Menimbang : a. bahwa
pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah dalam pelayanan, pengaturan, dan
perlindungan masyarakat, pengelolaan kekayaan Negara, serta pemanfaatan sumber
daya alam dalam rangka pencapaian tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam
Undang-Undang Dasar 1945, dapat mewujudkan suatu bentuk penerimaan Negara yang
disebut sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak;
b. bahwa
penyelenggaraan dan pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang tertuang
dalam peraturan dan ketentuan pelaksanaan yang berlaku selama ini belum
sepenuhnya mencerminkan kepastian hukum dan ketertiban administrasi keuangan
Negara;
c. bahwa dalam
rangka meningkatkan efisiensi perekonomian dan keuangan Negara serta untuk memberikan kepastian peranan
dan wewenang Pemerintah dalam melaksanakan penyelenggaraan dan pengelolaan
Penerimaan Negara Bukan Pajak, maka dipandang perlu melakukan penyempurnaan
pengaturan Penerimaan Negara Bukan Pajak;
d. bahwa
berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, huruf b, dan huruf c perlu
dibentuk Undang-undang tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak;
Mengingat : 1.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Indische
Comptabiliteitswet (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448) sebagaimana telah diubah
dan ditambah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968 (Lembaran Negara
Tahun 1968 Nomor 53).
Dengan
persetujuan
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN
:
Menetapkan
: UNDANG-UNDANG TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN
PAJAK.
BAB
I
KETENTUAN
UMUM
Pasal
1
Dalam
Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Penerimaan
Negara Bukan Pajak adalah seluruh penerimaan Pemerintah pusat yang tidak
berasal dari penerimaan perpajakan;
2. Sumber daya
alam adalah segala kekayaan alam yang terdapat di atas, di permukaan dan di
dalam bumi yang dikuasai oleh Negara;
3. Badan adalah
suatu bentuk badan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan
komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau Daerah dengan nama
dan dalam bentuk apa pun, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, koperasi, yayasan
atau organisasi yang sejenis, lembaga, dana pensiun, bentuk usaha tetap berupa
cabang, perwakilan, atau agen dari perusahaan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia, serta bentuk badan usaha lainnya;
4. Instansi
Pemerintah adalah Departemen dan Lembaga Non-Departemen;
5. Wajib Bayar
adalah orang pribadi atau badan yang ditentukan untuk melakukan kewajiban
membayar menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
6. Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang Terutang adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
harus dibayar pada suatu saat, atau dalam suatu periode tertentu menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
7. Menteri
adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia .
BAB
II
JENIS
DAN TARIF
Pasal
2
(1)
Kelompok
Penerimaan Negara Bukan Pajak meliputi:
a.
penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah;
b.
penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam;
c.
penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan;
d.
penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah;
e. penerimaan
berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda
administrasi;
f.
penerimaan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah;
g.
penerimaan lainnya yang diatur dalam Undang-undang tersendiri.
(2)
Kecuali
jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang ditetapkan dengan Undang-undang, jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang tercakup dalam kelompok sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(3)
Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang belum tercakup dalam kelompok Penerimaan
Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal
3
(1)
Tarif
atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak ditetapkan dengan memperhatikan dampak
pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya, biaya penyelenggaraan
kegiatan Pemerintah sehubungan dengan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
bersangkutan, dan aspek keadilan dalam pengenaan beban kepada masyarakat.
(2)
Tarif
atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dalam Undang-undang atau Peraturan Pemerintah yang menetapkan jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan.
BAB
III
PENGELOLAAN
Pasal
4
Seluruh
Penerimaan Negara Bukan Pajak wajib disetor langsung secepatnya ke Kas Negara.
Pasal 5
Seluruh
Penerimaan Negara Bukan Pajak dikelola dalam sistem Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara.
Pasal
6
(1)
Menteri
dapat menunjuk Instansi Pemerintah untuk menagih dan atau memungut Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang Terutang.
(2)
Instansi
Pemerintah yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib menyetor
langsung Penerimaan Negara Bukan Pajak yang diterima ke Kas Negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4.
(3)
Tidak
dipenuhinya kewajiban Instansi Pemerintah untuk menagih dan atau memungut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyetor sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Pasal
7
(1)
Instansi
Pemerintah yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), wajib
menyampaikan rencana dan laporan realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak secara
tertulis dan berkala kepada Menteri.
(2)
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian rencana dan atau laporan realisasi
Penerimaan Negara Bukan Pajak diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
8
(1)
Dengan
tetap memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5,
sebagian dana dari suatu jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak dapat digunakan
untuk kegiatan tertentu yang berkaitan dengan jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak tersebut oleh instansi yang bersangkutan.
(2)
Kegiatan
tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kegiatan:
a.
penelitian dan pengembangan teknologi;
b.
pelayanan kesehatan;
c.
pendidikan dan pelatihan;
d.
penegakan hukum;
e.
pelayanan yang melibatkan kemampuan intelektual tertentu;
f.
pelestarian sumber daya alam.
(3)
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
9
(1)
Jumlah
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang ditentukan dengan cara:
a.
ditetapkan oleh Instansi Pemerintah; atau
b.
dihitung sendiri oleh Wajib Bayar.
(2)
Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
Terutangnya ditentukan dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
10
(1)
Penetapan
jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang oleh Instansi Pemerintah
terhadap Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) menjadi kedaluwarsa setelah 10 (sepuluh) tahun
terhitung sejak saat terutangnya Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
bersangkutan.
(2)
Ketentuan
kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertunda apabila Wajib Bayar
melakukan tindak pidana di bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Pasal
11
(1)
Wajib
Bayar membayar jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang dalam jangka
waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku.
(2)
Instansi
Pemerintah atas permohonan Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) setelah memenuhi persyaratan
yang ditentukan dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Bayar yang
bersangkutan untuk mengangsur atau menunda pembayaran Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang Terutang, dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan.
Pasal
12
Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara penentuan jumlah, pembayaran termasuk angsuran dan
penundaan pembayaran, dan penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
Terutang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 13
(1)
Instansi
Pemerintah yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), dan Wajib
Bayar untuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (2), wajib mengadakan pencatatan yang dapat menyajikan keterangan
yang cukup untuk dijadikan dasar penghitungan Penerimaan Negara Bukan Pajak.
(2)
Pencatatan
wajib diselenggarakan di Indonesia
dalam satuan mata uang rupiah dan disusun dalam bahasa Indonesia atau mata uang
asing dan bahasa asing yang diizinkan Menteri.
(3)
Buku,
catatan dan dokumen lainnya yang menjadi dasar perhitungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun.
BAB
IV
PEMERIKSAAN
Pasal
14
(1)
Terhadap
Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (2) atas permintaan Instansi Pemerintah dapat dilakukan
pemeriksaan oleh instansi yang berwenang.
(2)
Terhadap
Instansi Pemerintah yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
atas permintaan Menteri dapat dilakukan pemeriksaan khusus oleh instansi yang
berwenang.
(3)
Permintaan
Instansi Pemerintah untuk pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada:
a. hasil
pemantauan Instansi Pemerintah terhadap Wajib Bayar yang bersangkutan;
b.
laporan dari pihak ketiga; atau
c.
permintaan Wajib Bayar atas kelebihan pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak
yang Terutang.
(4)
Dalam
rangka pemeriksaan, Instansi Pemerintah yang ditunjuk sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) dan Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) sebagai pihak yang diperiksa
wajib:
a.
memperlihatkan dan atau meminjamkan, catatan, dokumen yang menjadi dasar pencatatan
serta dokumen lain yang berhubungan dengan kewajiban pembayaran Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang Terutang;
b. memberikan
kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dipandang perlu dan membantu
kelancaran pemeriksaan; dan atau
c.
memberikan keterangan yang diperlukan.
(5)
Dalam
hal pejabat dari Instansi Pemerintah yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
(6)
Dalam
hal Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (2) tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutangnya ditetapkan secara jabatan
dan ditambah sanksi administrasi berupa denda sebesar 2 (dua) kali jumlah
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang.
Pasal
15
(1) Dalam hal
diperlukan keterangan atau bukti dari pihak lain dalam rangka pemeriksaan,
pihak lain yang bersangkutan wajib memberikan keterangan atau seluruh bukti
yang diminta atas dasar permintaan pemeriksa.
(2) Dalam hal
pihak lain tersebut adalah bank, pemberian keterangan atau bukti yang
diperlukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat izin terlebih
dahulu dari Menteri.
Pasal
16
(1)
Hasil
pemeriksaan terhadap Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (2) disampaikan kepada Menteri, dan Menteri memberitahukan hasil
pemeriksaan tersebut kepada Instansi Pemerintah yang bersangkutan guna penyelesaian
lebih lanjut.
(2)
Hasil
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) terhadap Wajib Bayar
untuk Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2)
disampaikan kepada Instansi Pemerintah untuk penetapan jumlah Penerimaan Negara
Bukan Pajak yang Terutang Wajib Bayar yang bersangkutan.
Pasal
17
(1)
Dalam
hal berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) terdapat
kekurangan pembayaran jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang, Wajib
Bayar yang bersangkutan wajib melunasi kekurangannya dan ditambah dengan sanksi
berupa denda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24
(dua puluh empat) bulan dari jumlah kekurangan tersebut.
(2)
Dalam
hal berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) terdapat
kelebihan pembayaran jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang, jumlah
kelebihan tersebut diperhitungkan sebagai pembayaran dimuka atas jumlah
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang Wajib Bayar yang bersangkutan pada
periode berikutnya.
(3)
Dalam
hal terjadi pengakhiran kegiatan usaha Wajib Bayar, maka jumlah kelebihan
pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan kepada Wajib Bayar
selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak dikeluarkan ketetapan kelebihan
pembayaran.
(4)
Dalam
hal pengembalian kelebihan pembayaran dilakukan melampaui batas waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kelebihan pembayaran tersebut dikembalikan
kepada Wajib Bayar dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen)
sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
Pasal
18
Ketentuan lebih
lanjut mengenai pemeriksaan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB
V
KEBERATAN
Pasal
19
(1)
Wajib
Bayar untuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (2) dapat mengajukan keberatan secara tertulis atas penetapan
jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang dalam bahasa Indonesia
kepada Instansi Pemerintah yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal penetapan.
(2)
Pengajuan
keberatan tidak menunda kewajiban membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
Terutang dan pelaksanaan penagihan.
(3)
Instansi
Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan penelitian atas
keberatan yang diajukan setelah surat
keberatan diterima secara lengkap.
(4)
Selambat-lambatnya
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan setelah surat keberatan diterima secara lengkap,
Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengeluarkan penetapan
atas keberatan.
(5)
Penetapan
atas keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan penetapan yang
bersifat final.
(6)
Apabila
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah lewat, dan Instansi
Pemerintah yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memberi suatu
penetapan, keberatan yang diajukan Wajib Bayar tersebut dianggap dikabulkan.
(7)
Dalam
hal keberatan ditolak dan ternyata masih terdapat kekurangan pembayaran
terhadap jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutangyang tercantum dalam
penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Wajib Bayar wajib melakukan
pembayaran atas kekurangan pembayaran ditambah sanksi berupa denda bunga
sebesar 2% (dua persen) sebulan dari kekurangan tersebut untuk paling lama 24
(dua puluh empat) bulan.
(8)
Dalam
hal keberatan dikabulkan dan ternyata terdapat kelebihan pembayaran jumlah
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang yang tercantum dalam penetapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kelebihan pembayaran tersebut
diperhitungkan sebagai pembayaran di muka atas jumlah Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang Terutang Wajib Bayar yang bersangkutan pada periode berikutnya.
(9)
Dalam
hal terjadi pengakhiran kegiatan usaha Wajib Bayar, maka jumlah kelebihan
pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dikembalikan kepada Wajib Bayar
selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak dikeluarkan ketetapan kelebihan
pembayaran.
(10) Dalam hal
pengembalian kelebihan pembayaran dilakukan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (9), kelebihan pembayaran tersebut dikembalikan kepada Wajib Bayar
dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama
24 (dua puluh empat) bulan.
(11) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengajuan dan
penyelesaian keberatan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB
VI
KETENTUAN
PIDANA
Pasal
20
Wajib Bayar
untuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9
ayat (2), yang karena kealpaannya:
a. tidak
menyampaikan laporan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang; atau
b. menyampaikan
laporan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang tetapi isinya tidak benar
atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar, atau tidak melampirkan
keterangan yang benar, sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara,
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak sebesar 2 (dua) kali jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang.
Pasal
21
(1)
Wajib
Bayar untuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (2) yang terbukti dengan sengaja:
a. tidak
membayar, tidak menyetor dan atau tidak melaporkan jumlah Penerimaan Negara
Bukan Pajak yang Terutang;
b. tidak
memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan atau dokumen lainnya pada
waktu pemeriksaan, atau memperlihatkan buku, catatan atau dokumen lain yang
palsu atau dipalsukan seolah-olah benar;
c. tidak
menyampaikan laporan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang; atau
d. menyampaikan
laporan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang yang tidak benar atau tidak
lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar, atau tidak melampirkan
keterangan yang benar, sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling
banyak 4 (empat) kali jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang.
(2)
Ancaman
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilipatkan 2 (dua) apabila Wajib
Bayar melakukan lagi tindak pidana di bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak sebelum
lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalankan sebagian atau
seluruh pidana penjara yang dijatuhkan.
Pasal
22
Pihak lain yang
menurut Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) wajib memberi keterangan atau bukti yang
diminta, tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti atau memberi
keterangan atau bukti yang tidak benar, diancam dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan denda setinggi tingginya Rp5.000.000,00 (lima juta
rupiah).
BAB
VII
KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal
23
(1)
Jenis
dan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak yang telah diatur dalam undang-undang
sebelum berlakunya Undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku.
(2)
Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang diatur dengan peraturan perundang undangan di bawah
undang-undang masih tetap berlaku sebelum dilakukan penyesuaian berdasarkan
Undang-undang ini.
(3)
Penyesuaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan selambat lambatnya 5 (lima ) tahun sejak
Undang-undang ini berlaku.
BAB
VIII
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal
24
Undang-undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia .
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 23
Mei 1997
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
S O E H A R T O
Diundangkan di
Jakarta
pada tanggal 23
Mei 1997
MENTERI NEGARA
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
MOERDIONO
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1997 NOMOR 43
NOMOR
3687
PERATURAN
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
13 TAHUN 2010
TENTANG
JENIS
DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK
YANG
BERLAKU PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA ,
Menimbang : a. bahwa dengan adanya penyesuaian jenis
dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Badan
Pertanahan Nasional sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
46 Tahun 2002 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku
pada Badan Pertanahan Nasional, perlu mengatur kembali jenis dan tarif atas
jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan
Nasional;
b. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 3 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, perlu
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional;
Mengingat : 1.
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3687);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997
tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3694) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 52 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun
1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3760);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG JENIS
DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA BADAN
PERTANAHAN NASIONAL.
Pasal
1
Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional adalah
penerimaan yang berasal dari:
a. Pelayanan
Survei, Pengukuran, dan Pemetaan;
b. Pelayanan
Pemeriksaan Tanah;
c. Pelayanan
Konsolidasi Tanah Secara Swadaya;
d. Pelayanan
Pertimbangan Teknis Pertanahan;
e. Pelayanan
Pendaftaran Tanah;
f. Pelayanan
Informasi Pertanahan;
g. Pelayanan
Lisensi;
h. Pelayanan
Pendidikan;
i. Pelayanan
Penetapan Tanah Objek Penguasaan Benda-benda Tetap Milik Perseorangan Warga
Negara Belanda (P3MB)/ Peraturan Presidium Kabinet Dwikora Nomor 5/Prk/1965;
dan
j. Pelayanan di
Bidang Pertanahan yang Berasal dari Kerja Sama dengan Pihak Lain.
Pasal
2
Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang berasal dari Pelayanan Survei, Pengukuran, dan Pemetaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a, meliputi:
a.
Pelayanan Survei, Pengukuran Batas Kawasan atau Batas Wilayah, dan Pemetaan;
b. Pelayanan
Pengukuran dan Pemetaan Bidang Tanah dalam rangka Penetapan Batas, yang
meliputi:
1. Pelayanan Pengukuran dan Pemetaan
Batas Bidang Tanah;
2. Pelayanan Pengukuran dan Pemetaan
Batas Bidang Tanah
Secara Massal;
3. Pelayanan Pengembalian Batas; dan
4.
Pelayanan
Legalisasi Gambar Ukur Surveyor Berlisensi.
c. Pelayanan
Pengukuran dan Pemetaan Batas Ruang Atas Tanah, Ruang Bawah Tanah, atau Ruang Perairan.
Pasal
3
Tarif Pelayanan
Survei, Pengukuran Batas Kawasan atau Batas Wilayah, dan Pemetaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf a adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran
Peraturan Pemerintah ini.
Pasal
4
(1) Tarif
Pelayanan Pengukuran dan Pemetaan Batas Bidang Tanah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 huruf b angka 1, dihitung berdasarkan rumus:
a. Luas
tanah sampai dengan 10 hektar
L
Tu = ( ------ x
HSBKu
) +
Rp100.000,00
500
b. Luas tanah
lebih dari 10 hektar sampai dengan 1.000 hektar
L
Tu = ( -------- x
HSBKu
) +
Rp14.000.000,00
4.000
c. Luas tanah
lebih dari 1.000 hektar
L
Tu = ( --------- x
HSBKu
) +
Rp134.000.000,00
10.000
(2) Tarif
Pelayanan Pengukuran dan Pemetaan Batas Bidang Tanah Secara Massal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf b angka 2 adalah sebesar 75% (tujuh puluh lima
persen) dari tarif pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Tarif
Pelayanan Pengembalian Batas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b angka 3
adalah sebesar 150% (seratus lima
puluh persen) dari tariff pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Tarif
Pelayanan Legalisasi Gambar Ukur Surveyor Berlisensisebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 huruf b angka 4 adalah sebesar 30% (tiga puluh persen) dari tarif
pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal
5
Tarif Pelayanan
Pengukuran dan Pemetaan Batas Ruang Atas Tanah, Ruang Bawah Tanah, atau Ruang
Perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c adalah sebesar 300% (tiga
ratus persen) dari tarif Pelayanan Pengukuran dan Pemetaan Batas Bidang Tanah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
Pasal
6
Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang berasal dari Pelayanan Pemeriksaan Tanah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 huruf b, meliputi:
a. Pelayanan
Pemeriksaan Tanah oleh Panitia A;
b. Pelayanan
Pemeriksaan Tanah oleh Panitia B;
c. Pelayanan
Pemeriksaan Tanah oleh Tim Peneliti Tanah; dan
d. Pelayanan
Pemeriksaan Tanah oleh Petugas Konstatasi.
Pasal
7
(1) Tarif
Pelayanan Pemeriksaan Tanah oleh Panitia A sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf a, dihitung berdasarkan rumus:
L
Tpa = (------ x HSBKpa) + Rp350.000,00
500
(2) Tarif
Pelayanan Pemeriksaan Tanah oleh Panitia A untuk pemeriksaan tanah secara
massal, dihitung berdasarkan rumus:
L
Tpam = 1/5 x (------ x HSBKpa) + Rp350.000,00
500
Pasal 8
Tarif Pelayanan
Pemeriksaan Tanah oleh Panitia B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b,
dihitung berdasarkan rumus:
L
Tpb = (-------------
x HSBKpb
) +
Rp 5.000.000,00
100.000
Pasal 9
(1) Tarif
Pelayanan Pemeriksaan Tanah oleh Tim Peneliti Tanah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 huruf c, dihitung berdasarkan rumus:
L
Tpp = (------ x HSBKpp) + Rp350.000,00
500
(2) Tarif
Pelayanan Pemeriksaan Tanah oleh Tim Peneliti Tanahuntuk pemeriksaan tanah secara massal, dihitung
berdasarkan rumus:
L
Tpm = 1/5 x (------ x HSBKpm) + Rp350.000,00
500
Pasal
10
Tarif Pelayanan
Pemeriksaan Tanah oleh Petugas Konstatasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf d, adalah sebesar 50% (lima puluh persen) dari Tarif Pelayanan
Pemeriksaan Tanah oleh Panitia A sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).
Pasal
11
Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang berasal dari Pelayanan Konsolidasi Tanah Secara Swadaya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf c, meliputi:
a. Pelayanan
Konsolidasi Tanah Secara Swadaya Pertanian;
b. Pelayanan
Konsolidasi Tanah Secara Swadaya Nonpertanian.
Pasal
12
(1) Tarif
Pelayanan Konsolidasi Tanah Secara Swadaya Pertanian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 huruf a, dihitung berdasarkan rumus:
L
+ 500
Tkts = -------------
+ (3Tu
x
¾) + Tph
0,020
(2) Tarif
Pelayanan Konsolidasi Tanah Secara Swadaya Nonpertanian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 huruf b, dihitung berdasarkan rumus:
L
+ 500
Tkts = ------------ +
(3Tu
x ¾
) + Tph
0,004
Pasal
13
Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang berasal dari Pelayanan Pertimbangan Teknis Pertanahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf d, meliputi:
a. Pelayanan
Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam rangka Izin Lokasi;
b. Pelayanan
Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam rangka Penetapan Lokasi; dan
c. Pelayanan
Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam rangka Izin Perubahan Penggunaan Tanah.
Pasal
14
(1) Tarif
Pelayanan Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam rangka Izin Lokasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, dihitung berdasarkan rumus:
L
Tptil = (------------
x HSBKpb) +
Rp5.000.000,00
100.000
(2) Tarif
Pelayanan Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam rangka Penetapan Lokasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b adalah sebesar 50% (lima puluh
persen) dari Tarif Pelayanan Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam rangka Izin
Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Tarif
Pelayanan Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam rangka Izin Perubahan Penggunaan
Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf c dihitung berdasarkan rumus:
L
Tptip = (------ x HSBKpa) + Rp350.000,00
500
Pasal
15
Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang berasal dari Pelayanan Pendaftaran Tanah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 huruf e meliputi:
a. Pelayanan
Pendaftaran Tanah Untuk Pertama Kali; dan
b. Pelayanan
Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah.
Pasal
16
(1) Tarif
Pelayanan Pendaftaran Tanah untuk Pertama Kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15 huruf a berupa Pelayanan Pendaftaran:
a. Keputusan
Perpanjangan Hak Atas Tanah untuk Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, atau Hak
Pakai Berjangka Waktu; dan
b. Keputusan
Pembaruan Hak Atas Tanah untuk Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, atau Hak
Pakai Berjangka Waktu , dihitung berdasarkan rumus T = (2‰ x Nilai Tanah) +
Rp100.000,00
(2) Tarif
Pelayanan Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15 huruf b berupa Pelayanan Pendaftaran Pemindahan Peralihan Hak Atas Tanah
untuk Perorangan dan Badan Hukum, dihitung berdasarkan rumus T = (1‰ x Nilai
Tanah) + Rp 50.000,00
Pasal
17
(1) Jenis dan
tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1 huruf e sampai denganhuruf h adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran
Peraturan Pemerintah ini.
(2) Jenis dan
tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak termasuk jenis Pelayanan Pendaftaran Tanah yang diatur dalam Pasal
16.
Pasal
18
Tarif Pelayanan
Penetapan Tanah Objek Penguasaan Benda-benda Tetap Milik Perseorangan Warga
Negara Belanda (P3MB)/Peraturan Presidium Kabinet Dwikora Nomor 5/Prk/1965
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf i adalahsebesar 25% (dua puluh lima
persen) dari nilai tanah.
Pasal
19
Tarif Pelayanan
di Bidang Pertanahan yang berasal dari Kerjasama dengan Pihak Lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 huruf j adalah sebesar nilai nominal yang tercantum
dalam dokumen kerjasama.
Pasal
20
(1) Tarif atas
jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a
sampai dengan huruf d, huruf h, dan huruf i tidak termasuk biaya transportasi,
akomodasi, dan konsumsi.
(2) Biaya
transportasi, akomodasi, dan konsumsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibebankan kepada Wajib Bayar.
Pasal
21
(1) Terhadap
pihak tertentu dapat dikenakan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif
atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak berupa Pelayanan Pemeriksaan Tanah
oleh Panitia A sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan Pelayanan
Pemeriksaan Tanah oleh Petugas Konstatasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
(2) Pihak
tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. masyarakat tidak mampu;
b. badan hukum yang bergerak di bidang
keagamaan dan sosial yang penggunaan tanahnya untuk peribadatan, panti asuhan,
dan panti jompo;
c. veteran, pegawai negeri
sipil, prajurit Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia ;
d. suami/istri veteran,
suami/istri pegawai negeri sipil, suami/istri prajurit Tentara Nasional
Indonesia, suami/istri anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia ;
e. pensiunan pegawai negeri
sipil, purnawirawan Tentara Nasional Indonesia, purnawirawan Kepolisian Negara
Republik Indonesia ;
f. janda/duda veteran,
janda/duda pegawai negeri sipil, janda/duda prajurit Tentara Nasional
Indonesia, janda/duda anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia ;
g. janda/duda pensiunan
pegawai negeri sipil, janda/duda purnawirawan Tentara Nasional Indonesia,
janda/duda purnawirawan Kepolisian Negara Republik Indonesia ;
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pengenaan tarif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan.
Pasal 22 (1) Tarif Pelayanan Pendaftaran Tanah berupa Pelayanan Pendaftaran
Tanah Wakaf ditetapkan sebesar Rp0,00 (nol rupiah). (2) Tarif Pelayanan
Pendaftaran Tanah dari Pelayanan Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah berupa
Pelayanan Pendaftaran Penggantian Nazhir ditetapkan sebesar Rp0,00 (nol
rupiah).
Pasal
23
(1) Terhadap
pihak tertentu dapat dikenakan tarif sebesar Rp0,00 (nol rupiah) dari Pelayanan
Pendaftaran Tanah berupa Pelayanan Pendaftaran Tanah untuk Pertama Kali
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a.
(2) Pihak
tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. masyarakat
tidak mampu;
b.
instansi Pemerintah;
c. badan hukum yang bergerak di bidang
keagamaan dan sosial yang penggunaan tanahnya untuk peribadatan, panti asuhan,
dan panti jompo.
(3) Terhadap
pihak tertentu dapat dikenakan tarif sebesar 10% (sepuluh persen) dari tarif
Pelayanan Pendaftaran Tanah berupa Pelayanan Pendaftaran Tanah untuk Pertama
Kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a.
(4) Pihak
tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas:
a. veteran;
b. suami/istri veteran, suami/istri
Pegawai Negeri Sipil, suami/istri prajurit Tentara Nasional Indonesia,
suami/istri anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;
c. pensiunan Pegawai Negeri Sipil,
purnawirawan Tentara Nasional Indonesia, purnawirawan Kepolisian Negara
Republik Indonesia ;
d. janda/duda veteran, janda/duda
Pegawai Negeri Sipil, janda/duda prajurit Tentara Nasional Indonesia,
janda/duda anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;
e. janda/duda pensiunan Pegawai Negeri
Sipil, janda/duda purnawirawan Tentara Nasional Indonesia, janda/duda
purnawirawan Kepolisian Negara Republik Indonesia .
(5) Terhadap
pihak tertentu dapat dikenakan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif
Pelayanan Pendaftaran Tanah berupa Pelayanan Pendaftaran Tanah untuk Pertama
Kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a.
(6) Pihak
tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) terdiri atas:
a.
Pegawai Negeri Sipil;
b.
Prajurit Tentara Nasional Indonesia; dan
c.
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia .
(7) Ketentuan
lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pengenaan tarif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan.
Pasal
24
(1) Terhadap
instansi Pemerintah dapat dikenakan tarif sebesar Rp0,00 (nol rupiah) untuk
tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak dari:
a. Pelayanan Pendaftaran Tanah berupa
Pelayanan Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah;
b.
Pelayanan Informasi Pertanahan; dan
c. Pelayanan Penetapan Tanah Objek
Penguasaan Benda-benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda
(P3MB)/Peraturan Presidium Kabinet Dwikora Nomor 5/Prk/1965.
(2) Ketentuan
lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pengenaan tarif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan.
Pasal
25
Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional mempunyai tarif
dalam satuan rupiah dan persentase.
Pasal
26
Seluruh
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional wajib
disetor langsung secepatnya ke Kas Negara.
Pasal
27
Pada saat
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
a. permohonan
Pemberian Hak Atas Tanah, Perpanjangan Hak Atas Tanah, atau Pembaruan Hak Atas
Tanah, yang belum ditetapkan keputusannya, dikenakan tarif sesuai dengan
Peraturan Pemerintah ini;
b. permohonan
Pemberian Hak Atas Tanah, Perpanjangan Hak Atas Tanah, atau Pembaruan Hak Atas
Tanah yang telah diterbitkan keputusannya sebelum berlakunya Peraturan
Pemerintah ini, dikenakan kewajiban membayar uang pemasukan sesuai dengan yang
telah ditetapkan dalam keputusan tersebut.
Pasal
28
Pada saat
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun
2002 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada
Badan Pertanahan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor
88, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4220) dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 29
Peraturan
Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia .
Ditetapkan di
Jakarta
pada tanggal 22
Januari 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di
Jakarta
pada tanggal 22
Januari 2010
MENTERI HUKUM
DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK
INDONESIA ,
ttd
PATRIALIS
AKBAR
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2010 NOMOR 18
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
30 TAHUN 2002
TENTANG
KOMISI
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA ,
Menimbang :
a. bahwa dalam
rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemberantasan
tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan
secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu
ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi
telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat
pembangunan nasional;
b. bahwa lembaga
pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara
efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi;
c. bahwa sesuai
dengan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, perlu dibentuk Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
d. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf
c perlu membentuk Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat
(1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3209);
3. Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851);
4. Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3874) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150)
Dengan
Persetujuan Bersama
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN
:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG
TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA
KORUPSI.
BAB
I
KETENTUAN
UMUM
Pasal
1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
1. Tindak Pidana
Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Penyelenggara
Negara adalah penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
1. Pemberantasan
tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan
memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor,
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan,
dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal
2
Dengan
Undang-Undang ini dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang untuk
selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal
3
Komisi
Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Pasal
4
Komisi
Pemberantasan Korupsi dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil
guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pasal
5
Dalam menjalankan
tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi berasaskan pada :
a. kepastian
hukum;
b. keterbukaan;
c.
akuntabilitas;
d. kepentingan
umum; dan
e.
proporsionalitas.
BAB
II
TUGAS,
WEWENANG, DAN KEWAJIBAN
Pasal
6
Komisi
Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
a. koordinasi
dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
b. supervisi
terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c. melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
d. melakukan
tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
e. melakukan
monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Pasal
7
Dalam
melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a,
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :
a.
mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana
korupsi;
b. menetapkan
sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c. meminta
informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi
yang terkait;
d. melaksanakan
dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
e. meminta
laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
Pasal
8
(1) Dalam
melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan
terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan
pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan
publik.
(2) Dalam
melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Pemberantasan
Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap
pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau
kejaksaan.
(3) Dalam hal
Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan atau penuntutan,
kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas
perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama
14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan
Komisi Pemberantasan Korupsi.
(4) Penyerahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan membuat dan menandatangani
berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan
pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi
Pemberantasan
Korupsi.
Pasal
9
Pengambilalihan
penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan:
a. laporan
masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;
b. proses
penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda
tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
c. penanganan
tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi
yang sesungguhnya;
d. penanganan
tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;
e. hambatan
penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif,
yudikatif, atau legislatif; atau
f. keadaan lain
yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana
korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal
10
Dalam hal
terdapat alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Komisi Pemberantasan
Korupsi memberitahukan kepada penyidik atau penuntut umum untuk mengambil alih
tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
Pasal
11
Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
tindak pidana korupsi yang :
a. melibatkan
aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya
dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau
penyelenggara negara;
b. mendapat
perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
c. menyangkut
kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal
12
(1) Dalam
melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :
a. melakukan
penyadapan dan merekam pembicaraan;
b. memerintahkan
kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri;
c. meminta
keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan
tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;
d. memerintahkan
kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga
hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait;
e. memerintahkan
kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka
dari jabatannya;
f. meminta data
kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang
terkait;
g. menghentikan
sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian
lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang
dilakukan atau
dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang
cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa;
h. meminta
bantuan Interpol Indonesia
atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan,
dan penyitaan barang bukti di luar negeri;
i. meminta
bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan,
penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
Pasal
13
Dalam
melaksanakan tugas pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d,
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melaksanakan langkah atau upaya
pencegahan sebagai berikut :
a. melakukan
pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara
negara;
b. menerima
laporan dan menetapkan status gratifikasi;
c.
menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan;
d. merancang dan
mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana
korupsi;
e. melakukan
kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum;
f. melakukan
kerja sama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi.
Pasal
14
Dalam
melaksanakan tugas monitor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang:
a. melakukan
pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan
pemerintah;
b. memberi saran
kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan
hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi;
c. melaporkan
kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,
dan Badan Pemeriksa Keuangan, jika saran Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai usulan
perubahan tersebut tidak diindahkan.
Pasal
15
Komisi
Pemberantasan Korupsi berkewajiban :
a. memberikan
perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun
memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi;
1. memberikan
informasi kepada masyarakat yang memerlukan atau memberikan bantuan untuk
memperoleh data lain yang berkaitan dengan hasil penuntutan tindak pidana
korupsi yang ditanganinya;
2. menyusun
laporan tahunan dan menyampaikannya kepada Presiden Republik Indonesia ,
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia , dan Badan Pemeriksa
Keuangan;
d. menegakkan
sumpah jabatan;
e. menjalankan
tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya berdasarkan asas-asas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5.
BAB
III
TATA
CARA PELAPORAN DAN
PENENTUAN
STATUS GRATIFIKASI
Pasal
16
Setiap pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkan
kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan tata cara sebagai berikut:
a. Laporan
disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir sebagaimana ditetapkan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi dengan melampirkan dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi.
b. Formulir
sebagaimana dimaksud pada huruf a sekurangkurangnya memuat :
1. nama dan
alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi;
2. jabatan
pegawai negeri atau penyelenggara negara;
3. tempat dan
waktu penerimaan gratifikasi;
4. uraian jenis
gratifikasi yang diterima; dan
5. nilai
gratifikasi yang diterima.
Pasal
17
(1) Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal laporan diterima wajib menetapkan status kepemilikan
gratifikasi disertai pertimbangan.
(2) Dalam
menetapkan status kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Komisi Pemberantasan Korupsi dapat memanggil penerima gratifikasi untuk
memberikan keterangan berkaitan dengan penerimaan gratifikasi.
(3) Status
kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.
(4) Keputusan
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
berupa penetapan status kepemilikan gratifikasi bagi penerima gratifikasi atau menjadi
milik negara.
(5) Komisi
Pemberantasan Korupsi wajib menyerahkan keputusan status kepemilikan
gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) kepada
penerima gratifikasi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal
ditetapkan.
(6) Penyerahan
gratifikasi yang menjadi milik negara kepada Menteri Keuangan, dilakukan paling
lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditetapkan.
Pasal
18
Komisi
Pemberantasan Korupsi wajib mengumumkan gratifikasi yang ditetapkan menjadi
milik negara paling sedikit 1 (satu) kali dalam setahun dalam Berita Negara.
BAB
IV
TEMPAT
KEDUDUKAN, TANGGUNG JAWAB,
DAN
SUSUNAN ORGANISASI
Pasal
19
(1) Komisi
Pemberantasan Korupsi berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah
negara Republik Indonesia .
(2) Komisi
Pemberantasan Korupsi dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi.
Pasal
20
(1) Komisi
Pemberantasan Korupsi bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya
dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden Republik
Indonesia , Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia ,
dan Badan Pemeriksa Keuangan.
(2)
Pertanggungjawaban publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
dengan cara :
a. wajib audit
terhadap kinerja dan pertanggungjawaban keuangan sesuai dengan program
kerjanya;
b. menerbitkan
laporan tahunan; dan
c. membuka akses
informasi.
Pasal
21
1. Komisi
Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 terdiri atas :
a. Pimpinan
Komisi Pemberantasan Korupsi yang terdiri dari 5 (lima ) Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi;
b. Tim Penasihat
yang terdiri dari 4 (empat) Anggota; dan
c. Pegawai
Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai pelaksana tugas.
(2) Pimpinan
Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun
sebagai berikut :
a. Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi merangkap Anggota; dan
b. Wakil Ketua
Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas 4 (empat) orang, masing masing
merangkap Anggota.
(3) Pimpinan
Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah
pejabat negara.
(4) Pimpinan
Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah
penyidik dan penuntut umum.
(5) Pimpinan
Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bekerja secara
kolektif.
(6) Pimpinan
Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah
penanggung jawab tertinggi Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal
22
(1) Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang mengangkat Tim Penasihat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b yang diajukan oleh panitia seleksi pemilihan.
2. Panitia
seleksi pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi.
(3) Panitia
seleksi pemilihan mengumumkan penerimaan calon dan melakukan kegiatan mengumpulkan
calon anggota berdasarkan keinginan dan masukan dari masyarakat.
(4) Calon
anggota Tim Penasihat sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) diumumkan
terlebih dahulu kepada masyarakat untuk mendapat tanggapan sebelum ditunjuk dan
diangkat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan calon yang diusulkan
oleh panitia seleksi pemilihan.
(5) Setelah
mendapat tanggapan dari masyarakat, panitia seleksi pemilihan mengajukan 8
(delapan) calon anggota Tim Penasihat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk
dipilih 4 (empat) orang anggota.
(6) Kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5)
dilakukan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal panitia seleksi
pemilihan dibentuk.
Pasal 23
Tim Penasihat
berfungsi memberikan nasihat dan pertimbangan sesuai dengan kepakarannya kepada
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan
Korupsi.
Pasal
24
1. Anggota Tim
Penasihat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 adalah warga negara Indonesia yang
karena kepakarannya diangkat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Pegawai
Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf
c adalah warga Negara Indonesia yang karena keahliannya diangkat sebagai
pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
(3) Ketentuan
mengenai syarat dan tata cara pengangkatan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi
diatur lebih lanjut dengan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal
25
(1) Komisi
Pemberantasan Korupsi:
1. menetapkan
kebijakan dan tata kerja organisasi mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang
Komisi Pemberantasan Korupsi;
2. mengangkat
dan memberhentikan Kepala Bidang, Kepala Sekretariat, Kepala Subbidang, dan
pegawai yang bertugas pada Komisi Pemberantasan Korupsi;
3. menentukan
kriteria penanganan tindak pidana korupsi. (2) Ketentuan mengenai prosedur tata
kerja Komisi Pemberantasan Korupsi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Komisi Pemberantasan
Korupsi.
Pasal
26
(1) Susunan
Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
dan 4 (empat) orang Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi.
2. Komisi
Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membawahkan 4 (empat)
bidang yang terdiri atas:
a. Bidang
Pencegahan;
b. Bidang
Penindakan;
c. Bidang
Informasi dan Data; dan
d. Bidang
Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat.
(3) Bidang
Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a membawahkan :
a. Subbidang
Pendaftaran dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara;
b. Subbidang
Gratifikasi;
c. Subbidang
Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat; dan
d. Subbidang
Penelitian dan Pengembangan.
(4) Bidang
Penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b membawahkan :
a. Subbidang
Penyelidikan;
b. Subbidang
Penyidikan; dan
c. Subbidang
Penuntutan.
(5) Bidang
Informasi dan Data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c membawahkan:
a. Subbidang
Pengolahan Informasi dan Data;
1. Subbidang
Pembinaan Jaringan Kerja Antarkomisi dan Instansi;
2. Subbidang
Monitor.
(6) Bidang
Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf d membawahkan:
a. Subbidang
Pengawasan Internal;
1. Subbidang
Pengaduan Masyarakat.
(7) Subbidang
Penyelidikan, Subbidang Penyidikan, dan Subbidang Penuntutan, masing-masing
membawahkan beberapa Satuan Tugas sesuai dengan kebutuhan subbidangnya.
1. Ketentuan
mengenai tugas Bidang-bidang dan masing-masing Subbidang sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) diatur
lebih lanjut dengan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal
27
(1) Dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi dibantu oleh
Sekretariat Jenderal yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal.
(2) Sekretaris
Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden Republik Indonesia .
(3) Dalam
menjalankan tugasnya Sekretaris Jenderal bertanggungjawab kepada Pimpinan
Komisi Pemberantasan Korupsi.
(4) Ketentuan
mengenai tugas dan fungsi Sekretariat Jenderal ditetapkan lebih lanjut dengan
Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal
28
Komisi
Pemberantasan Korupsi dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka
pengembangan dan pembinaan organisasi Komisi Pemberantasan Korupsi.
BAB
V
PIMPINAN
KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
Pasal
29
Untuk dapat
diangkat sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1. warga negara
Republik Indonesia ;
2. bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa;
3. sehat jasmani
dan rohani;
4. berijazah
sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman sekurang-kurangnya
15 (lima belas)
tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan;
5. berumur
sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan setinggi-tingginya 65 (enam puluh
lima ) tahun
pada proses pemilihan;
6. tidak pernah
melakukan perbuatan tercela;
7. cakap, jujur,
memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik;
8. tidak menjadi
pengurus salah satu partai politik;
9. melepaskan
jabatan struktural dan atau jabatan lainnya selama menjadi anggota Komisi
Pemberantasan Korupsi;
10. tidak
menjalankan profesinya selama menjadi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi; dan
11. mengumumkan
kekayaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
30
(1) Pimpinan
Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf
a dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan calon anggota
yang diusulkan oleh Presiden Republik Indonesia.
(2) Untuk
melancarkan pemilihan dan penentuan calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi,
Pemerintah membentuk panitia seleksi yang bertugas melaksanakan ketentuan yang
diatur dalam Undang-Undang ini.
(3) Keanggotaan
panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur
pemerintah dan unsur masyarakat.
(4) Setelah
terbentuk, panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengumumkan
penerimaan calon.
(5) Pendaftaran
calon dilakukan dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja secara terus menerus.
(6) Panitia
seleksi mengumumkan kepada masyarakat untuk mendapatkan tanggapan terhadap nama
calon sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(7) Tanggapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan kepada panitia seleksi paling lambat
1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diumumkan.
1. Panitia
seleksi menentukan nama calon Pimpinan yang akan disampaikan kepada Presiden
Republik Indonesia .
2. Paling lambat
14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya daftar nama
calon dari panitia seleksi, Presiden Republik Indonesia
menyampaikan nama calon sebagaimana dimaksud pada ayat (8) sebanyak 2 (dua)
kali jumlah jabatan yang dibutuhkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia .
(10) Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
wajib memilih dan menetapkan 5 (lima ) calon yang
dibutuhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (9), dalam waktu paling lambat 3
(tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya usul dari Presiden Republik Indonesia .
(11) Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
wajib memilih dan menetapkan di antara calon sebagaimana dimaksud pada ayat (10),
seorang Ketua sedangkan 4 (empat) calon anggota lainnya dengan sendirinya
menjadi Wakil Ketua.
(12) Calon
terpilih disampaikan oleh pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
kepada Presiden Republik Indonesia paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung
sejak tanggal berakhirnya pemilihan untuk disahkan oleh Presiden Republik Indonesia
selaku Kepala Negara.
(13) Presiden
Republik Indonesia wajib menetapkan
calon terpilih paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
diterimanya surat pimpinan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia .
Pasal
31
Proses
pencalonan dan pemilihan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 dilakukan secara transparan.
Pasal
32
(1) Pimpinan
Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti atau diberhentikan karena:
1. meninggal
dunia;
2. berakhir masa
jabatannya;
3. menjadi
terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan;
4. berhalangan
tetap atau secara terus-menerus selama lebih dari 3 (tiga) bulan tidak dapat
melaksanakan tugasnya;
5. mengundurkan
diri; atau
6. dikenai
sanksi berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Dalam hal
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak pidana kejahatan,
diberhentikan sementara dari jabatannya.
(3)
Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) ditetapkan
oleh Presiden Republik Indonesia .
Pasal
33
1. Dalam hal
terjadi kekosongan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Presiden Republik Indonesia mengajukan calon anggota pengganti
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia .
2. Prosedur
pengajuan calon pengganti dan pemilihan calon anggota yang bersangkutan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal
30, dan Pasal 31.
Pasal
34
Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih
kembali hanya untuk sekali masa jabatan.
Pasal
35
1. Sebelum
memangku jabatan, Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi wajib
mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya di hadapan Presiden Republik Indonesia .
(2) Sumpah/janji
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut :
“Saya
bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas
ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun
juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga”.
“Saya
bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung
dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”.
“Saya
bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta
mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi
negara Republik Indonesia ”.
“Saya
bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas dan wewenang
saya ini dengan sungguhsungguh, seksama, obyektif, jujur, berani, adil, tidak
membedabedakan jabatan, suku, agama, ras, jender, dan golongan tertentu dan
akan melaksanakan kewajiban saya dengan sebaikbaiknya, serta bertanggung jawab
sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa, dan negara”.
“Saya
bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menolak atau tidak menerima atau
tidak mau dipengaruhi oleh campur tangan siapapun juga dan saya akan tetap teguh
melaksanakan tugas dan wewenang saya yang diamanatkan Undang-undang kepada
saya”.
Pasal 36
Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi dilarang:
1. mengadakan
hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada
hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi
Pemberantasan Korupsi dengan alasan apa pun;
2. menangani
perkara tindak pidana korupsi yang pelakunya mempunyai hubungan keluarga
sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat
ketiga dengan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi yang bersangkutan;
3. menjabat
komisaris atau direksi suatu perseroan, organ yayasan, pengawas atau pengurus
koperasi, dan jabatan profesi lainnya atau kegiatan lainnya yang berhubungan
dengan jabatan tersebut.
Pasal
37
Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 berlaku juga untuk Tim Penasihat dan pegawai
yang bertugas pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
BAB
VI
PENYELIDIKAN,
PENYIDIKAN, DAN PENUNTUTAN
Bagian
Kesatu
Umum
Pasal
38
1. Segala
kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan
Korupsi.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana
ditentukan dalam Undang-Undang ini.
Pasal
39
1. Penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum
acara pidana yang berlaku dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain
dalam Undang-Undang ini.
2. Penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
berdasarkan perintah dan bertindak untuk dan atas nama Komisi Pemberantasan
Korupsi.
(3) Penyelidik,
penyidik, dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi,
diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan selama menjadi
pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal
40
Komisi
Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan
penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi.
Pasal
41
Komisi
Pemberantasan Korupsi dapat melaksanakan kerja sama dalam penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dengan lembaga penegak hukum
negara lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau
berdasarkan
perjanjian internasional yang telah diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia .
Pasal
42
Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan
bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.
Bagian Kedua Penyelidikan
Pasal
43
(1) Penyelidik
adalah Penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan
diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Penyelidik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan fungsi penyelidikan tindak
pidana korupsi.
Pasal
44
1. Jika
penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti permulaan yang cukup
adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari
kerja terhitung sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut, penyelidik
melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Bukti
permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan
sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada
informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik
secara biasa maupun elektronik atau optik.
3. Dalam hal
penyelidik melakukan tugasnya tidak menemukan bukti permulaan yang cukup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelidik melaporkan kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi dan Komisi Pemberantasan Korupsi menghentikan
penyelidikan.
(4) Dalam hal
Komisi Pemberantasan Korupsi berpendapat bahwa perkara tersebut diteruskan,
Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan penyidikan sendiri atau dapat
melimpahkan perkara tersebut kepada penyidik kepolisian atau kejaksaan.
(5) Dalam hal
penyidikan dilimpahkan kepada kepolisian atau kejaksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), kepolisian ataukejaksaan wajib melaksanakan koordinasi dan
melaporkan perkembangan penyidikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Bagian Ketiga Penyidikan
Pasal
45
1. Penyidik
adalah Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Penyidik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan fungsi penyidikan tindak pidana
korupsi.
Pasal
46
(1) Dalam hal
seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terhitung
sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan
tersangka yang diatur dalam peraturan perundangundangan lain, tidak berlaku
berdasarkan Undang-Undang ini.
2. Pemeriksaan
tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan tidak mengurangi
hak-hak tersangka.
Pasal
47
1. Atas dasar
dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat melakukan
penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya.
(2) Ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur mengenai tindakan
penyitaan, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini.
(3) Penyidik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membuat berita acara penyitaan pada
hari penyitaan yang sekurangkurangnya memuat:
1. nama, jenis,
dan jumlah barang atau benda berharga lain yang disita;
2. keterangan
tempat, waktu, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan penyitaan;
3. keterangan
mengenai pemilik atau yang menguasai barang atau benda berharga lain tersebut;
4. tanda tangan
dan identitas penyidik yang melakukan penyitaan; dan
5. tanda tangan
dan identitas dari pemilik atau orang yang menguasai barang tersebut.
(4) Salinan
berita acara penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada
tersangka atau keluarganya.
Pasal
48
Untuk
kepentingan penyidikan, tersangka tindak pidana korupsi wajib memberikan
keterangan kepada penyidik tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri
atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui
dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan
oleh tersangka.
Pasal
49
Setelah
penyidikan dinyatakan cukup, penyidik membuat berita acara dan disampaikan
kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk segera ditindaklanjuti.
Pasal
50
(1) Dalam hal
suatu tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan Korupsi belum
melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan
oleh kepolisian atau kejaksaan, instansi tersebut wajib memberitahukan kepada
Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja
terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan.
(2) Penyidikan
yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dilakukan koordinasi secara terus menerus dengan Komisi Pemberantasan
Korupsi.
(3) Dalam hal
Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi
melakukan penyidikan.
(4) Dalam hal
penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan dan
Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan
tersebut segera dihentikan. Bagian Keempat Penuntutan
Pasal
51
(1) Penuntut
adalah Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan
diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Penuntut
Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan fungsi penuntutan tindak
pidana korupsi.
(3) Penuntut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jaksa Penuntut Umum.
Pasal
52
(1) Penuntut
Umum, setelah menerima berkas perkara dari penyidik, paling lambat 14 (empat
belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas tersebut, wajib
melimpahkan berkas perkara tersebut kepada Pengadilan Negeri.
(2) Dalam hal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ketua Pengadilan Negeri wajib menerima
pelimpahan berkas perkara dari Komisi Pemberantasan Korupsi untuk diperiksa dan
diputus.
BAB
VII
PEMERIKSAAN
DI SIDANG PENGADILAN
Pasal
53
Dengan
Undang-Undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 54
(1) Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi berada di lingkungan Peradilan Umum.
(2) Untuk
pertama kali Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang wilayah hukumnya
meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia .
(3) Pembentukan
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan secara bertahap dengan Keputusan Presiden.
Pasal
55
Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) juga berwenang
memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang dilakukan di luar wilayah
negara Republik Indonesia
oleh warga negara Indonesia .
Pasal
56
(1) Hakim
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terdiri atas hakim Pengadilan Negeri dan hakim
ad hoc.
(2) Hakim
Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan
Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
(3) Hakim ad hoc
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
Republik Indonesia
atas usul Ketua Mahkamah Agung.
(4) Dalam
menetapkan dan mengusulkan calon hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Ketua Mahkamah Agung wajib melakukan pengumuman
kepada masyarakat.
Pasal
57
(1) Untuk dapat
ditetapkan sebagai hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 56 ayat (2) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. berpengalaman
menjadi hakim sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun;
b. berpengalaman
mengadili tindak pidana korupsi;
c. cakap dan
memiliki integritas moral yang tinggi selama menjalankan tugasnya; dan
d. tidak pernah
dijatuhi hukuman disiplin.
(2) Untuk dapat
diusulkan sebagai hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 56 ayat (3) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. warga negara
Republik Indonesia ;
2. bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa;
3. sehat jasmani
dan rohani;
4. berpendidikan
sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian dan berpengalaman
sekurangkurangnya 15 (lima
belas) tahun di bidang hukum;
e. berumur
sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun pada proses pemilihan;
f. tidak pernah
melakukan perbuatan tercela;
g. cakap, jujur,
memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik;
h. tidak menjadi
pengurus salah satu partai politik; dan
1. melepaskan
jabatan struktural dan atau jabatan lainnya selama menjadi hakim ad hoc.
Pasal
58
(1) Perkara
tindak pidana korupsi diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
dalam waktu 90 (Sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal perkara
dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Pemeriksaan
perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim
berjumlah 5 (lima )
orang yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Negeri yang bersangkutan
dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.
Pasal
59
(1) Dalam hal
putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dimohonkan banding ke Pengadilan
Tinggi, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama
60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima
oleh Pengadilan
Tinggi.
2. Pemeriksaan
perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim
berjumlah 5 (lima )
orang yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Tinggi yang bersangkutan
dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.
3. Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 juga berlaku bagi hakim ad hoc pada
Pengadilan Tinggi.
Pasal
60
1. Dalam hal
putusan Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi dimohonkan kasasi kepada Mahkamah
Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama 90
(sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima
oleh Mahkamah Agung.
2. Pemeriksaan
perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Majelis Hakim
berjumlah 5 (lima )
orang yang terdiri atas 2 (dua) orang Hakim Agung dan 3 (tiga) orang hakim ad
hoc.
(3) Untuk dapat
diangkat menjadi hakim ad hoc pada Mahkamah Agung harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
1.
warga negara Republik Indonesia ;
2.
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
3.
sehat jasmani dan rohani;
2. berpendidikan
sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian dan berpengalaman
sekurangkurangnya 20 (dua puluh) tahun di bidang hukum;
3. berumur
sekurang-kurangnya 50 (lima
puluh) tahun pada proses pemilihan;
4. tidak pernah
melakukan perbuatan tercela;
5. cakap, jujur,
memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik;
6. tidak menjadi
pengurus salah satu partai politik; dan
7. melepaskan
jabatan struktural dan atau jabatan lainnya selama menjadi hakim ad hoc.
Pasal
61
1. Sebelum
memangku jabatan, hakim ad hoc wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya
di hadapan Presiden Republik Indonesia .
(2) Sumpah/janji
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut :
“Saya
bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas
ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun
juga, tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun
juga”.
“Saya
bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung
dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”.
“Saya
bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta
mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi
negara Republik Indonesia ”.
“Saya
bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas ini dengan
jujur, seksama, dan obyektif dengan tidak membeda-bedakan orang, dan akan
menjunjung tinggi etika profesi dalam melaksanakan kewajiban saya ini dengan
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang petugas yang
berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan”.
Pasal
62
Pemeriksaan di
sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana
yang berlaku dan Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
BAB
VIII
REHABILITASI
DAN KOMPENSASI
Pasal
63
1. Dalam hal
seseorang dirugikan sebagai akibat penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan,
yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi secara bertentangan dengan
Undang-Undang ini atau dengan hukum yang berlaku, orang yang
bersangkutan
berhak untuk mengajukan gugatan rehabilitasi dan/atau kompensasi.
(2) Gugatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak mengurangi hak orang yang dirugikan
untuk mengajukan gugatan praperadilan, jika terdapat alasan-alasan pengajuan praperadilan
sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana.
(3) Gugatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Pengadilan Negeri yang
berwenang mengadili perkara tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 54.
(4) Dalam
putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan jenis,
jumlah, jangka waktu, dan cara pelaksanaan rehabilitasi dan/atau kompensasi
yang harus dipenuhi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
BAB
IX
PEMBIAYAAN
Pasal
64
Biaya yang
diperlukan untuk pelaksanaan tugas Komisi Pemberantasan Korupsi dibebankan kepada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
BAB
X
KETENTUAN
PIDANA
Pasal
65
Setiap Anggota
Komisi Pemberantasan Korupsi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima ) tahun.
Pasal 66
Dipidana dengan
pidana penjara yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, pegawai pada Komisi
Pemberantasan Korupsi yang:
1. mengadakan
hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang
terkait dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan
Korupsi tanpa alasan yang sah;
2. menangani
perkara tindak pidana korupsi yang pelakunya mempunyai hubungan keluarga
sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat
ketiga dengan pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang bersangkutan;
3. menjabat
komisaris atau direksi suatu perseroan, organ yayasan, pengurus koperasi, dan
jabatan profesi lainnya atau kegiatan lainnya yang berhubungan dengan jabatan
tersebut.
Pasal
67
Setiap Anggota
Komisi Pemberantasan Korupsi dan pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang
melakukan tindak pidana korupsi, pidananya diperberat dengan menambah 1/3 (satu
pertiga) dari ancaman pidana pokok.
BAB
XI
KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal
68
Semua tindakan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya
belum selesai pada saat terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat
diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9.
Pasal
69
1. Dengan
terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi maka Komisi Pemeriksa Kekayaan
Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme menjadi bagian Bidang Pencegahan pada Komisi Pemberantasan
Korupsi.
(2) Komisi
Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tetap menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya, sampai Komisi Pemberantasan Korupsi
menjalankan tugas dan wewenangnya berdasarkan Undang-Undang ini.
BAB
XII
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal
70
Komisi
Pemberantasan Korupsi melaksanakan tugas dan wewenangnya paling lambat 1 (satu)
tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 71
1. Dengan
berlakunya Undang-Undang ini Pasal 27 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) dinyatakan tidak
berlaku;
2. Setelah
Komisi Pemberantasan Korupsi menjalankan tugas dan wewenangnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 70, ketentuan mengenai Komisi Pemeriksa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 19 dalam BAB VII Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851), dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal
72
Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia .
Disahkan di Jakarta pada tanggal 27 Desember 2002
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 27 Desember 2002
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA ,
ttd.
MEGAWATI
SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Desember 2002
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA ,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2002 NOMOR 137
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan
Perundang-undangan II,
Ttd.
Edy Sudibyo
INSTRUKSI
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN
2008
TENTANG
FOKUS PROGRAM
EKONOMI TAHUN 2008 - 2009
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA ,
Dalam upaya pelaksanaan program ekonomi
Tahun 2008 - 2009 dari Kabinet
Indonesia Bersatu yang bersifat
prioritas dan memerlukan koordinasi serta sebagai kelanjutan Instruksi Presiden
Nomor 6 Tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan
Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, dengan ini menginstruksikan:
Kepada : 1. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian;
2. Menteri
Keuangan;
3. Menteri
Perdagangan;
4. Menteri
Dalam Negeri;
5. Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral;
6. Menteri
Perhubungan;
7. Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia;
8. Menteri
Perindustrian;
9. Menteri
Pekerjaan Umum;
10. Menteri
Komunikasi dan Informatika;
11. Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
12. Menteri
Pendidikan Nasional;
13. Menteri
Kebudayaan dan Pariwisata;
14. Menteri
Pertanian;
15. Menteri
Kehutanan;
16. Menteri
Kelautan dan Perikanan;
17. Menteri
Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala
Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional;
18. Menteri
Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah;
19. Menteri
Negara Badan Usaha Milik Negara;
20. Menteri
Negara Perumahan Rakyat;
21. Menteri
Negara Pembangunan Daerah Tertinggal;
22. Menteri
Sekretaris Negara;
23.
Sekretaris Kabinet;
24. Kepala
Badan Koordinasi Penanaman Modal;
25. Kepala
Badan Pertanahan Nasional;
26. Kepala
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan;
27. Kepala
Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan;
28. Para Gubernur;
29. Para Bupati/Walikota.
Untuk :
PERTAMA : Mengambil langkah-langkah yang
diperlukan sesuai tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing, dalam rangka
pelaksanaan Fokus Program Ekonomi Tahun 2008-2009 guna meningkatkan pertumbuhan
ekonomi nasional, kelestarian sumber daya alam, peningkatan ketahanan energi
dan kualitas lingkungan, dan untuk pelaksanaan berbagai komitmen Masyarakat
Ekonomi Association of Southeast Asian Nations (ASEAN).
KEDUA : Dalam
mengambil langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Diktum PERTAMA, berpedoman
kepada program yang meliputi perbaikan iklim investasi, ekonomi makro dan
keuangan, ketahanan energi, sumber daya alam, lingkungan dan pertanian,
pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah, pelaksanaan komitmen Masyarakat
Ekonomi ASEAN, infrastruktur, ketenagakerjaan dan ketransmigrasian sebagaimana
tercantum dalam Lampiran Instruksi Presiden ini.
KETIGA : a. Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian mengkoordinasikan kegiatan yang dilaksanakan oleh para Menteri,
Kepala Lembaga, dan Gubernur.
b. Dalam rangka pelaksanaan Instruksi
Presiden ini sepanjang terdapat program yang berkaitan dengan kewenangan Bank Indonesia , Menteri/Kepala Lembaga yang terkait
agar berkoordinasi dengan Gubernur Bank Indonesia .
KEEMPAT : Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian :
1. Memantau pelaksanaan Instruksi Presiden
ini dan melaporkan secara berkala kepada Presiden;
2. Membentuk Tim Pemantau dan menetapkan
tugas, susunan organisasi, keanggotaan,
tata kerja dan kesekretariatan Tim
Pemantau.
KELIMA : Para
Menteri, Kepala Lembaga, Gubernur dan Bupati/Walikota memantau pelaksanaan
Instruksi Presiden ini sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing
dan menunjuk seorang pejabat di lingkungan masing-masing untuk membantu
pelaksanaan tugas Tim Pemantau sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEEMPAT
Instruksi Presiden ini.
KEENAM : Melaksanakan Instruksi Presiden
ini dengan penuh tanggung jawab.
Instruksi
Presiden ini mulai berlaku pada tanggal dikeluarkan.
Dikeluarkan di Jakarta
pada tanggal 22 Mei 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ,
ttd.ttdttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 2007
TENTANG
KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGEMBANGAN
SEKTOR RIIL DAN PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ,
Dalam upaya untuk lebih
mempercepat pengembangan sektor riil dan pemberdayaan usaha mikro, kecil dan
menengah guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, dan sebagai kelanjutan
Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim
Investasi, dengan ini menginstruksikan:
Kepada : 1. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian;
2.
Menteri Keuangan;
3.
Menteri Perdagangan;
4.
Menteri Dalam Negeri;
5.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral;
6.
Menteri Perhubungan;
7. Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia;
8.
Menteri Perindustrian;
9.
Menteri Pekerjaan Umum;
10.
Menteri Komunikasi dan Informatika;
11.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
12.
Menteri Pendidikan Nasional;
13.
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata;
14.Menteri
Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional;
15.
Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah;
16.
Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara;
17.
Menteri Negara Perumahan Rakyat;
18.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara;
19.
Menteri Sekretaris Negara;
20.
Sekretaris Kabinet;
21.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal;
22.
Kepala Badan Pertanahan Nasional;
23.
Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan;
24. Para Gubernur;
25. Para Bupati/Walikota.
Untuk :
PERTAMA :
Mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi dan kewenangan
masing-masing, dalam rangka pelaksanaan Kebijakan Percepatan Pengembangan
Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah guna meningkatkan
pertumbuhan ekonomi Indonesia .
KEDUA : Dalam mengambil langkah-langkah
sebagaimana dimaksud dalam Diktum PERTAMA, berpedoman kepada program yang
meliputi perbaikan iklim investasi, reformasi sektor keuangan, percepatan
pembangunan infrastruktur, dan pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah
sebagaimana tercantum dalam lampiran Instruksi Presiden ini.
KETIGA: a. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian mengkoordinasikan
kegiatan yang dilaksanakan oleh para Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen.
b. Dalam
rangka pelaksanaan Instruksi Presiden ini sepanjang terdapat program yang
berkaitan dengan kewenangan Bank Indonesia ,
Menteri yang terkait agar berkoordinasi dengan Gubernur Bank Indonesia .
KEEMPAT : Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
:
1.
Memantau
pelaksanaan Instruksi Presiden ini dan melaporkan secara berkala kepada
Presiden;
2.
Membentuk
Tim Pemantau dan menetapkan tugas, susunanorganisasi, keanggotaan, tata kerja
dan kesekretariatan Tim Pemantau.
KELIMA : Para Menteri, Kepala Lembaga Pemerintah
Non Departemen, Gubernur dan Bupati/Walikota memantau pelaksanaan Instruksi
Presiden ini sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing dan
menunjuk seorang pejabat di lingkungan masing-masing untuk membantu pelaksanaan
tugas Tim Pemantau sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEEMPAT Instruksi Presiden
ini.
KEENAM :
Melaksanakan Instruksi Presiden ini dengan penuh tanggung jawab.
Instruksi Presiden ini mulai berlaku
pada tanggal dikeluarkan.
Dikeluarkan di Jakarta
pada tanggal 8 Juni 2007
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi Sekretaris Kabinet
Bidang
Hukum,
ttd.
Lambock V. Nahattands
UNDANG
UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
25 TAHUN 2007
TENTANG
PENANAMAN
MODAL
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA ,
Menimbang
: a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat
adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu dilaksanakan pembangunan ekonomi
nasional yang berkelanjutan dengan berlandaskan demokrasi ekonomi untuk
mencapai tujuan bernegara;
b. bahwa sesuai
dengan amanat yang tercantum dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam rangka
Demokrasi Ekonomi, kebijakan penanaman modal selayaknya selalu mendasari
ekonomi kerakyatan yang melibatkan pengembangan bagi usaha mikro, kecil, menengah,
dan koperasi;
c. bahwa untuk
mempercepat pembangunan ekonomi nasional dan mewujudkan kedaulatan politik dan
ekonomi Indonesia
diperlukan peningkatan penanaman modal untuk mengolah potensi ekonomi menjadi
kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan modal yang berasal, baik dari dalam
negeri maupun dari luar negeri;
d. bahwa dalam
menghadapi perubahan perekonomian global dan keikutsertaan Indonesia dalam
berbagai kerja sama internasional perlu diciptakan iklim penanaman modal yang
kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum, keadilan, dan efisien dengan
tetap memperhatikan kepentingan ekonomi nasional;
e. bahwa
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan
Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang
Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal
Dalam Negeri perlu diganti karena tidak sesuai lagidengan kebutuhan percepatan
perkembangan perekonomian dan pembangunan hukum nasional, khususnya di bidang
penanaman modal;
f. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c,
huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Penanaman Modal.
Mengingat :
Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 18 ayat (1), ayat (2), dan
ayat (5), Pasal 20, serta Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN
:
Menetapkan
: UNDANG-UNDANG TENTANG PENANAMAN MODAL.
BAB
I
KETENTUAN
UMUM
Pasal
1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Penanaman
modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal
dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara
Republik Indonesia .
2. Penanaman modal dalam negeri adalah kegiatan menanam modal
untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh
penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri.
3. Penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal
untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh
penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang
berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.
4. Penanam modal adalah perseorangan atau badan usaha yang
melakukan penanaman modal yang dapat berupa penanam modal dalam negeri dan penanam
modal asing.
5. Penanam modal dalam negeri adalah perseorangan warga
negara Indonesia, badan usaha Indonesia, Negara Republik Indonesia, atau daerah
yang melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia.
6. Penanam modal asing adalah perseorangan warga Negara
asing, badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang melakukan penanaman
modal di wilayah Negara Republik Indonesia .
7. Modal adalah aset dalam bentuk uang atau bentuk lain
yang bukan uang yang dimiliki oleh penanam modal yangmempunyai nilai ekonomis.
8. Modal asing adalah modal yang dimiliki oleh Negara
asing, perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, badan hukum asing,
dan/atau badan hukum Indonesia
yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki
oleh
pihak asing.
9. Modal dalam negeri adalah modal yang dimiliki oleh
negara Republik Indonesia ,
perseorangan warga Negara Indonesia ,
atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum.
10. Pelayanan terpadu satu pintu adalah kegiatan
penyelenggaraan suatu perizinan dan nonperizinan yang mendapat pendelegasian
atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan
perizinan dan nonperizinan yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap
permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu
tempat.
11. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
12. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah,
adalah Presiden Republik Indonesia
yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
13. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati atau
walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Pasal 2
Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku bagi penanaman
modal di semua sektor di wilayah negara Republik Indonesia .
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 3
(1) Penanaman modal diselenggarakan berdasarkan asas:
a. kepastian hukum;
b. keterbukaan;
c. akuntabilitas;
d. perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara;
e. kebersamaan;
f. efisiensi berkeadilan;
g. berkelanjutan;
h. berwawasan lingkungan;
i. kemandirian; dan
j. keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
(2) Tujuan penyelenggaraan penanaman modal, antara lain
untuk:
a. meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional;
b. menciptakan lapangan kerja;
c. meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan;
d. meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional;
e. meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi
nasional;
f. mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan;
g. mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi
riil dengan menggunakan dana yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari
luar negeri; dan
h. meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
BAB III
KEBIJAKAN DASAR PENANAMAN MODAL
Pasal 4
(1) Pemerintah menetapkan kebijakan dasar penanaman modal
untuk:
a. mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang
kondusif bagi penanaman modal untuk penguatan daya saing perekonomian nasional;
dan
b. mempercepat peningkatan penanaman
modal.
(2) Dalam menetapkan kebijakan dasar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Pemerintah:
a. memberi perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam
negeri dan penanam modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional;
b. menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan
keamanan berusaha bagi penanam modal sejak proses pengurusan perizinan sampai
dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
c. membuka kesempatan bagi perkembangan dan memberikan
perlindungan kepada usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
(3) Kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diwujudkan dalam bentuk Rencana Umum Penanaman Modal.
BAB IV
BENTUK BADAN USAHA DAN KEDUDUKAN
Pasal 5
(1) Penanaman modal dalam negeri dapat dilakukan dalam
bentuk badan usaha yang berbentuk badan hukum, tidak berbadan hukum atau usaha
perseorangan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan
terbatas berdasarkan hukum Indonesia
dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia , kecuali ditentukan lain
oleh undang-undang.
(3) Penanam modal dalam negeri dan asing yang melakukan
penanaman modal dalam bentuk perseoran terbatas dilakukan dengan:
a. mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan
terbatas;
b. membeli saham; dan
c. melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 76 TAHUN 2010
TENTANG
TUNJANGAN
KINERJA
PEGAWAI DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN
PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL / BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ,
Menimbang : a. bahwa dengan dilaksanakannya Reformasi
Birokrasi dan dalam upaya peningkatan kinerja bagi Pegawai di lingkungan
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional, perlu diberikan tunjangan kinerja;
b. bahwa
sehubungan dengan hal tersebut pada huruf a, dipandang perlu mengatur tunjangan
kinerja Pegawai di lingkungan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional dengan Peraturan Presiden;
Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3890);
3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
4. Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4355);
5. Peraturan
Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1977 Nomor 11, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3098) sebagaimana telah beberapa kali diubah,
terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2010 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 31);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN
PRESIDEN TENTANG TUNJANGAN KINERJA PEGAWAI DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN
PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL / BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL.
Pasal 1
Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan :
1. Pegawai Negeri adalah Pegawai Negeri Sipil, Anggota
Tentara Nasional Indonesia, dan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999.
2. Pegawai di lingkungan
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional adalah Pegawai Negeri dan Pegawai lainnya yang diangkat dan ditugaskan
secara penuh oleh pejabat yang berwenang pada Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 2
Kepada seluruh Pegawai di lingkungan Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional selain
penghasilan yang berhak diterima menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan, diberikan tunjangan kinerja setiap bulan.
Pasal 3
(1) Tunjangan
Kinerja Pegawai Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, adalah sebagaimana
tercantum pada Lampiran Peraturan Presiden ini.
(2) Tunjangan
Kinerja Pegawai Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberlakukan
berdasarkan keputusan Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional dan hasil
evaluasi Tim Reformasi Birokrasi Nasional atas tingkat pencapaian Reformasi
Birokrasi di lingkungan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional.
Pasal 4
Bagi pegawai pada saat Peraturan Presiden ini
ditetapkan terjadi penurunan penghasilan, akan diberikan tambahan tunjangan
sebesar selisih dari Tunjangan yang selama ini diterima dengan Tunjangan
Kinerja sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Presiden ini.
Pasal 5
(1) Tunjangan
Kinerja diberikan terhitung mulai bulan Juli 2010.
(2) Tunjangan
Kinerja yang dibayarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memperhitungkan
Tunjangan Khusus yang telah diterima sejak Juli 2010 sebagai faktor pengurang.
Pasal 6
Pajak Penghasilan atas Tunjangan Kinerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara pada Tahun Anggaran yang bersangkutan.
Pasal 7
(1) Tunjangan
Kinerja sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 Peraturan Presiden ini tidak
diberikan kepada :
a. Pegawai
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional yang nyata-nyata tidak mempunyai tugas/jabatan/pekerjaan tertentu pada
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional;
b. Pegawai
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional yang diberhentikan untuk sementara atau dinonaktifkan;
c. Pegawai
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional yang diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat;
d. Pegawai
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional yang diperbantukan/dipekerjakan pada Badan/Instansi lain di luar
lingkungan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional;
e. Pegawai
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional yang diberikan cuti di luar tanggungan negara atau dalam bebas tugas
untuk menjalani masa persiapan pensiun;
f. Pegawai
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional yang tidak mencapai target kinerja yang ditetapkan oleh Pimpinan
Instansi.
(2) Ketentuan
lebih lanjut terhadap Pegawai Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang tidak diberikan tunjangan
kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional.
Pasal 8
Ketentuan teknis pelaksanaan Peraturan Presiden ini
diatur lebih lanjut oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional.
Pasal 9
Dengan berlakunya Tunjangan Kinerja ini maka Tunjangan
Khusus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 10
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 15 Desember 2010
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA ,
ttd.
DR.
H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar