Jumat, 22 April 2016

TEORI KEPUASAN KERJA

1.      Kepuasan  Kerja

a.      Definisi  Kepuasan Kerja
         Steve M. Jex (2002:131) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai “tingkat afeksi positif seorang pekerja terhadap pekerjaan dan situasi pekerjaan.” Bagi Jex, kepuasan kerja melulu berkaitan dengan sikap pekerja atas pekerjaannya. Sikap tersebut berlangsung dalam aspek kognitif dan perilaku. Aspek kognitif kepuasan kerja adalah kepercayaan pekerja tentang pekerjaan dan situasi pekerjaan: Bahwa pekerja yakin bahwa pekerjaannya menarik, merangsang, membosankan atau menuntut. Aspek perilaku pekerjaan adalah kecenderungan perilaku pekerja atas pekerjaannya yang ditunjukkan lewat pekerjaan yang dilakukan, terus bertahan di posisinya, atau bekerja secara teratur dan disiplin.
        Kepuasan kerja biasanya didefinisikan sebagai tingkat pengaruh positif karyawan terhadap pekerjaannya atau situasi pekerjaan (Locke, 1976: Spector, 1977). Pengaruh positip pada definisi ini dapat ditambahkan komponen kognitif dan perilaku, hal ini sesuai dengan cara psikologis social mendefinisikan sikap (Zanna & Rempel, 1988). Kepuasan kerja nyatanya adalah sikap karyawan terhadap pekerjaannya.

        Aspek kognitif dari kepuasan kerja merupakan keyakinan karyawan tentang pekerjaannya, yaitu keyakinan bahwa pekerjaannya menarik, tidak menarik, banyak tuntutan dsb. Aspek kognitif ini tidak bebas dari aspek afektif yaitu sangat terkait dengan perasaan dari pengaruh positif.
       Komponen perilaku  merupakan perilaku karyawan atau lebih sering kecenderungan perilaku terhadap pekerjaannya. Tingkat kepuasan kerja karyawan juga menjadi nyata oleh fakta bahwa ia mencoba untuk mengikuti pekerjaan secara teratur, bekerja keras, dan berniat tetap menjadi anggota organisasi utk waktu yang lama. Dibanding komponen kognitif dan afektif dari kepuasan kerja, komponen perilaku sedikit informative, karna sikap tidak selalu sesuai dengan perilaku, seperti seseorang tidak suka dengan pekerjaannya tetapi tetap sbg karyawan karna alasan financial.
       Barbara A. Fritzsche and Tiffany J. Parrish (2005:180) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai “... variabel afektif yang merupakan hasil dari pengalaman kerja seseorang.” Fritsche and Parrish juga mengutip Locke (1976) yang menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah “ ... keadaan emosional yang positif dan menyenangkan yang dihasilkan dari penghargaan atas pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang.” Singkatnya, kepuasan kerja dapat menceritakan sejauh mana seseorang menyukai pekerjaannya.
As’ad (2004 : 104) mengutip definisi atau pengertian kepuasan kerja, antara lain:
(1)  Menurut Wexley & Yukl (1977) yang disebut kepuasan kerja ialah “is the way an employee feels about his her job”. Ini berarti kepuasan kerja sebagai “perasaan seseorang terhadap pekerjaan”.
(2)  Vroom (1964) dikatakan sebagai “refleksi dari job attitude yang bernilai positif”.
(3)  Hoppeck menarik kesimpulan setelah mengadakan penelitian terhadap 309 karyawan pada suatu perusahaan di New Hope Pennsylvania USA bahwa kepuasan kerja merupakan penilaian dari pekerja yaitu seberapa jauh pekerjaan-pekerjaan secara keseluruhan memuaskan kebutuhannya.
(4)  Menurut Tiffin (1958) berpendapat bahwa kepuasan kerja berhubungan erat dengan sikap karyawan terhadap pekerjaannya sendiri, situasi kerja, kerjasama antara pimpinan dengan sesame karyawan.
(5)  Kemudian Blum (1956) mengemukakan bahwa kepuasan kerja merupakan sikap umum yang merupakan hasil dari beberapa sikap khusus terhadap faktor-faktor pekerjaan, penyesuaian diri dan hubungan sosial individual di luar kerja.

b.      PendekatanTeoritis dari Kepuasan Kerja
         Porsi substansi dari penelitian yang dilakukan pada kepuasan kerja selama bertahun-tahun telah dikhususkan untuk menjelaskan apa sebenarnya yang menentukan tingkat kepuasan kerja karyawan. Memahami perkembangan dari kepuasan kerja adalah teori penting pada psikologi organisasi. Juga kepentingan praktis organisasi karena mereka berusaha untuk mempengaruhi tingkat kepuasan kerja karyawan dan akhirnya, hasil penting lainnya.
Terdapat 3 pendekatan umum utk menjelaskan perkembangan kepuasan kerja: 1) Pendekatan Karakteristik Pekerjaan 2) Pendekatan Proses Informasi Sosial and 3) Pendekatan Disposisional.
Menurut pendekatan karakteristik pekerjaan, kepuasan kerja ditentukan terutama oleh sifat pekerjaan karyawan atau oleh karakteristik organisasi di mana mereka bekerja.Kepuasan kerja sangat ditentukan oleh perbandingan : apa yang pekerjaan berikan utk mereka dan apa yang mereka berikan utk pekerjaan.  Setiap aspek seperti gaji, kondisi kerja, pengawasan memberi kontribusi utk penilaian kepuasan kerja (Hulin 1991). Locke, 1976 mengusulkan yang dikenal sebagai range of affect theory, premis dasar dari range of affect theory adalah bahwa aspek pekerjaan yang berbeda dipertimbangkan ketika karyawan membuat penilaian tentang kepuasan kerja. Pendekatan karakteristik pekerjaan yang sangat mendarahdaging terhadap kepuasan kerja dalam psikologi organisasi ( Campion & Thayer, 1985; Griffin, 1991; Hackman & Oldham, 1980).
Teori Proses informasi sosial (Salancik & Pfeffer, 1977, 1978) mengusulkan dua mekanisme utama dimana karyawan mengembangkan rasa puas atau tidak. Mekanisme pertama menyatakan karyawan melihat perilaku mereka secara retrospektif dan membentuk sikap seperti kepuasan kerja untuk memahaminya, teori ini didasari pada Bem’s, 1972 dengan Self-Perception Theory. Mekanisme lain yang paling dekat dengan Teori Proses informasi social adalah bahwa karyawan mengembangkan sikap seperti kepuasan kerja melalui pengolahan informasi dari lingkungan social, teori ini didasari pada Festinger’s, 1954 dengan Social Comparison Theory, yang menyatakan bahwa bahwa orang sering melihat ke orang lain untuk menafsirkan dan memahami lingkungan.
Pendekatan yang paling baru untuk kepuasan kerja didasari pada disposisi internal. Premis dasar dari pendekatan dispositional terhadap kepuasan kerja adalah bahwa beberapa karyawan mempunyai kecenderungan menjadi puas atau tidak dengan pekerjaannya, terlepas dari sifat pekerjaan atau organisasi dimana mereka bekerja. Penelitian dari pendekatan ini diantaranya yang dilakukan oleh Weitz, 1952 tentang kecenderungan afektif individu berinteraksi dengan kepuasan kerja yang berdampak omset. Staw and Ross, 1985 menyelidiki kestabilan kepuasan kerja diantara sampel pekerja pria, penelitian ini mendapatkan bahwa ada korelasi antara kepuasan kerja pada suatu waktu, dan kepuasan kerja 7 tahun kemudian.
Ketiga pendekatan di atas secara bersama-sama menentukan kepuasan kerja atau dengan kata lain kepuasan kerja adalah fungsi bersama dari karakteristik pekerjaan, proses informasi social dan pengaruh disposisional.
         Menurut Wexley dan Yukl (1977) dalam bukunya yang berjudul Organisational Behavior And Personnel Psychology, teori-teori tentang kepuasan kerja ada tiga macam yang lazim dikenal yaitu :
(1)         Discrepancy Theory
Teori ini menerangkan bahwa seorang karyawan akan merasa puas bila tidak ada perbedaan antara apa yang diinginkan dengan persepsinya atas kenyataan yang ada. Dipelopori oleh Porter (1961) dengan mengukur kepuasankerja seseorang dengan menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Selanjutnya Locke (1969) menerangkan bahwa kepuasan kerja seseorang tergantung kepada discrepancy antara should be (expectation, need, atau value) dengan apa yang menurut perasaannya telah diperoleh atau dicapai melalui pekerjaan (Moh. As’ad, 1995:105).
(2) Equity Theory
Prinsip dari teori ini adalah bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas,tergantung apakah ia merasakan adanya keadilan (equity) atau tidak atas suatu situasi. Menurut teori ini equity terdiri dari tiga elemen, yaitu :
a. Input, yaitu segala sesuatu yang berharga yang dirasakan oleh karyawan sebagai sumbangan atas pekerjaannya.
b. Out comes, yaitu segala sesuatu yang berharga yang dirasakan olehkaryawan sebagai hasil dari pekerjaannya.
c.  Comparison persons, yaitu kepada orang lain atau dengan siapa karyawan membandingkan rasio input – outcomes yang dimilikinya. Comparison Persons ini bisa berupa seseorang di perusahaan yang sama, atau di tempatlain, atau bisa pula dengan dirinya sendiri diwaktu lampau.
Sehingga dapat disimpulkan dalam teori ini adalah setiap karyawan akan membandingkan rasio input – out comes dirinya dengan rasio input – out comes orang lain. Bila perbandingan itu dianggap cukup adil, maka ia akan merasa cukup puas. Bila perbandingan itu tidak seimbang tetapi menguntungkan, bisa menimbulkan kepuasan tetapi bisa pula tidak.
Kelemahan teori ini adalah kenyataan bahwa kepuasan orang juga ditentukan oleh individual differences (misalkan saja pada waktu orang melamar pekerjaan apabila ditanya besarnya gaji/upah yang diinginkan). Selain itu tidak liniernya hubungan antara besarnya kompensasi dengan tingkat kepuasan lebih banyak bertentangan dengan kenyataan (Moh. As’ad, 1995:106).

(3) Two Factor Theory
Prinsip dari teori ini adalah kepuasan dan ketidakpuasan kerja itu merupakan dua hal yang berbeda, artinya kepuasan dan ketidakpuasan kerja terhadap pekerjaan itu tidak merupakan suatu variabel yang kontinyu (Herzberg,1966). Teori ini pertama dikemukakan oleh Herzberg melalui hasil penelitian beliau dengan membagi situasi yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap pekerjaannya menjadi dua kelompok, yaitu :
a) Kelompok satisfiers, yaitu situasi yang dibuktikannya sebagai sumber kepuasan kerja yang terdiri dari tanggung jawab, prestasi, penghargaan, promosi, dan pekerjaan itu sendiri. Kehadiran faktor ini akan menimbulkan kepuasan, tetapi tidak hadirnya ini tidaklah selalu mengakibatkan ketidakpuasan.
b) Kelompok dissatisfiers ialah faktor-faktor yang terbukti menjadi sumber ketidakpuasan, yang terdiri dari kondisi kerja, gaji, penyelia, teman kerja, kebijakan administrasi, dan keamanan. Perbaikan terhadap kondisi ini akan mengurangi atau menghilangkan ketidakpuasan, tetapi tidak akan menimbulkan kepuasan karena ia bukan sumber kepuasan kerja. Yang menarik dari teori ini justru terletak pada konsep dasar tentang pemisahan kepuasan dan ketidakpuasan kerja, karena dianggap kontroversial. Penelitian yang dilakukan oleh Mills (1967) terhadap 155 orang karyawan dari dua buah pabrik besar di Australia, dimana sampel terdiri dari berbagai tingkatan umur, kebangsaan, lama dinas, dan macam jabatan. Hasilnya seratus persen mendukung teori dua faktor tersebut (As’ad,1995:108-109).  

c.       Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja
      Faktor yang memberikan kepuasan kerja menurut Blum (1956) sebagai berikut: (1) Faktor individual, meliputi umur, kesehatan, watak dan harapan; (2)  Faktor sosial, meliputi hubungan kekeluargaan, pandangan masyarakat, kesempatan berkreasi, kegiatan perserikatan pekerja, kebebasan berpolitik, dan hubungan kemasyarakatan; (3) Faktor utama dalam pekerjaan, meliputi upah, pengawasan, ketentraman kerja, kondisi kerja, dan kesempatan untuk maju. Selain itu juga penghargaan terhadap kecakapan, hubungan sosial di dalam pekerjaan, ketepatan dalam menyelesaikan konflik antar manusia, perasaan diperlakukan adil baik yang menyangkut pribadi maupun tugas. (As’ad, 2004: 114).
      Pendapat  dari Gilmer (1966) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja sebagai berikut: (1) Kesempatan untuk maju, dalam hal ini ada tidaknya kesempatan untuk memperoleh pengalaman dan peningkatan kemampuan selama kerja; (2) Keamanan kerja. Faktor ini sering disebut sebagai penunjang kepuasan kerja, baik bagi karyawan pria maupun wanita. Keadaan yang aman sangat mempengaruhi perasaan karyawan selama kerja; (3) Gaji, lebih banyak menyebabkan ketidakpuasan, dan jarang orang mengekspresikan kepuasan kerjanya dengan sejumlah uang yang diperolehnya; (4) Perusahaan dan manajemen. Perusahaan dan manajemen yang baik adalah yang mampu memberikan situasi dan kondisi kerja yang stabil. Faktor ini yang menentukan kepuasan kerja karyawan; (5) Pengawasan (Supervise), Bagi karyawan, supervisor dianggap sebagai figur ayah dan sekaligus atasannya. Supervisi yang buruk dapat berakibat absensi dan turn over; (6) Faktor intrinsik dari pekerjaan. Atribut yang ada pada pekerjaan mensyaratkan ketrampilan tertentu. Sukar dan mudahnya serta kebanggaan akan tugas akan meningkatkan atau mengurangi kepuasan; (7) Kondisi kerja, termasuk di sini adalah kondisi tempat, ventilasi, penyinaran, kantin dan tempat parkir; (8) Aspek sosial dalam pekerjaan,
merupakan salah satu sikap yang sulit digambarkan tetapi dipandang sebagai faktor yang menunjang puas atau tidak puas dalam kerja; (9) Komunikasi. Komunikasi yang lancar antar karyawan dengan pihak manajemen banyak dipakai alasan untuk menyukai jabatannya. Dalam hal ini adanya kesediaan pihak atasan untuk mau mendengar, memahami dan mengakui pendapat ataupun prestasi karyawannya sangat berperan dalam menimbulkan rasa puas terhadap kerja; (10) Fasilitas. Fasilitas rumah sakit, cuti, dana pensiun, atau perumahan merupakan standar suatu jabatan dan apabila dapat dipenuhi akan menimbulkan rasa puas.(As’ad, 2004: 115)
       Harold E. Burt mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu: (As’ad, 1995:112)
1)    Faktor hubungan antar karyawan, antara lain :
a. Hubungan antara manager dengan karyawan
b. Faktor fisis dan kondisi kerja
c. Hubungan sosial diantara karyawan
d. Sugesti dari teman sekerja
e. Emosi dan situasi kerja
2)    Faktor Individu, yaitu yang berhubungan dengan :
a. Sikap orang terhadap pekerjaannya
b. Umur orang sewaktu bekerja
c. Jenis kelamin
3)    Faktor luar (external), yang berhubungan dengan :
a. Keadaan keluarga karyawan
b. Rekreasi
c. Pendidikan (training, up grading dan sebagainya)

        Pendapat lain dikemukakan oleh Ghiselli dan Brown(1950), bahwa ada lima faktor yang menimbulkan kepuasan kerja yaitu :
(1)      Kedudukan (posisi)
Umumnya manusia beranggapan bahwa seseorang yang bekerja padapekerjaan yang lebih tinggi akan merasa lebih puas daripada yang pekerjaannya lebih rendah. Sesungguhnya hal tersebut tidak selalu benar, tetapi justru perubahan dalam tingkat pekerjaannyalah yang mempengaruhi kepuasan kerja.
(2)      Golongan
Seseorang yang memiliki golongan yang lebih tinggi umumnya memiliki gaji, wewenang, dan kedudukan yang lebih dibandingkan yang lain, sehingga menimbulkan perilaku dan perasaan yang puas terhadap pekerjaannya.
(3)     Umur
Dinyatakan bahwa ada hubungan antara umur dengan kepuasan kerja, dimana umur antara 25-34 tahun dan umur 40–45 tahun adalah merupakan umuryang bisa menimbulkan perasaan kurang puas terhadap pekerjaan.
(4)     Jaminan finansial dan jaminan sosial
Jaminan finansial dan jaminan sosial umumnya berpengaruh terhadap kepuasan kerja.
(5)   Mutu Pengawasan
Kepuasan karyawan dapat ditingkatkan melalui perhatian dan hubungan yang baik dari pimpinan dengan bawahan, sehingga karyawan akan merasa bahwadirinya merupakan bagian yang penting dari organisasi kerja (Moh. As’ad,1995:113).

Dari berbagai pendapat diatas dapat dirangkum mengenai faktor – faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu (Moh. As’ad, 1995:115-116) :
(1)   Faktor psikologi, merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan karyawan yang meliputi minat, ketentraman dalam bekerja, sikap terhadapkerja, bakat, dan ketrampilan.
(2)   Faktor sosial merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial baik antar sesama karyawan, dengan atasannya, maupun karyawan yang berbeda jenis pekerjaannya.
(3)   Faktor fisik merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja dan kondisi fisik karyawan, meliputi jenis pekerjaan,pengaturan waktu kerja, dan waktu istirahat, perlengkapan kerja, keadaan ruangan, suhu, penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan,umur dan sebagainya.
(4)   Faktor Finansial, merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan serta kesejahteraan karyawan yang meliputi sistem dan besarnya gaji, jaminansosial, macam-macam tunjangan, fasilitas yang diberikan, promosi dansebagainya.

d.      Pengukuran Kepuasan Kerja
            Kita tidak akan pernah bisa mempelajari tentang kepuasan kerja, bila saja kita tidak memiliki cara untuk mengukurnya. Untungnya ada beberapa ukuran kepuasan kerja yang dapat digunakan. Biasanya ada empat macam ukuran yang paling sering dipergunakan secara luas. Namun sebelum mempelajari tantang ukuran-ukuran kepuasan kerja, akan dijelaskan terlebih dahulu bagaimana sebuah ukuran dapat disebut valid.
            Meskipun ukuran-ukuran yang disebutkan di atas dilihat sebagai ukuran construct valid dari kepuasan kerja, namun sangat tidak benar untuk mengatakan ukuran apapun sebagai construct valid ataupun tidak construct valid. Construct validity adalah masalah level. Ukuran-ukuran yang disebutkan sebelumnya berasosiasi dengan level yang tinggi dari bukti-bukti construct valid itu sendiri.
            Lantas bagaimanakah cara untuk menyediakan bukti-bukti untuk construct validity dari sebuah ukuran? Secara general ada tiga tes untuk construct validity. Yang pertama, agar sebuah ukuran dapat disebut sebagai construct valid, itu harus sangat berhubungan dengan ukuran-ukuran lain yang memiliki konstruksi sama. Ini disebut juga dengan istilah convergence. Kedua, sebuah ukuran harus berbeda dari ukuran-ukuran dengan variabel yang berbeda. Nama lainnya adalah discrimination. Cara ketiga yang biasa digunakan para peneliti untuk menunjukkan bukti dari construct validity adalah melalui prediksi teoritikal dasar. Dalam hal ini, para peneliti mengembangkan sebuah jaringan nomologikal yang berbasis teori dari hubungan antara ukuran yang akan dikembangakan dan variabel lain yang berkepentingan.
            Salah satu dari ukuran kepuasan kerja yang banyak dipergunakan secara luas adalah Face Scale yang dikembangkan oleh Kunin pada pertengahan tahun 1950an. Face scale ini terdiri dari serangkaian wajah-wajah dengan berbagai ekspresi emosi yang berbeda. Responden diminta untuk dapat menunjukkan dari lima ekspresi wajah yang tersedia ekspresi wajah manakah  yang paling mewakili perasaan mereka kepada kepuasan secara keseluruhan terhadap pekerjaan mereka. Keuntungan utama dari face scale ini adalah kesimpelannya dan responden tidak perlu melalui sebuah jenjang membaca yang tinggi untuk dapat menyelesaikannya. Sementara, kerugian potensial dari face scale ini adalah ia tidak menyediakan informasi mengenai kepuasan karyawan dengan aspek yang berbeda dari pekerjaan mereka.
            Skala lain yang juga banyak dipergunakan adalah Job Descriptive Index (JDI) yang dikembangan pada akhir tahun 1960an oleh Patricia Cain Smith dan kolega-koleganya di Universitas Cornell. Skala JDI dinamai dengan tepat, karena skala tersebut membuat reponden mendeskripsikan pekerjaan mereka. Perbedaannya dengan face scale, pengguna JDI bisa mendapatkan skor untuk berbagai aspek yang berbeda dari pekerjaan dan lingkungan kerja mereka. Keuntungan utama dari JDI adalah banyak data yang menyuport construct validitynya. Terlebih lagi, bila seorang peneliti atau konsultan ingin menggunakan JDI untuk mengukur kepuasan kerja dari sekelompok pekerja maka ia akan dapat membandingkan skor-skor sekelompok pekerja ini dengan seorang sampel normatif dengan pekerjaan yang sama. Tidak banyak kerugian yang dimiliki oleh skala JDI ini. Namun ada satu masalah yang muncul, yaitu biasanya pada suatu kasus peneliti hanya berkeinginan untuk mengukur tingkat kepuasan pekerja secara keseluruhan, dan skala JDI tidak dapat melakukan hal ini. Oleh karena itulah, sang pengembang JDI ini kemudian membuat sebuah skala baru yang bernama Job in General (JIG) Scale. Skala JIG ini dibuat dibentuk seperti JDI, kecuali pada JIG ini terdiri dari beberapa adjektif dan frase tentang pekerjaan secara general daripada secara aspek-aspek spesifik dari pekerjaan.
            Ukuran kepuasan kerja yang ketiga yang juga banyak dipergunaka dan banyak diterima adalah Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ). Skala MSQ ini dikembangkan oleh sebuah tim peneliti yang berasal dari University of Minnesota pada waktu hampir sama dengan pengembangan skala JDI. Form panjang dari skala MSQ terdiri dari 100 item yang didesain untuk mengukur 20 macam aspek kerja. Adapula form pendek dari skala MSQ, terdiri dari 20 item. Item-item pada skala MSQ terdiri dari statement-statement tentang berbagai macam aspek pekerjaan, dan responden diminta untuk menunjukkan tingkat kepuasan mereka terhadap masing masing aspek. Dibandingan dengan JDI, skala MSQ merupakan sebuah ukuran yang menunjukkan kesukaan atau ketidaksukaan terhadap pekerjaan. Skala MSQ juga menyediakan informasi yang luas mengenai kepuasan pekerja pada berbagai macam aspek pekerjaan dan lingkungan kerja. Satu-satunya kerugian terbesar dari MSQ adalah panjang dari skala tersebut. Pada form dengan 100 item, versi penuh dari MSQ ini sangat sulit untuk diadministrasikan, apalagi bila peniliti berkeinginan untuk mengukur variabel lainnya. Bahan dengan versi form pendek (20 item) masih tergolong panjang bila dibandingkan dengan ukuran-ukuran lain dari kepuasan yang pernah tersedia.
            Ukuran tingkat kepuasan kerja yang terakhir adalah Job Satisfaction Survey (JSS) yang belum pernah dipergunakan sebanyak ukuran-ukuran yang telah disebutkan sebelumnya, namun memiliki bukti yang menyuport properti psikometrinya. Skala ini dikembangkan pertama kali oleh Spector (1985) sebagai insturmen untuk mengukur kepuasan kerja pada karyawan Human Sercive. JSS terdiri dari 36 item yang didesain untuk mengukur sembilan macam aspek pekerjaan dan lingkungan kerja. Bila dibandingkan dengan ukuran-ukuran lainnya, JSS kurang lebih sama, yaitu mewakili statement mengenai pekerjaan seseorang ataupun situasi kerjanya. JSS lebih mirip dengan JDI karena JSS juga merupakan skala deskriptif. Namun hal yang membedakannya dengan JDI adalah pada JSS skor kepuasan kecara keseluruhan dapat dihasilkan dengan cara menjumlahkan skor-skor aspek pekerjaan dan lingkungan kerja.

Dimensi Pengukuran Kepuasan Kerja
       Dalam meneliti kepuasan kerja, peneliti harus menggunakan ukuran. Ukuran suatu konsep adalah variabel. Variabel satu dengan variabel lain ditentukan berdasarkan dimensi konsep. Dimensi pengukuran kepuasan kerja cukup bervariasi. Stephen Robbins mengajukan empat variabel yang mampu mempengaruhi kepuasan kerja seseorang yaitu: (1) Pekerjaan menantang secara mental; (2) Reward memadai; (3) Kondisi kerja mendukung; dan (4) Kolega mendukung.(Jex. 2002:192-193)

        Pekerjaan yang menantang secara mental – Pekerja cenderung memiliki pekerjaan yang memberikan kesempatan mereka menggunakan keahlian dan kemampuan serta menawarkan variasi tugas, kebebasan, dan umpan balik seputar sebaik mana pekerjaan yang mereka lakukan. Pekerjaan yang kurang menantang cenderung membosankan, sementara pekerjaan yang terlalu menantang cenderung membuat frustasi dan rasa gagal. Di bawah kondisi moderat-menantang, sebagian besar pekerja akan mengalami pleasure and kepuasan.

       Reward yang memadai – Kecenderungan pekerja dalam menginginkan sistem penghasilan dan kebijakan promosi yang diyakini adil, tidak mendua, dan sejalan dengan harapannya. Saat pekerja menganggap bahwa penghasilan yang diterima setimpal dengan tuntutan pekerjaan, tingkat keahlian, dan sama berlaku bagi pekerja lainnya, kepuasan akan muncul. Tidak semua pekerja mencari uang, dan sebab itu promosi merupakan alternatif lain kepuasan kerja. Banyak pula pekerja yang mencari kewenangan, promosi, perkembangan pribadi, dan status sosial.

      Kondisi kerja yang mendukung – Perhatian pekerja pada lingkungan kerja, baik kenyamanan ataupun fasilitas yang memungkinkan mereka melakukan pekerjaan secara baik. Studi-studi membuktikan bahwa pekerja cenderung tidak memiliki lingkungan kerja yang berbahaya atau tidak nyaman. Temperatur, cahaya, dan faktor-faktor lingkujngan lain tidaklah terlampau ekstrim. Mereka juga cenderung berkerja di lokasi yang dekat rumah, menggunakan fasilitas moderen, serta peralatan kerja yang mencukupi.

      Kolega yang mendukung – Pekerja, selain bekerja juga mencari kehidupan sosial. Tidak mengejutkan bahwa dukungan rekan kerja mampu meningkatkan kepuasan kerja seorang pekerja. Perilaku atasan juga sangat mempengaruhi kepuasan kerja seseorang. Studi membuktikan bahwa kepuasan kerja meningkat tatkala supervisor dianggap bersahabat dan mau memahami, melontarkan pujian untuk kinerja bagus, mendengarkan pendapat pekerja, dan menunjukkan minat personal terhadap mereka.

        Derek R. Allen and Morris Wilburn (2002:20) menyatakan kajian atas kepuasan pekerja seharusnya komprehensif dan meliputi empat kategori yaitu:
Pekerja itu sendiri;
Pekerjaan itu sendiri;
Organisasi itu sendiri; dan
Lingkungan di mana pekerja dan organisasi berada.
        Keempat kategori Allen and Wilburn (2002:20-21) tersebut dapat diturunkan menjadi 23 dimensi kepuasan kerja yang terdiri atas: (1) Supervisor langsung; (2) Kebijakan dan Prosedur Perusahaan; (3) Pembayaran; (4) Keuntungan; (5) Kesempatan kontribusi untuk perusahaan; (6) Dipertimbangkannya pendapat oleh Perusahaan; (7) Kesempatan promosi; (8) Keamanan; (9) Pengakuan; (10) Apresiasi; (11) Rekan kerja; (12) Demografis (usia, gender, pendidikan); (13) Masa jabatan; (14) Persiapan awal pekerja dalam pekerjaan; (15) Kesempatan pelatihan yang berlanjut; (16) Sifat pekerjaan yang harus dilakukan; (17) Konflik tuntutan; (18) Ambiguitas peran; (19) Tekanan; (20) Kondisi kerja; (21) Alat dan perlengkapan kerja; (22) Material dan Supply; dan (23) Beban kerja.

       Paul E. Spector (1997: 8-19) merangkum bahwa ukuran kepuasan kerja telah memiliki instrumen-instrumen paten terstandardisasi yang terdiri atas:
a.         Job Satisfaction Survey (JDS);
b.        Job Descriptive Index (JDI);
c.         Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ);
d.        Job Diagnostic Survey (JDS);
e.         Job in General Scale (JGS); dan
f.         Michigan Organizational Assessment Questionnaire (MOAQ).

Penilaian Tingkat Kepuasan Kerja
       Pengukuran kepuasan kerja sangat bervariasi, baik dalam segi analisa statistiknya maupun pengumpulan datanya. Informasi yang didapat dari kepuasan kerja bisa melalui tanya jawab secara perorangan, dengan angket maupun dengan pertemuan suatu kelompok kerja. Kalau menggunakan tanya jawab sebagai alatnya maka karyawan diminta untuk merumuskan tentang perasaannya terhadap aspek-aspek pekerjaan. Cara lain dengan mengamati sikap dan tingkah laku orang tersebut (Moh. As’ad, 1995:116).
        Penilaian kepuasan kerja seorang karyawan terhadap seberapa puas atau tidak puasnya dia dengan pekerjaannya merupakan penjumlahan yang rumit dari sejumlah unsur pekerjaan yang terbedakan dan terpisahkan satu sama lain. Ada dua pendekatan yang paling banyak digunakan yaitu: (Stephen P. Robbins, 2003:101-102).
(1)      Angka nilai global tunggal
Metode ini meminta individu untuk menjawab satu pertanyaan, misalnya “Bilasemua hal dipertimbangkan, seberapa puaskan anda dengan pekerjaan anda?”kemudian responden menjawab dengan melingkari suatu bilangan jawaban 1sampai 5 yang berpadanan dengan jawaban dari “ sangat dipuaskan” sampai “sangat tidak dipuaskan.
(2) Skor penjumlahan yang tersusun atas aspek kerja.
      Metode ini lebih canggih yaitu dengan mengenali unsur – unsur utama dalamsuatu pekerjaan dan menanyakan perasaan karyawan mengenai tiap unsurtersebut, misalnya tentang sifat dasar pekerjaan, penyelia, upah, kesempatan promosi dan hubungan dengan rekan kerja

Tujuan Pengukuran Kepuasan Kerja
Tujuan pengukuran kepuasan kerja bagi para karyawan adalah :
1)        Mengidentifikasi kepuasan karyawan secara keseluruhan, termasuk kaitannyadengan tingkat urutan prioritasnya (urutan faktor atau atribut tolak ukur kepuasan yang dianggap penting bagi karyawan). Prioritas yang dimaksuddapat berbeda antara para karyawan dari berbagai bidang dalam organisasiyang sama dan antara organisasi yang satu dengan yang lainnya.
2)        Mengetahui persepsi setiap karyawan terhadap organisasi atau perusahaan.Sampai seberapa dekat persepsi tersebut sesuai dengan harapan mereka danbagaimana perbandingannya dengan karyawan lain.
3)        Mengetahui atribut–atribut mana yang termasuk dalam kategori kritis(critical perfoment attributes) yang berpengaruh secara signifikan terhadapkepuasan karyawan. Atribut yang bersifat kritis tersebut merupakan prioritasuntuk diadakannya peningkatan kepuasan karyawan.
4)        Apabila memungkinkan, perusahaan atau instansi dapat membandingkannyadengan indeks milik perusahaan atau instansi saingan atau yang lainnya(Kuswadi, 2004:55-56).

e.          Dampak Dari Kepuasan dan Ketidakpuasan Kerja
Terhadap Produktivitas Kerja
       Banyak pendapat yang menyatakan bahwa produktivitas dapat dinaikkandengan menaikkan kepuasan kerja, namun hasil penelitian tidak mendukung pandangan ini, karena hubungan antara produktivitas kerja dengan kepuasan kerja sangat kecil. Produktivitas kerja dipengaruhi oleh banyak faktor - faktormoderator disamping kepuasan kerja. Lawler dan Porter berpendapat produktivitas yang tinggi menyebabkan peningkatan dari kepuasan kerja jika tenaga kerja mempresepsikan bahwa ganjaran intrinsik (misalnya rasa telahmencapai sesuatu) dan ganjaran intrinsik (misalnya gaji) yang diterima kedua -duanya adil dan wajar dibuktikan dengan unjuk kerja yang unggul (Ashar SunyotoM, 2001:364).

Terhadap Kemangkiran Dan Keluarnya Tenaga Kerja
Ketidakhadiran lebih bersifat spontan dan kurang mencerminkanketidakpuasan kerja, berbeda dengan berhenti atau keluar dari pekerjaan. Steersdan Rhodes mengembangkan model pengaruh dari kehadiran. Ada dua faktorpada perilaku hadir yaitu motivasi untuk hadir dan kemampuan untuk hadir.Mereka percaya bahwa motivasi untuk hadir dipengaruhi oleh kepuasan kerja.
Model meninggalkan pekerjaan dari Mobley, Horner, dan Hollingworth menunjukkan bahwa setelah tenaga kerja menjadi tidak puas terjadi beberapatahap (misalnya berfikir untuk meninggalkan pekerjaan) sebelum keputusan untuk meninggalkan pekerjaan diambil. Menurut Robbins (1998) ketidakpuasan kerjapada karyawan dapat diungkapkan melalui berbagai cara misalkan selain meninggalkan pekerjaan, karyawan dapat mengeluh, membangkang, mencuribarang milik organisasi, menghindar dari tanggung jawab ( Ashar Sunyoto M,2001:365 - 366 ).

Terhadap Kesehatan
      Ada beberapa bukti tentang adanya hubungan antara kepuasan kerja dengan kesehatan fisik dan mental. Kajian yang dilakukan oleh Kornhauser tentang kesehatan mental dan kepuasan kerja adalah untuk semua tingkatan jabatan, persepsi dari tenaga kerja bahwa pekerjaan mereka menuntut penggunaan efektif dari kemampuan mereka berkaitan dengan skor kesehatan mental yang tinggi. Skor – skor ini juga berkaitan dengan tingkat dari kepuasan kerja dan tingkat dari jabatan. Meskipun jelas adanya hubungan kepuasan kerja dengan kesehatan, namun hubungan kausalnya masih tidak jelas. Tingkat dari kepuasan kerja dan kesehatan mungkin saling mengukuhkan sehingga peningkatan dari yang satu dapat meningkatkan yang lain dan sebaliknya penurunan yang satu mempunyai akibat yang negatif juga pada yang lain (Ashar Sunyoto M,2001:368).

            Banyak peneliti dan manajer yang tertarik dengan kepuasan kerja, terutama karena hubungannya dengan variabel-variabel lain yang berhubungan. Antara lain ada empat macam variabel yang memiliki hubungan teoritikal dan praktikal dengan kepuasan kerja, yaitu variabel sikap, Variabel ketidakhadiran, Variabel pergantian karyawan, dan Variabel performa kerja. (Jex, 2002)
            Variabel sikap. Sejauh ini kepuasan kerja diketahui berhubungan sangat kuat berkorelasi dengan variabel sikap lain. Variabel-variabel ini merefleksikan tingkat kesukaan dan ketidaksukaan karyawan. Beberapa contoh variabel-variabel sikap yang sering dipergunakan dalam penelitian organisasional antara lain adalah keikutsertaan dalam pekerjaan, komitmen organisasional, frustasi, tekanan pekerjaan, dan kecemasan. Diketahui pula bahwa kepuasan kerja memiliki hubungan yang positif dengan banyaknya ukuran yang menunjukkan dampak positif, seperti keikutsertaan dalam pekerjaan maupun mood kerja yang positif. Namun beberapa studi juga menunjukkan bahwa kepuasan kerja memiliki hubungan yang negatif dengan variabel-variabel seperti frustasi, kecemasan, dan tekanan kerja.
            Variabel Ketidakhadiran. Dari sudut pandang teoritikal, ketidakhadiran mewakili sebuah cara umum  seorang karyawan melakukan penarikan diri dari pekerjaan mereka. Sementari dari sudut pandang praktikal, ketidakhadiran  adalah sebuah masalah yang sangat merugikan untuk banyak organisasi. Ketika karyawan tidak hadir, pekerjaan mungkin tidak akan selesai atau akan dikerjakan oleh karyawan yang pengalamannya lebih sedikit. Hacket dan Guion (1985) menjelaskan ada beberapa alasan mengapa hubungan antara kepuasan kerja dan ketidakhadiran lemah. Alasan pertama adalah karena pengukuran dari ketidakhadiran itu sendiri sedikit kompleks. Alasan lainnya adalah karena kepuasan kerja mewakili sikap karyawan secara general, sementara ketidakhadiran hanyalah salah satu bentuk spesifik dari perilaku karyawan. Alasan terakhir adalah karena ketidakhadiran merupakan perilaku yang memiliki rate dasar rendah, karena memprediksikan sebuah variabel dengan rate dasar yang rendah adalah sulit.
            Variabel Pergantian Karyawan. Hubungan lain dari kepuasan kerja yang banyak menarik perhatian peneliti dan manajer adalah pergantian karyawan. Beberapa pergantian di dalam organsasi tidak dapat dielakkan, dan dalam beberapa kasus lainnya mungkin malah diinginkan oleh organisasi. Namun tingkat pergantian karyawan yang terlalu tinggi dapat merugikan organisasi, karena organisasi tersebut harus kembali memulai proses perekruitan, pemilihan, dan sosialisais karyawan baru. Tingkat pergantian karyawan yang tinggi juga memiliki dampak yang besar terhadap gambaran publik terhadap organisasi tersebut.
            Variabel Performa Kerja. Hubungan keempat yang berkorelasi dengan kepuasan kerja adalah performa kerja.  Salah satu cara untuk membuat karyawan lebih produktif adalah dengan membuat mereka lebih puas. Vroom’s Expectancy Theory (1964) menyatakan bahwa karyawan akan menaruh usaha yang lebih  bila mereka percaya bahwa usaha tersebut akan menjadi performa dengan level tinggi, dan performa tersebut dapat menghasilkan hasil yang memuaskan. Sementara bila performa kerja dengan level yang tinggi dapat menghasilkan hasil yang memuaskan, karyawan akan menjadi lebih puas dengan pekerjaan mereka ketika performa kerja mereka baik dan mereka mendapatkan penghargaan atas itu. Ostroff (1992) menyebutkan bahwa meskipun karyawan yang sangat puas dengan pekerjaan mereka mungkin belum tentu dapat memiliki performa kerja yang lebih baik bila dibandingkan dengan karyawan yang lebih tidak puas, namun organisasi yang memiliki karyawan yang lebih puas dengan pekerjaan mereka cenderung memiliki performa kerja yang lebih baik dibandingkan dengan organisasi yang memiliki karyawan yang sangat tidak puas dengan pekerjaannya.

Kepuasan Kerja : Perspektif Antar-Budaya
Pelajaran dari kepuasan pekerjaan sudah mendapat tempat di Amerika dan negara-negara Eropa Barat. Bekerja adalah suatu hal yang universal dan ini menjadi perkembangan positif atau negatif terhadap apa yang dirasakan dalam bekerja. Pada bagian ini, secara singkat dijelaskan perbedaan antar-budaya dalam tingkat kepuasan pekerjaan dan alasan-alasan potensial untuk perbedaan-perbedaan tersebut. Beberapa para ahli menyimpulkan dari penelitiannya bahwa manejer Amerika Latin lebih merasa puas daripada manajer Eropa. Pada perbandingan karyawan Dominika dan Amerika yang bekerja di perusahaan yang sama, ditemukan bahwa rekan kerja Dominika lebih merasa puas dibandingkan rekan kerja Amerika. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa karyawan Jepang cenderung kurang puas daripada karyawan Amerika.
Jika dilihat dari karakteristik perspektif pekerjaan, ada beberapa penjelasan untuk perbedaan kepuasan pekerjaan antar-budaya. Contohnya, ada bukti yang nyata pada perbedaan dalam nilai. Hasil dari penelitian Hofstede (1984) tentang perbedaan dalam nilai, termasuk individualisme, maskulinitas, jarak kekuasaan, dan menghindari ketidakpastian.  Besarnya individualisme menggambarkan kepedulian orang-orang dengan keinginan dan kebutuhan mereka. Maskulinitas menggambarkan tingkat yang fokus pada prestasi dan kinerja sebagai perlawanan kepada kesejahteraan dan kepuasan yang lain. Jarak kekuasaan menggambarkan tingkat dari hak untuk bertindak dan status yang berbeda dari yang lain dengan level yang lebih rendah. Menghindari ketidakpastian menggambarkan besarnya orang yang nyaman bekerja dalam lingkungan yang tidak tentu. Contohnya adalah Amerika dan negara-negara Eropa Barat cenderung untuk menempatkan nilai yang sangat tinggi pada individualisme, sementara Hispanik dan negara-negara oriental cenderung menempatkan nilai yang tertinggi. Pada maskulinitas ditemukan bahwa negara Scandinavia cenderung menempatkan nilai yang tertinggi dibandingkan negara lain. Pada jarak kekuasaan cenderung memiliki nilai yang sangat tinggi di negara Hipatik tetapi berbanding terbalik di Australia dan Israel sedangkan pada menghindari ketidakpastian ditemukan sangat tinggi di negara Yunani dan Portugis sementara rendah di Singapura dan Denmark.
Implikasi utama dari perbedaan antar-negara dalam preferensi nilai bahwa perbedaan antar-budaya dalam kepuasan pekerjaan mengarah pada perbedaan dalam apa yang diinginkan karyawan dalam pekerjaan mereka. Bagian ini menyatakan bahwa kepuasan pekerjaan menghasilkan isi pokok dari perbandingan antara apa yang orang rasakan pada pekerjaan mereka dan apa yang mereka inginkan.

Sumber ; http://teknikkepemimpinan.blogspot.co.id/2013/10/teori-kepuasan-kerja.html

Motivasi kerja


1. Motivasi Kerja
a. Pengertian Motivasi Kerja
Istilah motivasi berasal dari kata Latin “movere” yang berarti
dorongan atau menggerakkan. Motivasi mempersoalkan bagaimana
cara mengarahkan daya dan potensi agar bekerja mencapai tujuan yang
ditentukan (Malayu S.P Hasibuan, 2006: 141). Pada dasarnya seorang
bekerja karena keinginan memenuhi kebutuhan hidupnya. Dorongan
keinginan pada diri seseorang dengan orang yang lain berbeda
sehingga perilaku manusia cenderung beragam di dalam bekerja.
Menurut Vroom dalam Ngalim Purwanto (2006: 72), motivasi
mengacu kepada suatu proses mempengaruhi pilihan-pilihan individu
terhadap bermacam-macam bentuk kegiatan yang dikehendaki.
Kemudian John P. Campbell, dkk mengemukakan bahwa motivasi
mencakup di dalamnya arah atau tujuan tingkah laku, kekuatan
respons, dan kegigihan tingkah laku. Di samping itu, istilah tersebut
mencakup sejumlah konsep dorongan (drive), kebutuhan (need),
rangsangan (incentive), ganjaran (reward), penguatan (reinforcement),
ketetapan tujuan (goal setting), harapan (expectancy), dan sebagainya.
13
Menurut Hamzah B. Uno (2008: 66-67), kerja adalah sebagai
1) aktivitas dasar dan dijadikan bagian esensial dari kehidupan
manusia, 2) kerja itu memberikan status, dan mengikat seseorang
kepada individu lain dan masyarakat, 3) pada umumnya wanita atau
pria menyukai pekerjaan, 4) moral pekerja dan pegawai itu banyak
tidak mempunyai kaitan langsung dengan kondisi fisik maupun
materiil dari pekerjaan, 5) insentif kerja itu banyak bentuknya,
diantaranya adalah uang.
Motivasi kerja merupakan motivasi yang terjadi pada situasi
dan lingkungan kerja yang terdapat pada suatu organisasi atau
lembaga. Keberhasilan dan kegagalan pendidikan memang sering
dikaitkan dengan motivasi kerja guru. Pada dasarnya manusia selalu
menginginkan hal yang baik-baik saja, sehingga daya pendorong atau
penggerak yang memotivasi semangat kerjanya tergantung dari
harapan yang akan diperoleh mendatang jika harapan itu menjadi
kenyataan maka seseorang akan cenderung meningkatkan motivasi
kerjanya.
Menurut Ngalim Purwanto, motivasi mengandung tiga
komponen pokok, yaitu:
1) Menggerakkan, berarti menimbulkan kekuatan pada individu,
memimpin seseorang untuk bertindak dengan cara tertentu.
14
2) Mengarahkan atau menyalurkan tingkah laku. Dengan demikian ia
menyediakan suatu orientasi tujuan. Tingkah laku individu
diarahkan terhadap sesuatu.
3) Untuk menjaga atau menopang tingkah laku, lingkungan sekitar
harus menguatkan (reniforce) intensitas, dorongan-dorongan dan
kekuatan-kekuatan individu (2006: 72).
Berdasarkan beberapa definisi dan komponen pokok diatas
dapat dirumuskan motivasi merupakan daya dorong atau daya gerak
yang membangkitkan dan mengarahkan perilaku pada suatu perbuatan
atau pekerjaan.
b. Jenis-jenis Motivasi
Jenis-jenis motivasi dapat dikelompokkan menjadi dua jenis
menurut Malayu S. P Hasibuan (2006: 150), yaitu:
1) Motivasi positif (insentif positif), manajer memotivasi bawahan
dengan memberikan hadiah kepada mereka yang berprestasi baik.
Dengan motivasi positif ini semangat kerja bawahan akan
meningkat, karena manusia pada umumnya senang menerima yang
baik-baik saja.
2) Motivasi negatif (insentif negatif), manajer memotivasi bawahan
dengan memberikan hukuman kepada mereka yang pekerjannya
kurang baik (prestasi rendah). Dengan memotivasi negatif ini
semangat kerja bawahan dalam waktu pendek akan meningkat,
karena takut dihukum.
15
Pengunaan kedua motivasi tersebut haruslah diterapkan kepada
siapa dan kapan agar dapat berjalan efektif merangsang gairah
bawahan dalam bekerja.
c. Tujuan Motivasi
Tingkah laku bawahan dalam suatu organisasi seperti sekolah
pada dasarnya berorientasi pada tugas. Maksudnya, bahwa tingkah
laku bawahan biasanya didorong oleh keinginan untuk mencapai
tujuan harus selalu diamati, diawasi, dan diarahkan dalam kerangka
pelaksanaan tugas dalam mencapai tujuan organisasi yang telah
ditetapkan.
Secara umum tujuan motivasi adalah untuk menggerakan atau
menggugah seseorang agar timbul keinginan dan kemauannya untuk
melakukan sesuatu sehingga dapat memperoleh hasil atau mencapai
tujuan tertentu (Ngalim Purwanto, 2006: 73).
Sedangkan tujuan motivasi dalam Malayu S. P. Hasibuan
(2006: 146) mengungkapkan bahwa:
1) Meningkatkan moral dan kepuasan kerja karyawan.
2) Meningkatkan produktivitas kerja karyawan.
3) Mempertahankan kestabilan karyawan perusahaan.
4) Meningkatkan kedisiplinan absensi karyawan.
5) Mengefektifkan pengadaan karyawan.
6) Menciptakan suasana dan hubungan kerja yang baik.
7) Meningkatkan loyalitas, kreativitas dan partisipasi karyawan.
16
8) Meningkatkan tingkat kesejahteraan karyawan.
9) Mempertinggi rasa tanggung jawab karyawan terhadap tugastugasnya.

10) Meningkatkan efisiensi penggunaan alat-alat dan bahan baku.
Tindakan memotivasi akan lebih dapat berhasil jika
tujuannya jelas dan disadari oleh yang dimotivasi serta sesuai dengan
kebutuhan orang yang dimotivasi. Oleh karena itu, setiap orang yang
akan memberikan motivasi harus mengenal dan memahami benarbenar
latar belakang kehidupan, kebutuhan, dan kepribadian orang
yang akan dimotivasi.
d. Fungsi Motivasi
Menurut Sardiman (2007: 85), fungsi motivasi ada tiga, yaitu:
1) Mendorong manusia untuk berbuat, motivasi dalam hal ini
merupakan motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan
dikerjakan.
2) Menentukan arah perbuatan, yaitu ke arah tujuan yang hendak
dicapai, sehingga motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan
yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya.
3) Menyeleksi perbuatan, yaitu menentukan perbuatan-perbuatan apa
yang harus dikerjakan yang sesuai guna mencapai tujuan, dengan
menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi
tujuan tersebut.
17
e. Metode Motivasi
Menurut Malayu S. P Hasibuan (2006: 149), ada dua metode
motivasi, yaitu:
1) Motivasi Langsung (Direct Motivation)
Motivasi langsung adalah motivasi (materiil dan
nonmateriil) yang diberikan secara langsung kepada setiap
individu untuk memenuhi kebutuhan serta kepuasannya. Jadi
sifatnya khusus, seperti pujian, penghargaan, tunjangan hari raya,
dan sebagainya.
2) Motivasi Tak Langsung (Indirect Motivation)
Motivasi tak langsung adalah motivasi yang diberikan
hanya merupakan fasilitas-fasilitas yang mendukung serta
menunjang gairah kerja, sehingga lebih bersemangat dalam
bekerja. Misalnya, mesin-mesin yang baik, ruang kerja yang
nyaman, kursi yang empuk, dan sebagainya.
f. Teori-teori Motivasi
Teori-teori motivasi menurut Malayu S. P. Hasibuan
(2006:152-167) dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
1) Teori Kepuasan (Content Theory)
Teori ini merupakan teori yang mendasarkan atas faktorfaktor
kebutuhan dan kepuasan individu yang menyebabkan
bertindak dan berperilaku dengan cara tertentu. Teori ini
memusatkan perhatian pada faktor-faktor dalam diri orang yang
18
menguatkan, mengarahkan, mendukung dan menghentikan
perilakunya. Jika kebutuhan semakin terpenuhi, maka semangat
pekerjaannya semakin baik.
Teori-teori kepuasan ini antara lain:
a) Teori Motivasi Klasik
F.W.Taylor mengemukakan teori motivasi klasik atau
teori motivasi kebutuhan tunggal. Teori ini berpendapat bahwa
manusia mau bekerja giat untuk dapat memenuhi kebutuhan
fisik, berbentuk uang atau barang dari hasil pekerjaannya.
Konsep dasar teori ini adalah orang akan bekerja giat bilamana
ia mendapat imbalan materi yang mempunyai kaitan dengan
tugas-tugasnya.
b) Teori Maslow
Hirarki kebutuhan Maslow mengikuti teori jamak yaitu
seseorang berperilaku atau bekerja, karena adanya dorongan
untuk memenuhi bermacam-macam kebutuhan. Maslow
berpendapat, kebutuhan yang diinginkan manusia berjenjang.
Maslow mengemukakan lima tingkat kebutuhan, sebagai
berikut:
(1) Kebutuhan fisiologis
Kebutuhan yang harus dipuaskan untuk dapat tetap
hidup, termasuk makanan, perumahan, pakaian, udara
untuk bernafas, dan sebagainya.
19
(2) Kebutuhan keselamatan dan keamanan
Kebutuhan akan keselamatan dan keamanan adalah
kebutuhan akan kebebasan dari ancaman yakni merasa
aman dari ancaman kecelakaan dan keselamatan dalam
melaksanakan pekerjaan.
(3) Kebutuhan sosial
Kebutuhan sosial adalah kebutuhan teman,
interaksi, dicintai, dan mencintai, serta diterima dalam
pergaulan kelompok pekerja dan masyarakat
lingkungannya.
(4) Kebutuhan akan penghargaan
Kebutuhan akan penghargaan adalah kebutuhan
akan pengakuan dan penghargaan diri dari karyawan dan
masyarakat lingkungannya.
(5) Aktualisasi diri
Aktualisasi diri adalah kebutuhan akan aktualisasi
diri dengan menggunakan kemampuan, keterampilan, dan
potensi optimal untuk mencapai prestasi kerja yang sangat
memuaskan atau luar biasa.
c) Teori Herzberg
Menurut Hezberg, orang menginginkan dua macam
faktor kebutuhan, yaitu:
20
(1) Kebutuhan akan kesehatan atau kebutuhan akan
pemeliharaan (maintenance factors). Faktor kesehatan
merupakan kebutuhan yang berlangsung terus-menerus,
karena kebutuhan ini akan kembali pada titik nol setelah
dipenuhi. Faktor-faktor pemeliharaan meliputi balas jasa,
kondisi kerja fisik, supervisi, macam-macam tunjangan.
(2) Faktor pemeliharaan yang menyangkut kebutuhan
psikologis seseorang. Kebutuhan ini meliputi serangkaian
kondisi intrinsik, kepuasan pekerjaan yang apabila terdapat
dalam pekerjaan akan menggerakkan tingkat motivasi yang
kuat, yang dapat menghasilkan prestasi yang baik.
d) Teori X dan Teori Y Mc. Gregor
Menurut teori X untuk memotivasi karyawan harus
dilakukan dengan cara pengawasan yang ketat, dipaksa, dan
diarahkan supaya mau bekerja sungguh-sungguh. Jenis
motivasi yang diterapkan cenderung motivasi negatif yakni
dengan menerapkan hukuman yang tegas. Sedangkan menurut
teori Y, untuk memotivasi karyawan dilakukan dengan cara
peningkatan partisipasi, kerjasama, dan keterikatan pada
keputusan.
e) Teori Mc Clelland
Teori ini berpendapat bahwa karyawan mempunyai
cadangan energi potensial. Bagaimana energi dilepaskan dan
21
digunakan tergantung kekuatan, dorongan, motivasi seseorang
dan situasi serta peluang yang tersedia. Energi akan
dimanfaatkan oleh karyawan kerena didorong oleh:
(1) Kebutuhan motif dan kekuatan dasar yang terlibat
(2) Harapan keberhasilannya
(3) Nilai insentif yang terlekat pada tujuan
Hal-hal yang yang memotivasi seseorang adalah:
(1) Kebutuhan akan prestasi
(2) Kebutuhan akan afiliasi
(3) Kebutuhan akan kekuasaan
f) Teori Motivasi Claude S. George
Teori ini mengemukakan bahwa seseorang mempunyai
kebutuhan yang berhubungan dengan tempat dan suasana di
lingkungan ia bekerja, yaitu:
(1) Upah yang adil dan layak
(2) Kesempatan untuk maju
(3) Pengakuan sebagai individu
(4) Keamanan kerja
(5) Tempat kerja yang baik
(6) Penerimaan oleh kelompok
(7) Perlakuan yang wajar
(8) Pengakuan atas prestasi
22
2) Teori Proses
Teori proses mengenai motivasi berusaha menjawab
bagaimana menguatkan, mengarahkan, memelihara dan
menghentikan perilaku individu. Teori yang tergolong ke dalam
teori proses, diantaranya:
a) Teori Harapan (Expectancy)
Teori harapan ini dikemukakan oleh Victor Vroom
yang mendasarkan teorinya pada tiga konsep penting, yaitu:
(1) Harapan (expectancy) adalah suatu kesempatan yang
diberikan terjadi karena perilaku.
(2) Nilai (valence) adalah akibat dari perilaku tertentu yang
mempunyai nilai atau martabat tertentu (daya atau nilai
memotivasi) bagi setiap individu tertentu.
(3) Pertautan (instrumentality) adalah persepsi dari individu
bahwa hasil dari tingkat pertama akan dihubungkan dengan
hasil tingkat kedua.
b) Teori Keadilan
Keadilan merupakan daya penggerak yang memotivasi
semangat kerja seseorang. Penilaian dan pengakuan mengenai
perilaku bawahan harus dilakukan secara objektif.
c) Teori Pengukuhan
Teori ini didasarkan atas hubungan sebab dan akibat
dari perilaku dengan pemberian kompensasi. Misalnya,
23
promosi tergantung dari prestasi yang selalu dapat
dipertahankan.
g. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi
Motivasi merupakan proses psikologi dalam diri seseorang dan
sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Secara umum, faktor ini
dapat muncul dari dalam diri (intrinsik) maupun dari luar diri
(ekstrinsik). Menurut Wahjosumidjo (2001: 42), faktor yang
mempengaruhi motivasi meliputi faktor internal yang bersumber
dari dalam individu dan faktor eksternal yang bersumber dari luar
individu. Faktor internal seperti sikap terhadap pekerjaan, bakat,
minat, kepuasan, pengalaman, dan lain-lain serta faktor dari luar
individu yang bersangkutan seperti pengawasan, gaji, lingkungan
kerja, kepemimpinan.
Sedangkan menurut Sondang P. Siagan (2006: 294) motivasi
dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik yang bersifat internal maupun
eksternal. Yang termasuk faktor internal adalah:
1) Persepsi seseorang mengenai diri sendiri
2) Harga diri
3) Harapan pribadi
4) Kebutuhan
5) Keinginan
6) Kepuasan kerja
7) Prestasi kerja yang dihasilkan
24
Sedangkan fakor eksternal yang mempemgaruhi motivasi
seseorang antara lain:
1) Jenis dan sifat pekerjaan
2) Kelompok kerja dimana seseorang bergabung
3) Organisasi tempat orang bekerja
4) Situasi lingkungan kerja
5) Gaji
Dalam hubungannya dengan faktor yang mempengaruhi
motivasi yang dimaksud lingkungan kerja ialah pemimpin dan
bawahan. Dari pihak pemimipin ada berbagai unsur yang sangat
berpengaruh terhadap motivasi, seperti:
1) Kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan, termasuk didalamnya
prosedur kerja, berbagai rencana dan program kerja.
2) Persyaratan kerja yang perlu dipenuhi oleh bawahan.
3) Tersedianya seperangkat alat-alat dan sarana yang diperlukan di
dalam mendukung pelaksanaan kerja, termasuk di dalamnya
bagaimana tempat para bawahan bekerja.
4) Gaya kepemimpinan atasan dalam arti sifat-sifat dan perilaku
atasan terhadap bawahan.
Bawahan dalam motivasi memiliki gejala karakteristik seperti:
1) Kemampuan bekerja
2) Semangat kerja
3) Rasa kebersamaan dalam kehidupan kelompok
25
4) Prestasi dan produktivitas kerja
Sedangkan menurut Hamzah B.Uno (2008: 112) seorang yang
memiliki motivasi kerja akan tampak melalui:
1) Tanggung jawab dalam melakukan kerja, meliputi:
a) Kerja keras
b) Tanggung jawab
c) Pencapaian tujuan
d) Menyatu dengan tugas
2) Prestasi yang dicapainya, meliputi:
a) Dorongan untuk sukses
b) Umpan balik
c) Unggul
3) Pengembangan diri, meliputi:
a) Peningkatan keterampilan
b) Dorongan untuk maju
4) Kemandirian dalam bertindak, meliputi:
a) Mandiri dalam bekerja
b) Suka pada tantangan
Berdasarkan beberapa teori pokok di atas dapat dirumuskan
motivasi kerja merupakan daya dorong atau daya gerak yang
membangkitkan dan mengarahkan perilaku pada suatu perbuatan atau
pekerjaan pada upaya-upaya nyata untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Secara implisit, motivasi kerja tampak melalui:
26
a. Tanggung jawab dalam melakukan kerja
b. Prestasi yang dicapainya
c. Pengembangan diri, serta
d. Kemandirian dalam bertindak
2. Kepemimpinan
a. Pengertian Kepemimpinan
Kata “memimpin” menurut Wahjosumidjo mempunyai arti
memberikan bimbingan, menuntun, mengarahkan, dan berjalan di
depan (precede). Pemimpin berperilaku untuk membantu organisasi
dengan kemampuan maksimal dalam mencapai tujuan (2010: 104).
Pemimpin tidak berdiri sendiri di samping, melainkan mereka
memberikan dorongan dan memacu (to prod), berdiri di depan yang
memberikan kemudahan untuk kemajuan serta memberikan inspirasi
organisasi dalam mencapai tujuan.
Menurut Koontz dan Donnel yang dimaksud kepemimpinan
secara umum, merupakan pengaruh, seni atau proses mempengaruhi
sekelompok orang, sehingga mereka mau bekerja dengan sungguhsungguh
untuk meraih tujuan kelompok. Sedangkan kepemimpinan
menurut E. Mulyasa dapat diartikan sebagai kegiatan untuk
mempengaruhi orang-orang yang diarahkan untuk pencapaian tujuan
bersama atau organisasi (Sobri dkk, 2009:72).
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
kepemimpinan adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh seseorang
27
untuk mempengaruhi, menggerakkan, dan mengarahkan orang lain
dengan penuh pengertian, kesadaran, dan senang hati bersedia untuk
mengikuti kehendaknya.
b. Gaya Kepemimpinan
Gaya artinya sikap, gerak, tingkah laku, sikap yang elok,
gerak-gerik yang bagus, kekuatan, kesanggupan, untuk berbuat baik.
Sedangkan gaya kepemimpinan menurut Veithzal Rivai (2004: 64)
adalah suatu gaya yang dapat memaksimalkan produktivitas, kepuasan
kerja, pertumbuhan, dan mudah menyesuaikan dengan segala situasi.
 Menurut Veithzal Rivai (2004: 64) gaya kepemimpinan
mempunyai tiga pola dasar yaitu yang mementingkan pelaksanaan
tugas, hubungan kerjasama, dan mementingkan tingkat hasil yang
dapat dicapai.
c. Teori Kepemimpinan Transformasional
 Istilah transformasional berinduk dari kata to transform, yang
bermakna mentransformasikan atau mengubah sesuatu menjadi bentuk
lain yang berbeda. Misalnya mentransformasikan visi menjadi realita,
potensi menjadi aktual, dan sebagainya. (Sudarwan Danim, 2005: 54)
 Kepemimpinan transformasional adalah kemampuan seorang
pemimpin dalam bekerja dengan dan atau melalui orang lain untuk
mentransformasikan secara optimal sumber daya organisasi dalam
rangka mencapai tujuan yang bermakna sesuai dengan target capaian
yang telah ditetapkan. Sumber daya yang dimaksud dapat berupa
28
SDM, fasilitas, dana, dan faktor-faktor eksternal keorganisasian.
Dalam organisasi pembelajaran, SDM yang dimaksud dapat berupa
pimpinan, staf, bawahan, guru (Sudarwan Danim, 2005: 54).
 Menurut (Robert J Starratt, 2007: 140), pemimpin
transformasional membuat orang bertindak atas nama kepentingan
kolektif kelompok atau komunitas. Kepemimpinan transformasional
memiliki alasan dasar bahwa meskipun individu-individu memiliki
berbagai kepentingan dan tujuan yang terpisah-pisah, mereka semua
disatukan oleh pemimpin dalam meraih tujuan-tujuan yang lebih
tinggi.
d. Ciri-ciri Kepemimpinan Transformasional
 Menurut Wuradji (2009) dalam bukunya Educational
Leadership menguraikan ciri-ciri kepemimpinan transformasional,
yaitu sebagai berikut:
1) Memiliki keberanian untuk melakukan perubahan menuju tingkat
produktivitas yang lebih tinggi.
2) Mampu membangkitkan semangat dan motivasi pengikutnya
untuk bekerja keras.
3) Mampu mengembangkan semangat kebersamaan, disiplin, dan
motivasi untuk maju.
4) Mampu membangun kesadaran berorganisasi pada pengikutnya,
dengan jalan mengembangkan rasa memiliki organisasi (sense of
belonging), dan rasa bertanggung jawab (sense of resposibility),
29
serta membangun kemampuan untuk meraih prestasi yang setinggitingginya.

5) Mampu memberikan perlindungan ( mengayomi) dan menciptakan
rasa aman dikalangan pengikutnya.
6) Mampu menampung dan menangkap semua aspirasi dan
kepentingan pengikutnya.
7) Menggunakan kemampuan intelektualnya serta cerdas dalam
proses pengambilan keputusan.
8) Memperjuangkan kebutuhan pengikutnya.
9) Oleh karena kepemimpinan transformasional mengandung
komponen kharismatik, pemimpin mampu memberikan
pengarahan yang selalu diterima dan dipatuhi dengan ikhlas,
sehingga pengikutnya memiliki rasa “wajib“ untuk mentaati semua
perintah dan arahannya.
10) Selalu berusaha membawa pengikutnya ke arah suatu idealisme.
11) Pengikutnya selalu memuja-muja akan kemampuan dan
keunggulan pemimpinnya.
12) Pemimpin menempatkan diri sebagai agen perubahan.
13) Pemimpin transformasional selalu belajar terus sepanjang
hidupnya.
14) Mereka memiliki kemampuan untuk menangani masalah yang
kompleks, sulit diprediksi, tidak memiliki ketentuan, serta masalah
yang membingungkan.
30
15) Mereka sangat menghargai potensi, kebutuhan dan aspirasi
pengikutnya.
16) Memiliki kepercayaan diri yang kuat dalam menanggung resiko
atau keputusan yang diambilnya, dan berani melawan tantangan
yang sekiranya akan menghambat transformasi.
Transformational Leader memiliki sikap, nilai dan
keterampilan yang disebut atribut pemimpin transformasional, yaitu:
1) Memandang dirinya sebagai agent of change.
2) Pengambil resiko yang bijaksana.
3) Percaya pada orang dan peka terhadap kebutuhan mereka.
4) Mampu mengungkapkan nilai-nilai utama yang menuntun tingkah
lakunya.
5) Fleksibel dan terbuka terhadap belajar dari pengalaman.
6) Memiliki keterampilan kognitif serta yakin pada cara berpikir tertib
dan perlunya analisis masalah secara hati-hati.
7) Memiliki angan-angan ( dreams ) dan percaya pada intuisinya.
(Indra Kusumah,-.http://trustco.or.id/transformational.htm)
e. Komponen Kepemimpinan Transformasional
Ada beberapa komponen Transformational Leadership yang
dimiliki seorang pemimpin transformasional sejati, yaitu:
1) Stimulasi Ideal
Mampu menunjukkan perilaku yang bisa:
a) Membuat anggota bersemangat dalam melaksanakan tugasnya.
31
b) Memberi keyakinan pada anggota (informasi, gagasan dan
tindakan).
c) Menjadi contoh atau suri tauladan.
d) Mengilhami berkembangnya kesetiaan kepada organisasi.
e) Membuat anggota merasa tenang jika berada di dekatnya.
f) Membuat anggota merasa bangga kalau bergaul dengannya.
g) Mengilhami kesetiaan anggota untuk bekerjasama.
h) Mendorong anggota untuk mengungkapkan gagasan dan
pendapatnya.
i) Mengungkapkan gagasan atau informasi yang bisa menjadi
sumber inspirasi.
j) Mengatasi setiap hambatan yang dihadapi.
k) Memahami sudut pandang anggota.
2) Stimulas Inspirasional
Mampu menunjukkan perilaku yang bisa:
a) Mengembangkan rasa bangga pada anggota.
b) Menggunakan kata-kata yang membangkitkan moril (semangat
juang) anggota.
c) Memberi contoh tentang apa yang diharapkan dalam kerja dan
kerjasama.
d) Memberi dorongan pribadi kepada anggota untuk
mengembangkan keyakinannya.
32
e) Membuat anggota merasa bangga pada tim dengan memberikan
apresiasi terhadap kontribusi atau keberhasilannya.
f) Membangkitkan semangat dan rasa percaya diri pada anggota
dengan cara:
(1) Mengapresiasi jika berhasil menyelesaikan tugas yang sulit.
(2) Memandang atau menghargai bahwa tugas atau misinya
sangat penting.
(3) Memberi dorongan atau spirit pada saat tim kurang
memperlihatkan semangat kerja.
g) Menjadi contoh tentang keberanian mengambil resiko dan
pengabdian dengan cara:
(1) Menunjukkan kesediaan untuk berkorban.
(2)Tetap tinggal bersama dalam situasi yang mengundang
resiko keselamatan.
(3)Bersedia tetap bersama orang lain dalam situasi yang sulit.
3) Stimulasi Intelektual
Mampu menunjukkan perilaku yang bisa:
a) Merangsang anggota untuk memikirkan kembali gagasan atau
tindakannya yang selama ini tidak pernah diragukannya.
b) Mendorong anggota untuk berpikir tentang masalah yang
dihadapi dengan menggunakan perspektif baru.
c) Mengilhami anggota dengan cara-cara baru untuk melihat
masalah yang dianggap membingungkan.
33
d) Membuat anggota meningkat kesediaannya untuk mengerjakan
lebih baik daripada apa yang diharapkan atau diinginkannya.
e) Merangsang anggota meningkatkan motivasinya untuk
berhasil.
4) Perhatian Individual
a) Memberi perhatian pribadi kepada anggota yang terabaikan.
b) Mengetahui apa yang diinginkan anggota dan membantu untuk
mendapatkannya.
c) Menyatakan apresiasinya pada saat anggota menyelesaikan
tugasnya dengan baik.
d) Merasa puas apabila anggota memenuhi standar kinerja yang
telah disepakati dengan baik.
e) Memberikan pujian jika anggota melakukan pekerjaan yang
baik.
f) Memperlakukan setiap anggota secara individual.
g) Membuat anggota merasa bisa mencapai tujuannya tanpa
didampingi dirinya.
(Indra Kusumah,-.http://trustco.or.id/transformational.htm)
Dari berbagai paparan dan teori tentang kepemimpinan
transformasional dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan
transformasional adalah sikap kepemimpinan yang memiliki stimulus
ideal, stimulus inspirasional, stimulus intelektual, dan perhatian individu
dalam mencapai tujuan pendidikan dan dapat dipersepsikan oleh guru.
34
3. Gaji Guru
a. Pengertian Gaji Guru
Menurut UU No. 14 Tahun 2005 Pasal 1, gaji adalah hak yang
diterima oleh guru atau dosen atas pekerjaannya dari penyelenggara
pendidikan atau satuan pendidikan dalam bentuk finansial secara
berkala sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ini berarti
bahwa seorang guru (dalam hal ini guru PNS) akan diberi gaji berupa
uang yang dibayarkan secara berkala. Berkala yang dimaksud di sini
adalah setiap bulan. Besarnya gaji yang diterima tersebut sesuai
pangkat atau golongan dan masa kerja.
“Gaji dalam Kamus Kepegawaian adalah imbalan yang
diterima oleh seorang pegawai sebagai balas jasa dari pemerintah
karena pegawai tersebut talah memberikan waktu, tenaga, dan
pikirannya untuk mencapai tujuan”.
Di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25
Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Belas Peraturan Pemerintah
Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil,
pada Bab II pasal 4 dinyatakan bahwa PNS (termasuk guru PNS)
diberi gaji pokok berdasarkan golongan dan ruang yang ditetapkan
untuk pangkat tersebut. Sedangkan pada pasal 5 dikatakan pula bahwa
seorang yang diangkat menjadi calon Pegawai Negeri Sipil diberi gaji
pokok 80% dari gaji pokok seperti yang dinyatakan pada pasal 4.
Jadi gaji merupakan hak bagi pegawai setelah pegawai
melaksanakan kewajibannya. Gaji guru merupakan imbalan yang
diterima oleh seorang guru sebagai balas jasa dari pemerintah karena
35
guru telah memberikan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk mencapai
tujuan yang diterima.
b. Kriteria Gaji Guru
Rekomendasi UNESCO/ ILO pasal 114-124 mensyaratkan
kriteria gaji guru sebagai berikut:
1) Harus sebanding dengan gaji profesi lainnya yang relatif sama.
2) Sesuai penghargaan sosial masyarakat dan pemerintah terhadap
guru.
3) Kompetitif positif dengan profesi yang memiliki syarat yang sama.
4) Cukup untuk hidup layak dan meneruskan pendidikan dan apresiasi
budaya serta pola hidup sesuai dengan jabatan.
5) Cermin penghargaan masyarakat terhadap pendidikan.
6) Cukup menarik untuk menunjang sumber daya manusia yang baik.
(Muhammad Surya, 2004: 12)
Menurut UU No. 14 Tahun 2005 Pasal 15 menyebutkan bahwa
a) penghasilan ke dalam kebutuhan hidup minimum sebagaimana
dimaksud dalam pasal 14 ayat 1 Huruf a) meliputi gaji pokok,
tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa
tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan
tambahan terkait dengan tugasnya sebagi guru yang dengan prinsip
penghargaan atau dasar prestasi. b) Guru yang diangkat oleh satuan
pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintahan
daerah diberi gaji sesuai dengan peraturan perundang-undangan. c)
36
Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh
masyarakat diberi gaji berdasarkan perjanjian kerja atas kesepakatan
kerja bersama.
Di Indonesia di samping pemberian gaji yang sama untuk
pangkat yang sama, juga memperhatikan sifat pekerjaan dan tanggung
jawab yang dipikul. Selain itu memperhatikan pencapaian prestasi
kerja dari pegawai yang bersangkutan. Jadi untuk pegawai yang
mampu menunjukkan prestasi kerja yang tinggi akan mendapatkan gaji
yang lebih baik.
c. Kesenjangan Guru
Masih adanya sikap yang kurang tanggap pihak-pihak terkait
terhadap nasib guru tentu akan mempengaruhi motivasi dan kualitas
guru. Hal tersebut ditambah lagi dengan adanya kesenjangan guru. Ada
beberapa kesenjangan yang dirasakan sebagai diskriminatif oleh para
guru seperti yang dinyatakan oleh Surya antara lain:
1) Kesenjangan guru menurut jenjang pendidikan, misalnya antara
guru SD denagn guru SLTP dan Sekolah Menengah.
2) Kesenjangan antara guru pegawai negeri yang digaji oleh negara
dengan guru swasta yang digaji oleh pihak swasta. Kesenjangan
tidak terjadi dalam masalah jumlah, akan tetapi dalam perlakuan.
3) Kesenjangan antara guru pegawai negeri tetap dengan guru tidak
tetap atau honorer yang tidak seimbang dengan tuntutan kerja.
37
4) Kesenjangan antara guru yang bertugas di kota-kota dengan guruguru
yang berada di pedesaan atau pada daerah terpencil terutama
dalam hal pendapatan, kesempatan melanjutkan pendidikan,
kesempatan mengikuti pengembangan.
5) Kesenjangan guru karena beban tugas, yaitu ada guru yang beban
tugasnya banyak (misalnya di sekolah yang kekurangan guru),
tetapi imbalannya sama saja atau lebih sedikit (Surya: 2002: 333-
334).
d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Gaji Guru
Dari studi di berbagai negara khususnya di negara berkembang
(Ferell, 1993) pada umumnya gaji guru ditentukan oleh faktor-faktor:
1) Ekonomi yang mencangkup tingkat produktivitas nasional dan
perubahan taraf kebutuhan hidup.
2) Kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah
3) Kriteria individual yang mencakup tanggung jawab, pengalaman
dan kinerja.
4) Skala gaji yang dikembangkan sebagai satu fungsi dari aspekaspek
tersebut di atas. (Surya: 2004, 12-13)
Menurut paparan teori di atas dapat disimpulkan bahwa gaji
merupakan imbalan yang diterima oleh seorang guru sebagai balas jasa
dari pemerintah karena guru telah memberikan waktu, tenaga, dan
pikirannya untuk mencapai tujuan yang diterima, yang berupa gaji pokok,
tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan
38
profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan tambahan terkait
dengan tugasnya sebagi guru yang dengan prinsip penghargaan atau dasar
prestasi.


Sumber : http://eprints.uny.ac.id/9035/3/BAB%202%20-08404241017.pdf

Selasa, 08 Maret 2016

SIMULASI SMARTPLS 3 (Partial Least Square)

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan metode Partial Least Square (PLS). PLS merupakan metode alternatif analisis dengan Structural Equation Modelling (SEM) yang berbasis variance. Keunggulan metode ini adalah tidak memerlukan asumsi dan dapat diestimasi dengan jumlah sampel yang relatif kecil. Alat bantu yang digunakan berupa program SmartPLS Versi 2 yang dirancang khusus untuk mengestimasi persamaan struktural dengan basis variance. Program SmartPLS Versi 2 dapat diperoleh secara gratis di www.smartpls.deModel struktural dalam penelitian ini ditampilkan pada Gambar 1 di bawah.
Gambar 1
MODEL STRUKTURAL
Gambar tersebut menunjukkan bahwa konstruk Kepemimpinan (KM) diukur dengan 5 buah indikator yaitu KM1, KM2, KM3, KM4 dan KM5. Demikian juga konstruk Budaya Organisasi (BO) diukur dengan 3 indikator yaitu BO1, BO2 dan BO3, konstruk Motivasi (MT) diukur dengan 3 indikator yaitu MT1, MT2 dan MT3 dan kontruk Kinerja Pegawai (KP) diukur dengan 6 indikator yaitu KP1, KP2, KP3,KP4, KP5 dan KP6. Arah panah antara indikator dengan kontruk laten adalah menuju indikator yang menunjukkan bahwa penelitian menggunakan indikator reflektif yang relatif sesuai untuk mengukur persepsi. Hubungan yang akan diteliti (hipotesis) dilambangkan dengan anak panah antara konstruk

A.    Evaluasi Measurement (Outer) Model
1.      Uji Validitas
Suatu indikator dinyatakan valid jika mempunyai loading factor  di atas 0,5 terhadap konstruk yang dituju. Output SmartPLS untuk loading factor memberikan hasil sebagai berikut:
Tabel 1
RESULT FOR OUTER LOADING
 
BO
KM
KP
MT
BO1
0.89335
 
 

BO2
0.82232
 
 

BO3
0.84462
 
 

KM1
 
0.78001
 

KM2
 
0.84287
 

KM3
 
0.76889
 

KM4
 
0.80161
 

KM5
 
0.82647
 

KP1
 
 
0.70015

KP2
 
 
0.74459

KP3
 
 
0.74555

KP4
 
 
0.74742

KP5
 
 
0.78854

KP6
 
 
0.74880

MT1
 
 
 
0.78258
MT2
 
 
 
0.86810
MT3
 
 
 
0.80563

Pengujian validitas untuk indikator reflektif menggunakan korelasi antara skor item dengan skor konstruknya. Pengukuran dengan indikator reflektif menunjukkan adanya perubahan pada suatu indikator dalam suatu konstruk jika indikator lain pada konstruk yang sama berubah (atau dikeluarkan dari model). Indikator reflektif cocok digunakan untuk mengukur persepsi sehingga penelitian ini menggunakan indikator reflektif. Tabel di atas menunjukkan bahwa loading factor memberikan nilai di atas nilai yang disarankan yaitu sebesar 0,5. Nilai paling kecil adalah sebesar 0,70015 untuk indikator KP1. Berarti indikator yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah valid atau telah memenuhi convergent validity. Berikut adalah diagram loading factor masing-masing indikator dalam model penelitian:
Gambar 2
NILAI LOADING FACTOR

Lebih lanjut, indikator reflektif juga perlu diuji discriminant validity dengan cross loading sebagai berikut:
 

Tabel 2
RESULT FOR CROSS LOADING
 
BO
KM
KP
MT
BO1
0.89335
0.63664
0.62885
0.49597
BO2
0.82232
0.65175
0.65580
0.53919
BO3
0.84462
0.61946
0.57426
0.60406
KM1
0.62461
0.78001
0.65380
0.54003
KM2
0.68888
0.84287
0.58820
0.51648
KM3
0.44786
0.76889
0.47245
0.50685
KM4
0.62650
0.80161
0.58733
0.61814
KM5
0.58046
0.82647
0.56924
0.52591
KP1
0.47064
0.45977
0.70015
0.56813
KP2
0.64951
0.75447
0.74459
0.66285
KP3
0.39754
0.40267
0.74555
0.41818
KP4
0.38730
0.35028
0.74742
0.35960
KP5
0.62638
0.51969
0.78854
0.48857
KP6
0.59890
0.57461
0.74880
0.60346
MT1
0.53108
0.52631
0.63638
0.78258
MT2
0.51768
0.63783
0.59191
0.86810
MT3
0.52699
0.48718
0.53629
0.80563

Suatu indikator dinyatakan valid jika mempunyai loading factor tertinggi kepada konstruk yang dituju dibandingkan loading factor kepada konstruk lain. Tabel di atas menunjukkan bahwa loading factor untuk indikator BO (BO1 sampai dengan BO3) mempunyai loading factor kepada konstruk BO lebih tinggi dari pada dengan konstruk yang lain. Sebagai ilustrasi loading factor BO1 kepada BO adalah sebesar 0,89335 yang lebih tinggi dari pada loading factor kepada KM (0,63664), KP (0,62885) dan MT (0,49597). Hal serupa juga tampak pada indikator-indikator yang lain.
Dengan demikian, kontrak laten memprediksi indikator pada blok mereka lebih baik dibandingkan dengan indikator di blok yang lain. Metode lain untuk melihat discriminant validity adalah dengan melihat nilaisquare root of average variance extracted (AVE). Nilai yang disarankan adalah di atas 0,5. Berikut adalah nilai AVE dalam penelitian ini:
Tabel 3
AVERAGE VARIANCE EXTRACTED (AVE)

Average variance extracted (AVE)
BO
0.729221
KM
0.647136
KP
0.556932
MT
0.671688

Tabel di atas memberikan nilai AVE di atas 0,5 untuk semua konstruk yang terdapat pada model penelitian. Nilai terendah AVE adalah sebesar 0,556932 pada konstruk KP (Kinerja Pegawai).

2.      Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas dilakukan dengan melihat nilai composite reliability dari blok indikator yang mengukur konstruk. Hasil composite reliability akan menunjukkan nilai yang memuaskan jika di atas 0,7. Berikut adalah nilai composite reliability pada output:
Tabel 4
COMPOSITE RELIABILITY

Composite Reliability
BO
0.889739
KM
0.901564
KP
0.882809
MT
0.859663

Tabel di atas menunjukkan bahwa nilai composite reliability untuk semua konstruk adalah di atas 0,7 yang menunjukkan bahwa semua konstruk pada model yang diestimasi memenuhi kriteria discriminant validity. Nilai composite reliability yang terendah adalah sebesar 0,859663 pada konstruk MT (Motivasi).
Uji reliabilitas juga bisa diperkuat dengan Cronbach’s Alpha di mana output SmartPLS Versi 2 memberikan hasil sebagai berikut:
Tabel 4
CRONBACH’S ALPHA

Cronbachs Alpha
BO
0.813561
KM
0.863653
KP
0.843144
MT
0.754684

Nilai yang disarankan adalah di atas 0,6 dan pada tabel di atas menunjukkan bahwa nilai Cronbach’s Alpha untuk semua kontruk berada di atas 0,6. Nilai terendah adalah sebesar 0,754684 (MT).
Pengukuran Communality dan Redundancy dengan program SmartPLS Versi 2 memberikan hasil sebagai berikut:
Tabel 4.5
COMMUNALITY DAN REDUNDANCY

Communality
Redundancy
BO
0.729221
0.403785
KM
0.647136

KP
0.556931
0.193178
MT
0.671688
0.201730

Tampak bahwa nilai communality pada semua kontruk di atas 0,5 yang memperkuat hasil pengujian dengan Composite Reliability dan Cronbach’s Alpha. Lebih lanjut, nilai Redundancy BO adalah sebesar 0,403786 yang termasuk tinggi. Juga R untuk KP dan MT di atas 0,15 di mana nilai tersebut adalah masuk pada kategori tinggi.

B.     Pengujian Model Struktural (Inner Model)
Setelah model yang diestimasi memenuhi kriteria Outer Model, berikutnya dilakukan pengujian model structural (Inner model). Berikut adalah nilai R-Square pada konstruk:
Tabel 6
R-SQUARE

R-square
BO
0.556247
KM

KP
0.660472
MT
0.498196

Tabel di atas memberikan nilai 0,556247 untuk konstruk BO yang berarti bahwa KM mampu menjelaskan varians BO sebesar 55,6247%. Nilai R juga terdapat pada KP yang dipengaruhi oleh KM, MT dan BO yaitu sebesar 0,660472 dan MT yang dipengaruhi oleh KM dan BO yaitu sebesar 0,498196. Pengujian hipotesis adalah sebagai berikut:
Tabel 7
UJI HIPOTESIS

Original Sample (O)
Sample Mean (M)
Standard Deviation (STDEV)
Standard Error (STERR)
T Statistics (|O/STERR|)
BO -> KP
0.32109
0.30654
0.11268
0.11268
2.84958
BO -> MT
0.30948
0.31831
0.09762
0.09762
3.17041
KM -> BO
0.74582
0.74832
0.04127
0.04127
18.07381
KM -> KP
0.24342
0.25176
0.09068
0.09068
2.68447
KM -> MT
0.44423
0.43422
0.11648
0.11648
3.81383
MT -> KP
0.34999
0.35972
0.08581
0.08581
4.07855

Tabel di atas menunjukkan bahwa hubungan antara KM dengan KP adalah signifikan dengan T-statistik sebesar 2,68447 (> 1,96). Nilai original sample estimate  adalah positif yaitu sebesar 0,24342 yang menunjukkan bahwa arah hubungan antara MT dengan KP adalah positif. Dengan demikian hipotesis H1 dalam penelitian ini yang menyatakan bahwa ‘Kepemimpinan berpengaruh terhadap kinerja pegawai’ diterima
Tabel di atas menunjukkan bahwa hubungan antara BO dengan KP adalah signifikan dengan T-statistik sebesar 2,8496 (> 1,96). Nilai original sample estimate  adalah positif yaitu sebesar 0,32109 yang menunjukkan bahwa arah hubungan antara BO dengan KP adalah positif. Dengan demikian hipotesis H2 dalam penelitian ini yang menyatakan bahwa ‘Budaya Organisasi berpengaruh terhadap kinerja pegawai’diterima.
Tabel di atas menunjukkan bahwa hubungan antara MT dengan KP adalah signifikan dengan T-statistik sebesar 4,07855 (> 1,96). Nilai original sample estimate  adalah positif yaitu sebesar 0,34999 yang menunjukkan bahwa arah hubungan antara MT dengan KP adalah positif. Dengan demikian hipotesis H3 dalam penelitian ini yang menyatakan bahwa ‘Motivasi berpengaruh terhadap kinerja pegawai’ diterima.
Tabel di atas menunjukkan bahwa hubungan antara KM dengan MT adalah signifikan dengan T-statistik sebesar 3,81383 (> 1,96). Nilai original sample estimate  adalah positif yaitu sebesar 0,44423 yang menunjukkan bahwa arah hubungan antara KM dengan MT adalah positif. Dengan demikian hipotesis H4 dalam penelitian ini yang menyatakan bahwa ’Kepemimpinan berpengaruh terhadap motivasi pegawai’diterima.
Tabel di atas menunjukkan bahwa hubungan antara BO dengan MT adalah signifikan dengan T-statistik sebesar 3,17041 (> 1,96). Nilai original sample estimate  adalah positif yaitu sebesar 0,30948 yang menunjukkan bahwa arah hubungan antara BO dengan MT adalah positif. Dengan demikian hipotesis H5 dalam penelitian ini yang menyatakan bahwa ’Budaya organisasi berpengaruh terhadap motivasi pegawai’diterima.
Tabel di atas menunjukkan bahwa hubungan antara KM dengan BO adalah signifikan dengan T-statistik sebesar 18,07381 (> 1,96). Nilai original sample estimate adalah positif yaitu sebesar 0,74582 yang menunjukkan bahwa arah hubungan antara KM dengan BO adalah positif. Dengan demikian hipotesis H6 dalam penelitian ini yang menyatakan bahwa ’Kepemimpinan berpengaruh terhadap budaya organisasi pegawai’ diterima.
Berdasarkan nilai original sample estimate maka diperoleh bahwa nilai tertinggi yang mempengaruhi motivasi (MT) adalah pada kepemimpinan (KM) yaitu sebesar 0,44423. Hal tersebut menunjukkan bahwa kepemimpinan mempunyai pengaruh terhadap motivasi lebih tinggi dari pada pengaruh antara budaya organisasi terhadap motivasi (0,30948). Lebih lanjut, dari tiga variabel yang mempengaruhi kinerja pegawai (KP) secara langsung, yaitu kepemimpinan, budaya organisasi dan motivasi, yang paling besar pengaruhnya adalah motivasi karena mempunyai nilai original sample estimate tertinggi yaitu sebesar 0,34999 dibandingkan dua variabel yang lain. Dengan demikian motivasi merupakan variabel yang paling dominan dalam mempengaruhi kinerja pegawai. Sedangkan variabel yang paling tidak dominan adalah kepemimpinan yaitu dengan original sample estimate terkecil yaitu sebesar 0,24342.
Berikut adalah diagram nilai T statistic berdasarkan output dengan SmartPLS Versi 2:
Gambar 3
OUTPUT BOOTSTRAPPING
 

DOWNLOAD SIMULASI SMARTPLS DI ATAS

Sumber : http://www.konsultanstatistik.com/2010/10/simulasi-smartpls_852.html