ada tiga dimensi digunakan untuk mengukur efektivitas pemimpin, yang mencakup :
1. Tingkat kepercayaan para pengikut terhadap pemimpin
2. Tingkat hingga di mana tugas para pengikut (hanya bersifat rutin atau terstruktural kurang baik)
3. Tingkat kekuasaan yang inhaeren (bersangkut paut) de­ngan posisi kepemimpinan.
Tingkat kepercayaan pengikut terhadap pemimpin yaitu bagaimana hubungan pimpinan dengan anggota/pengikut. Bagaimana tingkat dalam struktur tugas. Bagaimana posisi kekuasaan pemimpin yang didapatkan melalui wewenang formal. Situasi-situasi tersebut di atas menguntungkan bagi pemimpin bila ketiga dimensi derajatnya tinggi.

GAYA - GAYA KEPEMIMPINAN
Ciri, corak atau gaya kepemimpinan (leadership styles) seorang manajer akan sangat berpengaruh terhadap efektivitas seorang pemimpin. Tipe kepemimpinan atau gaya kepemimpinan yang benar/baik disertai dengan motivasi eksternal yang tepat dapat mengarahkan pencapaian tujuan individu.karyawan maupun tujuan organisasi/perusahaan. Sebaliknya dengan gaya kepemimpinan atau teknik motivasi yang tidak tepat, maka tak dapat mengarahkan ke arah pencapaian tujuan baik perorangan maupun organisasi, dan akan terbengkalai serta karyawan-karyawan akan merasa kesal, gelisah, unjuk rasa dan tidak merasa kepuasan dalam melaksanakan tugas-tugas. Gaya kepemimpinan adalah suatu cara pemimpin untuk mempengaruhi bawahannya. Di muka telah diuraikan secara relatif ada tiga macam gaya kepemimpinan yang berbeda : otokratis, demokratis (partisipatif) dan laissez-faire. Hal ini pasti mem­punyai kelemahan-kelemahan dan keuntungan-keuntungan. Kebanyakan manajer mempergunakan ketiganya pada suatu waktu, tetapi da­pat dibedakan apa sebagai pemimpin yang otokratis, demokratis atau laissez-faire. Dan perbedaan gaya kepemimpinan dalam suatu
perusahaan/organisasi akan mempengaruhi pula pada partisipasi individu dan perilaku kelompok. Sebagai contoh : partisipasi dalam pengambilan keputusan pada gaya kepemimpinan demo­kratis akan mempunyai dampak pada peningkatan hubungan manajer dengan bawahan, akan menaikkan moral serta kepuasan kerja dan hasilnya juga akan menurunkan ketergantungan bawahan terhadap pemimpin. Tetapi hal ini kadang-kadang menimbulkan kerugian de­ngan menurunnya produktivitas dan sulit mengambil keputusan yang dapat memuaskan semua pihak. Lebih dapat dihindari pada gaya kepemimpinan otokratis. Kepemimpinan demokratis cenderung mengikuti pertukaran pendapat antara orang-orang yang terlibat. Dalam kepemimpinan laissez-faire, pemimpin hanya dapat memberikan kepemimpinannya bila diminta.
            Di bawah ini akan digambarkan tiga gaya kepemimpinan :
OTOKRATIS
DEMOKRATIS
LAISSEZ-FAIRE
1.
Semua penentuan kebijaksanaan dilakukan oleh pemimpin
1.
Semua kebijaksanaan terjadi pada kelompok diskusi dan keputusan diambil dengan dorongan dan bantuan dari pemimpin
1.
Kebebasan penuh bagi keputusan kelompok atau individu, dengnan partisipasi minimal dari pemimpin
2.
Teknik-teknik dan langkah-langkah kegiatan didikte oleh atasan setiap waktu, sehingga langkah-langkah yg ada selalu tdk pasti untuk tingkat yg luas
2.
Kegiatan-kegiatan didiskusikan, langkah-langkah umum untuk tujuan kelompok dibuat, bila dibutuhkan petunjuk tekhnis, pemimpin menyarankan dua atau lebih alternatif prosedur yang dipilih
2.
Bahan-bahan yang bermacam-macam disediakan oleh pemimpin yang membuat orang selalu siap bila akan memberikan informasi pada saat ditanya. Dia tidak mengambil bagian dalam diskusi
3.
Pemimpin biasanya   mendikte tugas kerja bagian dan kerja bersama setiap anggota
3.
Para anggota bebas bekerja dengan siapa saja yang mereka pilih dan pembagian tugas ditentukan oleh kelompok
3.
Sama sekali tidak ada partisipasi dari pemimpin dalam penentuan tugas
4.
Pemimpin cenderung menjadi pribadi dalam pujian dan kecamannya terhadap kerja setiap anggota; mengambil jarak dari partisipasi kelompok aktif kecuali bila menunjukkan keahliannya
4.
Pemimpin adalah obyektif atau fact-minded dalam pujian dan kecamannya dan mencoba menjadi seorang anggota kelompok biasa dalam jiwa dan semangat tanpa melakukan banyak pekerjaan
4.
Kadang-kadang memberi komentar spontan terhadap kegiatan anggota atau pertanyaan dan tidak bermaksud menilai atau mengatur suatu kejadian
  Sumber :   Ralp White dan Ronald Lipiit, Autocracy and Democracy,
                   Harper &.  Row Publishers, Inc., I960, halaman 26-27.

Tipe-tipe Kepemimpinan
Kepemimpinan Otokratis lebih banyak menghadapi masalah pemberian perintah kepada bawahan. Kepemimpinan Demokratis cenderung mengikuti pertukaran pendapat antara orang-orang yang terlibat. Kepemimpinan Laissez-faire, pemimpin memberikan kepemimpinannya bila diminta.
Kepemimpinan Sebagai Sistem Pengaruh
Dalam gambar di bawah ini menunjukkan bagaimana inti kepemim­pinan meniadi pengaruh, yang meliputi sistem interaksi antara pemimpin, kelompok dan situasi. Pemimpin mempengaruhi kelompok dan situasi. Situasi mempengaruhi pemimpin dan kelompok. Kelom­pok mempengaruhi pemimpin dan situasi. Jadi tiap subsistem mem­pengaruhi dan dipengaruhi oleh subsistem yang lain.
Sumber :       Prof. DR. Sukanto Reksohadiprodjo, M. Com
                     Drs. T. Hani Handoko, MBA (1989 : 296)

Terminology gaya dapat dikatakan sama dengan perilaku pemim­pin, merupakan cara bagaimana pemimpin mempengaruhi para bawahannya. Studi Hawthorne diinterpretasikan dalam istilah gaya pengawasan, teori X dari Douglas MCGregor mencerminkan gaya otokratis dan teori Y-nya menunjukkan gaya kepemimpinan humanistik. Dan gaya-gaya hubungan manusiawi dan orientasi memainkan peranan lansung dalam teori Contingency Fiedler.
Berabagai macam gaya kepemimpinan yang telah diuraikan di atas maka dapat menjadi suatu rangkaian kesatuan, sbb :
Sumber : Buku yang sara di atas halaman 300.

Gaya-gaya Efektif
1.        Eksekutif (executive)
Gaya ini memberikan perhatian besar baik terhadap tugas maupun karyawan. Manajer gaya ini adalah seorang motivator yang baik, menetapkan standar tinggi, menyadari perbedaan-perbedaan individual dan mempergunakan manajemen tim.
2.        Pembangun (developer)
Gaya ini memperhatikan maksimum terhadap karyawan dan perhati­an minimum terhadap tugas. Manajer dengan gaya ini mempercayai penuh karyawannya dan mengembangkan mereka.
3.        Otokrat penuh kebajikan (benevolent autocrat)
Gaya ini memperhatikan maksimum tugas dan minimum perhatian kepada karyawan. Manajer mengetahui secara tepat apa yang diinginkan dan cara memperolehnya tanpa menyebabkan timbulnya kebencian atau kemarahan para karyawan.

Gaya-gaya Tidak Efektif
1.      Kompromis (compromiser)
Gaya manajer seperti ini adalah gaya seorang pengambil keputusan yang lemah karena memberikan perhatian besar baik ter­hadap tugas maupun karyawan dalam situasi yang hanya memerlukan penekanan salah satu di antaranya.
2.      Missionaris (missionary)
Manajer ini terlalu baik hati dan lemah yang menilai keharmonisan yang terpenting. Perhatiannya maksimum terhadap karyawan dan perhatian minimum terhadap tugas.
3.      Otokrat (Autocrat)
Manajer tidak/kurang nempercayai karyawan, menentukan segala-nya dan mamentingkan hanya pekerjaan. Perhatian maksimum kpd. tugas dan perhatian minimum terhadap karyawan.
4.      Pelarian (deserter).
Manager yg pasif dan tidak mau terlibat (acuh tak acuh). Perhatian minimum terhadap tugas dan karyawan.

7.’Kepuasan Kerja, Stress, dan Disiplin
Seperti yang telah dikatakan terlebih dahulu bahwa sumber daya manusia adalah aset yang utama dari setiap organisasi/perusahaan. Oleh sebab itu perusahaan hendaknya senantiasa mengupayakan bagaimana memciptakan kepuasan kerja bagi setiap karyawan. Sumber daya manusia itu adalah makhlik sosial yang suka bermasyarakat, bergaul untuk salah satu tujuan memperoleh kepuasan. Bila seseorang merasa kepuasan dengan sendirinya dapat terlihat dari wajahnya, perilakunya disebabkan kepuasan, kebahagiaan, maka dalam mengerjakan apa saja pekerjaannya akan terdorong dengan perasaan kepuasan yang dimaksud, dan sebaliknya bila manusia itu tak merasa kepuasan dia tak akan berhenti sampai mencari kepuasan dan bila tak kunjung dapat ia akan berakibat kesal, malas dan tak bergairah untuk melaksanakan tugasnya.
Manusia itu unik berbeda dengan sumber daya lainnya karena memiliki perasaan, pikiran untuk dapat bertindak berbuat sesuatu sesuai dengan kehendaknya demi tercapainya kepuasan. Untuk mem-pengaruhi prestasi kerja karyawan ada banyak faktor. Karyawan bekerja dengan produktif atau tidak, tergantung pada motivasi, kepuasan kerja, kondisi fisik pekerjaan, tingkat stress, sistem-kompensasi (balas jasa), desain pekerjaan dan aspek-aspek ekonomis, teknis serta keperilakuan lainnya.
Bagi manajemen, faktor-faktor tersebut sangat penting untuk diketahui/dipahami agar dapat memilih faktor-faktor peningkatan produktivitas yang sesuai dengan situasi tertentu. Dua kondisi utama karyawan yang semakin penting untuk meningkatkan produktivitas karyawan, ialah masalah kepuasan kerja dan stress. Maka manajemen perlu membuat program konseling dan bagaimana cara program itu diterapkan. Program konseling itu merupakan kegiatan personalia yang mempengaruhi langsung pada kepuasan kerja, moti­vasi dan reaksi terhadap stress. Bila program serta penerapannya tidak berhasil dan karyawan masih tetap tidak menunjukkan pres­tasi kerja (tidak memadai), maka akan ditempuh pemberian berbagai disiplin, seperti yang akan diuraikan pada tulisan akhir.

Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja atau "Job Satisfaction" adalah suatu keadaan emosional : baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan bagi karyawan dalam melaksanakan tugasnya.Kepuasan kerja dapat mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaan atau tugasnya. Jika seorang karyawan menampakan sikap positif terhadap pekerjaannya dalam lingkungan pekerjaannya. Inilah menjadi tugas penting dari departemen personalia yang harus selalu memonitor kepuasan kerja, karna hal itu dapat mempengaruhi: tingkat absensi,labor turnover (perputaran tenaga kerja), semangat kerja, fatigue (keletihan yang kurang beralasan), serta masalah-masalah personalia vital lainnya.
Fungsi personalia mempunyai pengaruh langsung dan tidak langsung pada kepuasan kerja. Fungsi personalia dapat melaksanakan kontak langsung dengan para penyelia dan karyawan dengan berbagai cara untuk mempengaruhi mereka. Disamping itu berbagai kebijaksanaan dan kegiatan personalia mempunyai dampak pada iklim / situasi lingkungan organisasi. Iklim organisasional ini memberikan suatu lingkungan kerja yang menyenangkan atau tidak menyenangkan bagi orang orang dalam organisasi; dimana hal itu selanjutnya akan mempengaruhi kepuasan kerja karyawan.
Di bawah ini dikutip suatu gambar dari buku T.Hani Handoko “Manajemen Personalia Dan Sumber Daya Manusia” (1985:144) sebagai pengaruh fungsi personalia pada kepuasan kerja:

Biasanya atau pada umumnya anggapan bahwa para karyawan yang mendapatkan kepuasan kerja akan  melaksanakan pekerjaannya dengan lebih baik. Tetapi ada juga bahkan banyak karyawan dengan kepuasan kerja tinggi tidak menjadi karyawan yang produktivitasnya tinggi, bahkan hanya sebagai karyawan rata-rata. Tetapi bagaimanapun juga, kepuasan kerja perlu untuk memelihara karyawan agar lebih tanggap terhadap lingkungan motivasional yang diciptakan. Sering dipertanyakan, apakah kepuasan kerja mengarahkan ke pelaksanaan kerja lebih baik, atau sebaliknya, prestasi kerja menimbulkan kepuasan. Hal ini sama dengan pertanyaan tentang, “Manakah yang lebih dahulu muncul antara ayam dengan telur ayam”. Dalam kenyataannya, banyak pendapat yang mengemukakan bahwa kepuasan kerja yang lebih tinggi terutama dihasilkan oleh prestasi kerja, bukan sebaliknya, seperti gambar dibawah ini (T. Hani Handoko 1985:145):


Keterangan:
Prestasi kerja yang lebih baik mengakibatkan /menghasilkan penghargaan yang lebih baik. Bila penghargaan itu dirasakan adil dan memadai, maka kepuasan kerja karyawan akan meningkat,karna mereka menerima penghargaan dalam proporsi yang sesuai dengan prestasi kerja mereka.  Di lain pihak, bila penghargaan dirasa tidak memadai/setimpal untuk suatu tingkat prestasi kerja mereka, ketidakpuasan kerja akan cenderung terjadi /timbul. Kondisi kepuasan atau ketidakpuasan kerja tersebut, selanjutnya menjadi umpan balik yang akan mempengaruhi prestasi kerja pada waktu akan datang. Jadi, hubungan prestasi dengan kepuasan kerja menjadi suatu sistem yang terus kontiniu (berlanjut).
Bagaimanakah keadaan seorang karyawan yang tak pernah memperoleh kepuasan kerja? Karyawan tersebut tidak akan pernah mencapai kematangan psikologisi yang mengakibatkan frustasi. Ia akan sering melamun, semangat kerjanya menjadi rendah, lekasi letih dan bosan, emosinya tidak stabil, sering alpa dalam pekerjaan, menunjukan kesibukan yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan yang harus ia kerjakan. Tetapi karyawan yang mengalami kepuasan kerja, biasanya hampir tidak ada absennya (hadir selalu) dan dengan sendirinya label turn over sangat baik, dan kurangmenunjukan keaktifannya dalam kegiatan serikat karyawan, dan kecenderungannya berprestasi kerja lebih baik dari pada karyawan yang tidak mengalami kepuasan kerja.

Kepuasan kerja, Perputaran Karyawan dan Absensi
Meskipun hanya merupakan salah satu faktor dari banyak faktor lainnya, kepuasan kerja mempengaruhi tingkat perputaran ka­ryawan (labor turnover) dan absensi. Pada umumnya bila kepuasan kerja meningkat, labor turnover dan absensi menurun, atau sebaliknya. Kepuasan kerja yang lebih rendah, biasanya akan mengakibatkan labor turnover lebih tinggi. Mereka lebih mudah meninggalkan perusahaan dan mencari pekerjaan lain. Begitu juga mere­ka lebih sering alpa dalam tugas mereka, bila tidak mendapat ke­puasan kerja. Mereka akan sering mencari-cari alasan untuk al­pa dalam tugas mereka. Perhatikan gambar di bawah ini : Hubungan antara kepuasan kerja dengan labor turnover:
Kepuasan Kerja, Usia dan Jenjang Pekeriaan
Pada umumnya bahwa semakin tua usia karyawan, semakin cenderung lebih merasa puas dalam pekerjaan mereka, karena pengharapan-pengharapan mereka lebih rendah serta lebih mudah untuk menyesuaikan diri terhadap situsi dan kondisi kerja berdasarkan pengalaman. Lain halnya dengan karyawan yang lebih muda, karna pengharapan-pengharapan yang masih tinggi atau ambisi-ambisi yang masih tingi, mereka lebih cenderung tidak merasa kepuasan kerja dan kurang dapat menyesuaikan diri pada situasi kerja/perusahaan. Jadi, pada umumnya berdasarkan studi menunjukan bahwa kepuasan kerja yang tinggi dipengaruhi oleh faktor usia. Begitu juga pengaruh jenjang pekerjaan yang lebih tinggi, cenderung lebih merasa kepuasan kerja,karna memperoleh kompensasi lebih baik, kondisi kerja lebih nyaman sehingga dapat mempergunakan segala kemampuan yang dimiliki. Dapat juga dilihat sebagai contoh: Bagi karyawan yang lebih terampil cenderung merasa kepuasan kerja lebih besar dari pada karyawan yang kurang terampil/mahir dalam melaksanakan tugasnya. Perhatikann gambar dibawah ini:
Besar Perusahaan dan Kepuasan Kerja
Besar suatu perusahaan akan mempengaruhi kepuasan kerja, disebabkan beberapa faktor antara lain, pengambilan keputusan jarak jauh dari para karyawan, komunikasi manajemen lebih jauh, hubungan antar pimpinan dengan karyawan kurang dekat, begitu juga hubungan antar karyawan kurang intim (kurang mengenal satu sama lain), kurang hangat persahabatan baik kelompok maupun pribadi. Jadi, semakin besar suatu perusahaan, kepuasan kerja cenderung turun, kecuali manajemen mengambil berbagai usaha korektif agar terdapat koordinasi, partisipasi dan komunikasi dengan lancar. Akhirnya, karna ada hubungan antara besar perusahaan dengan kepuasan kerja, fungsi personalia semakin berat untuk memelihara kepuasan kerja karyawan.

Stress Karyawan
Pengertian stress adalah suatu ketegangan jiwa atau perasaan. Hal ini dapat disebabkan karena tidak memperoleh kepuasan kerja, atau tidak terwujud kepuasan kerja yang relatif lama, sehingga mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi fisik. Ia mudah emosi, nervous dan merasakan kekuatiran yang kronis. Stress yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang dalam menghadapi lingkungan, yaitu tak dapat menyesuaikan diri disebabkan lekas tersinggung. Sebagai akibatnya dapat menimbulkan berbagai macam gejala stress yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja. Gejala gejala yang dimaksudkan menyangkut baik kesehatan fisik maupun kesehatan mental. Sering mudah menjadi marah dan agresif (biasanya terjadi jika ia sedang mencoba untuk menyelesaikan sesuatu yang tidak bisa diselesaikan), tidak dapat relaks atau menunjukan sikap tidak kooperatif. Lebih lanjut akan melarikan diri kepada perbuatan tidak terpuji, antara lain mabuk (minuman keras) atau merokok secara berlebihan. Kondisi fisik terganggu seperti masalah pencernaan dan atau tekanan darah tinggi serta sulit tidur.
Penyebab-penyebab Stress
Berbagai macam faktor penyebab stress. Kondisi-kondisi yang menyebabkan stress tersebut disebut stressors. Bila seseorang mengalami stress umumnya disebabkan perpaduan beberapa stressors tersebut. Hampir setiap kondisi pekerjaan bisa menyebabkan stress tergantung pada respon/reaksi orang yang bersangkutan. Seorang karyawan lama yang sedang mengalami stress akan lebih susah menerima prosedur kerja baru bila dibandingkan dengan karyawan baru, bahkan karyawan lama yang mengalami stress akan menolak prosedur baru itu.
Menurut Drs. T. Hani Handoko mengemukakan ada dua kategori penyebab stress dalam perusahaan, yakni:
a. On-the-job (dalam lingkungan kerja itu sendiri):
1.  Beban kerja yang berlebihan
2.  Tekanan atau desakan waktu
3.  Kualitas supervisi yang jelek
4.  Iklim politis yang tidak aman
5.  Umpan balik tentang pelaksanaan kerja yg tdk memadai
6.  Wewenang yang tidak mencukupi untuk melaksanakan tanggung jawab
7.  Kemenduaan peranan (role ambiguity)
8.  Frustrasi
9.  Konflik antar pribadi dan antar kelompok
10.Perbedaan antar nilai-nilai perusahaan dan karyawan
11.Berbagai bentuk perusahaan
Di samping itu, stress karyawan juga dapat disebabkan masalah-masalah yang terjadi di luar perusahaan.
b. Off-the-job, antara lain :
1.   Kekuatiran nasalah finansial
2.   Kasalah-masalah yang bersangkutan dengan anak
3.   Masalah-masalah fisik
4.   Masalah-masalah perkawinan (misalnya: perceraian)
5.   Perubahan-perubahan yang terjadi di tempat tinggal
6.   Masalah-masalah pribadi lainnya, seperti kematian sanak saudara.
          Dengan  memperhatikan katagori stress dan kondisi tersebut di atas maka manajemen terutama departemen personalia secara khusus perlu memperhatikan hal tersebut di atas dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan personalia, konseling dan program-program lainnya, untuk kepentingan mengurangi bahkan menghindari akan terjadinya stress yang akan merugikan baik pihak karyawan maupun pihak perusahaan.
Memang hubungan antara stress dengan prestasi kerja dapat di perhatikan karna dalam stress juga dapat dialihkan/didorong agar berpotensi. Dapat dikatakan bahwa bila tidak ada stress, tantangan-tantangan kerja pun tidak ada, dan prestasi kerja pun menurun. Stress dapat membantu karyawan untuk mengerahkan segala sumberdaya yang ada untuk memenuhi berbagai persyaratan atau kebutuhan pekerjaan. Sebagai rangsangan sehat untuk mendorong para karyawan agar memberikan tanggapan terhadap tantangan-tantangan pekerjaan, dengan demikian mereka memakai segala kemampuan bagaimana mengatasi masalah-masalah/kendala-kendaladengan mempergunakan segala sumberdaya yang ada.
             Bila stress yang terlalu besar, prestasi kerja akan menurun karena mengganggu prestasi kerja, kehilangan kemampuan mengendalikannya, tidak mampu mengambil keputusan dan mungkin sakit tidak kuat bekerja lagi, putus asa atau keluar ataupun harus diberhentikan, berarti menjadi kerugian kedua belah pihak.

Reaksi Terhadap Stress
Berbeda-beda reaksi setiap orang bila menghadapi suatu stress. Ada orang gampang merasa sedih bila menghadapi peristiwa ringan, ada orang bila menghadapi suatu peristiwa kecil bahkan yang besar/serius tidak menunjukkan/merasakan susah malah merasa/menunjukkan suasana tenang dengan beralaskan iman kepercayaannya atas kemampuannya untuk menghadapi stress tersebut.
Reaksi terhadap stress dapat dibedakan dua tipe orang (menurut Drs T.Hani Handoko), sebagai berikut:
1.      Tipe A : Mereka yang agressif dan kompetitif; menetapkan standar-stardar tinggi dan meletakksn diri di bawah teksnan waktu yang ajeg (konstan). Masih giat dalam kegiatan olah raga yang bersifat rekreasi dan bergiat dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Mereka sering tidak menyadari bahwa banyak tekanan yang mereka rasakan adalah lebih disebabkan oleh perbuatannya sendiri daripada lingkungan. Karena mereka merasakan tingkat stress yang ajeg, mereka lebih cenderung mengalami gangguan-gangguan phisik akibat stress, seperti serangan jantung, penyakit lever dsb.
2.      Tipe B : Lebih releks dan tidak suka mengahdapi masalah atau disebut "easy going" (bersikap tenang dan ti­dak suka repot-repot). Tidak senang bersaing. Me­reka menerima situasi-situasi yang ada dan bekerja di dalamnya. Releks dengan yang berkaitan dengan tekanan waktu, sehingga mereka lebih kecil kemungkinannya untuk menghadapi masalah-masalah yang berhubungan dengan stress.
Dari perbedaan sikap dalam memulihkan kondisi dan situasi stress, ada orang dengan mudah dan cepat pulih kembali, ada orang juga bahkan banyak sulit melupakan dan melepaskan diri da­ri situasi yang baru dialami (orang-orang inilah yang harus diperhatikan oleh departemen personalia).
Bagaimanakah Usaha Departemen Personalia Kengurangi Stress:
Terutama harus berusaha menangani atau mengidentifikasi faktor penyebabnya (stressorsnya). Usaha untuk itu, antara lain se­bagai berikut:

a.   Memindahkan (transfer) karyawan yang bersangkutan ke pekerjaan lain
b.   Mengganti penyelia yang berbeda
c.   Menyediakan lingkungan kerja yang baru
d.  Merangsang/merekayasa keabali pekerjaan, sehingga memberikan pilihan keputusan lebih banyak dan wewenang dalam melaksanakan tanggung jawab mereka.
e.   Mendesain pekerjaan, agar terdapat karyawan yang tepat pada minatnya, dengan demikian dikurangi tekanan waktu dan menghindari kemenduaan peranan.
f.   Komunikasi diperbaiki untuk memberikan umpan balik pelaksanan kerja dan partisipasi dapat ditingkatkan.
g.   Program-program latihan dapat diselenggarkan untuk mengembangkan keterampilan dan membina moral/sikap karyawan.
h. Terakhir yang dianggap penting ialah pelayanan konseling yang merupakan cara yang paling efektif (berdaya guna) untuk membantu para karyawan yang menghadapi stress.        ''
Program Konseling yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Pelayanan konseling tujuannya adalah untuk membantu karyawan untuk memecahkan masalah-masalahnya. Konseling yang dimaksud termaksud ialah bimbingan dan penyuluhan yang memerlukan dua orang yakni : Counselor (pembimbing) dan orang yang dibimbing (Counselee). Pertukaran gagasan mereka menciptakan hubungan konseling dan oleh karena itu konseling merupakan suatu kegiatan komuni­kasi yang bersifat dua arah untuk dapat memahami karyawan ybs. Hasil komunikasi dalam konseling itu diharapkan untuk mengurangi kekuatirannya/karyawan terhadap masalah pribadi sehingga dapat berkurang kesedihan emosionalnya. Sarana konseling dapat dipergunakan dengan Transactional Analysis (TA) untuk mengangkat harga diri mereka untuk mengenal pribadi. Dan mengerti latar belakang keluarga.
Untuk melaksanakan konseling dapat dilaksanakan baik oleh para profesional maupun bukan profesional. Baik oleh dokter perusahaan, ahli personalia, penyelia ataupun rekannya dengan tujuan yang utama ialah untuk menolong meringankan beban karyawan ybs. Hendeknya dilakukan bersifat rahasia agar para karyawan merasa bebas mengemukakan berbagai masalah secara bebas.

Fungsi-fungsi Konseling
Drs. T. Hani Handoko dalam bukunya mengemukakan fungsi-fungsi konseling yang perlu diketahui setiap organisasi, sebagai berikut:
1.      Peraberian nasehat.
Proses konseling sering berupa pemberian nasehat kepada karyawan dengan maksud untuk mengarahkan mereka dalam pelaksanaan serangkaian kegiatan yang diinginkan.
2.      Penentraman hati
Pengalaman konseling bisa menentramkan hati karyawan, karena mereka diyakinkan kemampuannya untuk mengerjakan se­rangkaian kegiatan dan terdorong untuk mencobanya.
3.      Komunikasi
Konseling adalah suatu proses komunikasi. Ini menciptakan komunikasi ke atas / ke manajer, dan Juga memberikan kesempatan kepada pembimbing untuk menginterprestasikan masalah-masalah manajemen dan mennelaskan berbagai pendangan kepada karyawan.
4.      Pengenduran ketegangan emosional
Orang cenderung menjadi kendur ketegangan emosionalnya bila mereka mempunyai kesempatan untuk membahaa masalah-masalah mereka dengan orang lain.
5.      Penjernihan pemikiran
Pembahasan-pembahasan masalah-masalah secara serius de­ngan orang lain akan membantu seseorang untuk berpikir lebih nernih tentang berbagai masalah mereka.
6.      Reorientasi
Reorientasi mencakup pengubahan berbagai tujuan dan nilai karyawan. Konseling yang mendalam oleh para psikolog atau psikaterik dalam praktek sering sangat membantu para kary­awan merubah nilai—nilai mereka. Sebagai contoh, mereka lebih menyadari keterbatasan-keterbatasan mereka.
Tipe-tipe Konseling
Selanjutnya pengarang yang sama mengemukakan tiga tipe kon­seling, sebagai berikut:
1. Directive counseling : adalah suatu proses mendengarkan masalah-masalah emosional karyawan, memutuskan dengan ka­ryawan apa yang seharusnya dilakukan dan kemudian memberitahukan kepada dan memotivasi karyawan untuk melaksanakan hal itu.
2.   Nondirective counseling : atau disebux client-centered se­bagai kebalikan dari directive counseling. Ini merupakan suatu proses mendengarkan secara penuh perhatian dan mendorong karyawan untuk menjelaskan masalah-masalah yang menyusahkan mereka, memahaminya dan menentukan penyelesaian-penyelesaian yang tepat. Jadi, nondirective counseling terpusat pada karyawan bukan pada pembimbing.
3.  Cooperative counseling : adalah hubungan timbal balik antara pembimbing dan karyawan yang mengembangkan pertukaran gagasan secara kooperatif untuk membantu pemecahan masalah-masalah karyawan. Tipe ini tidak sepenuhnya terpusat pada
karyawan dan tidak sepenuhnya terpusat pada pembimbing; tetapi mengintegrasikan berbagai gagasan, pengetahuan, pandangan dan nilai-nilai kedua partisipan dalam hubungan konse­ling. Oleh karena itu, cooperative counseling mengkombinasikan berbagai kebaikan kedua tipe konseling lainnya.
Cooperative counseling dimulai dengan menggunakan teknik-teknik mendengarkan seperti dalam nondirective counseling, tetapi sejalan dengan kemajuan pembicaraan, pembimbing bisa memainkan peranan lebih aktif. Pembimbing bisa memberikan berbagai pandangan dan pengetahuan mereka tentang hal-hal yang berkaitan dengan masaleh yang dibicarakan.
Program konseling dapat ditawarkan kepada setiap karyawan yg dirasa sedang mengalami masalah yang mengakibatkan stress de­ngan tujuan membantu memecahkan masalah-masalah mereka. Bila permasalahan menyangkut perkawinan dapat didatangkan atau dianjurkan menghubungi lembaga masyarakat yang khusus menangani masalah tersebut. Hal ini adalah bahwa karyawan dilayani untuk jangka panjang dalam pekerjaannya demi tercapainya kepentingan perusahaan itu sendiri, kebutuhan karyawan dapat terpenuhi, begitu juga kepentingan masyarakat atau pemerintah dapat terpenu­hi.

Disiplin Kerja
Disiplin kerja ini adalah suatu kegiatan manajemen yang penting untuk menjalankan standar organisasional. Disiplin yang baik mencerminkan besarnya/tingginya rasa tanggung jewab seseorang terhadap tugas-tugas yang dibebankan kepadanya. Bagi orang yang mempunyai tujuan atau cita-cita dalam hal ini dalam meniti karier akan merasa bergairah bekerja bila dilaksanakan disiplin kerja dalam suatu perusahaan. Pada umumnya karyawan atau manusia yang baik atau normal senantiasa merasa rela mengikuti disiplin kerja demi tercapainya tujuan perusahaan, ka­ryawan dan masyarakat. Seorang manager atau pimpinan organisasi dapat dikatakan efektif dalam kepemimpinannya, bila tardapat disiplin yang baik dalam organisasi itu. Dalam disiplin itu telah tercakup peraturan-peraturan dan bila ada pelanggaran akan mendapat hukuman sesuai yang telah digariskan dalam peraturan tersebut.
Peraturan-peraturan itu sangat diperlukan untuk memberikan bimbingan dan penyuluhan bagi setiap karyawan untuk menciptakan tata tertib yang baik di perusahaan yang bersangkutan. De-ngan tata tertib karyawan yang baik, maka semangat kerja, mo­ral kerja, efisiensi dan efektivitas kerja karyawan akan meningkat. Maka di sinilah peranan manajemen dalam hal ini departemen personalia untuk menyusun peraturan dengan baik serta memberikan sanksi hukuman bagi setiap pelanggaran secara adil atau proporsional sesuai dengan berat ringannya pelangga­ran. Diharapkan kssadaran, kesediaan yang tulus dari setiap ka­ryawan untuk mentaati peraturan demi kepentingan ketiga pihak yang berkepentingan (perusahaan, karyawan dan masyarakat).
Sanksi hukuman diberikan dengan tujuan untuk meningkatkan kedisiplinan, karena hukuman itu bukan balas dendam, melainkan sarana untuk mendidik para karyawan/pelaku agar mentaati pera­turan dengan baik. Begitu juga bagi karyawan yang lain yang tidak melanggar mendapat pelajaran supaya jangan melanggar pera­turan (dengan melihat rekannya kena sanksi hukuman atas pelang­garan).
Di bawah ini akan diutarakan dua tipe kegiatan pendisiplinan, yakni :
a.       disiplin preventif : kegiatan yang dilaksanakan untuk men-dorong karyawan mengikuti berbagai standar dan aturan, sehingga dapat menghindari penyelewengan-penyelewengan atau penyimpangan. Upaya untuk pencegahan itu sering memberikan pengumuman, penyu­luhan untuk menolong karyawan supaya berdisiplin. Diberikan alasan-alasan serta latarbelakang suatu standar dalam peraturan agar mereka memahaminya. Gontoh, "Jangan merokokl" pada waktu jam kerja, terangkan alasannya. Standar diberikan secara positif dan bukan negatif. Contoh, "Jaga keamanan!" (positif). Ja­ngan diberi secara negatif, "Jangan ceroboh !"

b.       disiplin korektif : adalah merupakan kegiatan untuk mentekkel pelanggaran terhadap peraturan-peraturan dengan bertujuan untuk mencegah pelanggaran-pelanggaran lebih Ianjut. Disi­plin korektif ini diberikan berupa bentuk tindakan pendisiplinan (disciplinary action) ; suatu peringatan baik secara lisan (sebaiknya diusahakan daripada peringatan secara tertulis). Selanjutnya bila beberapa kali diperingatkan, dapat diberikan seca­ra skorsing. Bentuk pendisiplinan terakhir ialah pemecatan atau disebut pemutusan hubungan kerja (PHK) sesuai dengan peraturan perburuhan. Hal ini akan diuraikan lebih lanjut dalam bab selanjutnya.
Tujuan atau sasaran pendisiplinan seyogianyalah bersifat po­sitif (mendidik dan mengoreksi), bukan tindakan negatif ( menjatuhkan atau memojokkan karyawan walaupun bersalah). Jika bersifat negatif atau balas dendam, bukan menolong yang ber­sangkutan malah menciptakan pengaruh lain yang merugikan baik karyawan itu sendiri maupun perusahaan. Bila masih dapat diperbaiki hendaknya diupayakan secara maksimal sesuai dengan hubungan industrial Pancasila (HIP) dengan dasar bahwa karyawan adalah mitra kerja untuk menjalankan perusahaan. Di sinilah pera­nan manajer sebagai pemimpin perusahaan yang mempunyai kebijaksanaan yang berbeda dari setiap bawahan. Yang merugikan dimaksud antara lain, emosi terganggu, absensi meningkat, menimbulkan apatis (masa bodoh), fatigue (kelesuan) dan ketakutan kepada penyelia/manajer. Akhirnya sebelum tindakan PHK, karyawan tersebut mendahului yaitu mengundurkan diri dan pindah kerja ke perusahaan lain. Perlu diperhatikan, bahwa pemecatan adalah jalan terakhir setelah usaha semaksimal mungkin. Mungkin juga di­katakan menjadi suatu kegagalan manajemen dan departemen perso­nalia, walaupun pandangan ini kurang realistik. Keterbatasan pihak manajemen inilah sehingga memberikan tindakan pemecatan. Tetapi perlu diingat oleh setiap pemberi tindakan pendisipli­nan terhadap karyawan pelanggar, sebagai tujuan/sasaran, sebagai berikut:
a.   Untuk memperbaiki si pelanggar sendiri
b.   Mencegah pelanggaran selanjutnya dari pihak karyawan lainnya
c.   Memelihara wibawa peraturan
d.   Untuk memelihara berbagai standar (tetap konsisten dan
efektif).
e.   Memelihara kestabilan kerja.
Disiplin hendaknya dilakukan dengan peringatan seperti yang diurakan, segera, konsisten dan tidak bersifat pribadi (imper­sonal). Peringatan yang dimaksudkan segera atau secepat mungkin untuk menghindari jangan sampai tersiar lama di kalangan karyawan banyak yang menjadi perguncingan, sehingga dapat mengganggu ketentraman kerja dan karyawan si pelanggar sendiri merasa tersiksa menunggu-nunggu akbiat pelanggarannya. Hal ini dapat mempengaruhi emosi, pikiran yang berakibat tidak menentu pekerjaannya. Konsisten maksudnya ialah hukuman yang telah dijatuhkan kepada yang tardahulu apalagi atas pelanggaran yang sejenis, jarak waktu pemberian hukuman sangat berbeda sehingga mengundang perasaan kurang adil dan tidak konsisten pula. Begitu Juga hendaknya atas pelanggaran yang sama diberikan hu­kuman yang sama pula dan juga bersifat impersonal (perasaan tidak atau senang terhadap seseorang) tidak ada hubungannya de­ngan pemberian sanksi hukuman/pendisiplinan. Jadi, tidak terjadi pen-diskriminasian dengan perkataan lain harus adil dan layak ; jangan dipermalukan di muka umum (karyawan banyak) atau di depan karyawan lain.
Selain dua tipe kegiatan pendisiplinan tersebut di atas, ada lagi yang disebutdisiplin prograsif" yaitu disiplin secara bertahap/bertingkat. Pemberian sanksi hukuman yang termaksud ialah pemberian hukuman yang lebih berat terhadap pelanggaran yang berulang-ulang. Disiplin progresif tujuannya membantu ka­ryawan untuk memperbaiki kesalahannya, sebagai contoh :
a.       Teguran secara lisan oleh pimpinan langsung/penyelia
b.      Teguran tertulis, dengan disimpannya catatan di file per­sonalia
c.       Skorsing dari pekerjaan satu sampai tiga hari
d.      Skorsing satu minggu atau lebih lama lagi
e.       Demosi  (diturunkan pangkatnya)
f.       Meminta izin kepada   Departemen  Tenaga  Kerja  c.q.   Kantor resor Tenaga  Keria   (bila   kesalahan  dianggap biasa).   Tetapi  bila  pelanggaran   itu  besar  sesuai  dengan Hukum  Perburuhan RI UU No.  12 tahun  1964,   dapat  meminta izin PHK langsung ke  P-4 D (Panitia  Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Tingkat  Dserah).   Hal  ini akan diuraikan lebih lanjut dalam bab  selaniutnya.
Dianjurkan agar perusahaan terlebih dahulu mengupayakan un­tuk  mengevaluasi  faktor-faktor penyebab mengapa  sering terjadi pelanggaran-pelanggaran karyawan.   Indikator kedisiplinan,   antara  lain:   teladan penyelia,   balas  jasa yang layak dan adil, keadilan atas pelaksanaan  sanksi  hukuman,   ketegasan dalam pelaksanaan hukuman,  konsisten, jangka waktu pelaksanaan hukuman, personal/impersonal,  pengawasan  melekat  (waskat)  dan hubungan kemanusiaan.   Indikator-indikator kedisiplinan tersebut dapat mempengaruhi tingkat kedisiplinan karyawan  suatu perusahaan.
Diambil  suatu  contoh WASKAT  (pengawasan melekat),   adalah su­atu tindakan nyata dan paling efektif   (berhasil guna) untuk mewujudkan disiplin,  karena  dengan waskat  ini,  berarti atasan/pe-nyelia aktif dan langsung mengawasi perilaku,  moral,  sikap,   semangat kerja dan prestasi kerja karyawan. Penyelia harus selalu hadir di tempat pekerjaannya, tepat waktunya (on time) serta berdisiplin menjadi panutan.   Hadir supaya dapat mengawasi dan memberikan petunjuk langsung kepada karyawan/bawahannya, jika ada  meminta tolong atau bila  ada kesulitan karyawan dalam pekerjaannya.   Waskat yang efektif dapat merangsang kedisplinan dan moral kerja karyawan karena merasa memperoleh perhatian, bimbingan,  petunjuk,  pengarahan dan pengawasan dari pihak  atasannya.
Dengan dilakukannya waskat  oleh penyelia  secara langsung dapat mengetahui kemampuan dan disiplin  setiap karyawan,   sehing­ga  dapat memperhatikan tindak-tanduk  (kondute) karyawan lang­sung secara  obyektif dapat menilai prestasi kerja yang kelak dapat meningkatkan produktivitas kerja.  Menumrt DES.Malayu Hasibuan : Waskat adalah tindakan nyata dan efektif untuk mencegah/mengetahui kesalahan,   membetulkan kesalahan,  memelihara ke­disiplinan,   meningkatkan prestasi kerja,   mengaktifkan peranan atasan dan bawahan,  menggali  sistem-sistem kerja yg paling efek­tif dan menciptakan sistem internal kontrol yang terbaik dalam mendukung terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan dan masyarakat.

Tidak ada komentar: